Begini, nih, repotnya kalau dwifungsi ABRI secara halus justru mulai menguat di pemerintahan yang seharusnya tidak menganut paham lama yang sudah jelas banyak boroknya. Sampai akhirnya Jendral TNI yang bernama Fachrul Razi pun bahkan mengisi kursi kementrian agama. Padahal, hm, kalau dilihat sekilas, kan, enggak ada agamis-agamisnya. Katanya, tugas utama Fachrul menduduki kursi mentri agama adalah untuk menumpas radikalisme yang sedang tumbuh pesat di Indonesia.
Bayangkan! Sudah sejak awal, rezim yang baru dilantik bulan lalu ini sudah mengakar dari pikirannya, bahwa agamalah otak dari radikalisme. Tidak usah terbawa suasana dengan omongan palsu mereka yang mengatakan berkali-kali, kalau Islam tak ada hubungannya dengan radikalisme, termasuk apa yang dikatakan Kapolri baru pengganti Tito Karnavian.
Lihat saja bukti konkretnya. Bukannya mendamaikan antaragama yang ada di Indonesia, belio malah membuat kegaduhan dengan kekonyolannya melarang yang bekerja di pemerintahan untuk bercelana cingkrang untuk pria, dan memakai cadar untuk wanita. Di mana menenangkannya kaum beragama dengan aturan itu?
Pelarangan itu jelas memojokkan karena beberapa ormas Islam, menganggap bahwa bercelana cingkrang dan bercadar itu adalah nyunnah. Di mana ada agama yang hidup di negara demokrasi yang tidak marah jika anjuran anutannya dilarang di negara itu? Jangankan di negeri demokrasi, di negeri yang otoriterianisme saja sudah panas hati mereka.
Lagipula, apa hubungannya menteri agama dengan penumpasan radikalisme? Fokus utama menteri ini sedari awal memang sudah kabur. Hal itu jelas sudah mengindikasikan bahwa rezim saat ini terlalu baper dengan isu radikalisme yang utamanya ditujukan kepada umat Islam. Akibatnya, aturan-aturan kocak ini bermunculan di media.
Radikalisme itu lahir dari pemahaman yang keliru terhadap sesuatu. Bukannya mencoba membuka pemahaman yang lebih baik untuk orang yang terpapar radikalisme itu, belio ini justru malah menghubungkannya bukan dengan -isme, tetapi lebih pada “budayanya” dalam berpakaian. Kan, kocak!
Apa belio pikir dengan pelarangan bercadar dan bercelana cingkrang, para manusia yang terpapar radikalisme itu jadi sembuh -isme radikalnya? Tentu saja tidak! Malah bisa-bisa mereka tambah marah karena apa yang mungkin mereka anggap wajib dihalang-halangi. Ngajak perang, lah, itu!
Aturan kocak itu sama dengan aturan beberapa kampus. Di kampus saya, dulu dilarang untuk berambut gondrong. Aturan itu jelas kocaknya. Apa hubungannya proses kuliah dengan rambut panjang? Atau beberapa dosen bahkan menganggap orang gondrong itu tidak menggambarkan “keintelektualan”. Ha! Padahal, sejak kapan intelektual dan tidak intelektualnya manusia dipandang dari rambut, tetapi tidak dipandang dari pemikirannya?
Aturan-aturan konyol model begini, tuh, mudah sekali dibantah. Seharusnya belio berkaca pada aturan lebay nan memaksakan beberapa kampus ini. Biar enggak malu-maluin! Barangkali kampus model begini juga sudah terlalu kuno pikirannya, bahwa kampus terbaik adalah yang gedungnya paling tinggi, paling megah. Enggak apa-apa kualitas intelektualnya rendah, tetap hitungannya kampus terbaik!
Sama kayak Jokowi yang terus-terusan fokus bangun infrastruktur. Papua ricuh juga hal yang pertama dilakukannya adalah perbaikan-perbaikan infrastruktur, bukan pada akar masalahnya kenapa justru Papua jadi kacau.
Barangkali memang memandang pimpinannya, belio lebih memilih untuk yang penting, ‘kerja, kerja, kerja!’ saja dulu. Yang penting kelihatan kerja meskipun kerjaannya sungguh tak menyelesaikan apa pun, karena tak mau mereka menyentuh akar-akar permasalahannya. Menumpas masalah hanya yang paling kelihatan saja, biar dilihat masyarakat kalau pemerintah ada kerjanya.
Hal ini berlaku untuk toleransi terhadap semua agama yang ada di Indonesia. Bukan berarti boleh, jika nanti menteri agama mewajibkan semua wanita yang ada di Indonesia memakai jilbab. Itu jelas tidak bisa dilakukan, karena menghancurkan keharmonisan beragama di Indonesia. Jelasnya, pemerintah harus mulai berhati-hati dalam mengeluarkan pelbagai kebijakan. Jangan sampai aturan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai agama yang bisa direpresentasikan bermacam-macam.
Belum lagi dengan menguatnya dwifungsi ABRI ini, bagi beberapa orang seperti dilemparkan ke lintasan waktu. Beberapa orang merasa kembali ke rezim orde baru yang sempat melarang siswa sekolah untuk berjilbab saat difoto ijazah, karena mesti terlihat telinganya. Kalau enggak lepas jilbab, ya, enggak dapat ijazah.
Kalau tetap bercadar dan bercelana cingkrang di lingkungan pemerintahan, ya, dikeluarkan. Sama, kan, dengan kasus di atasnya? Jangan-jangan …
BACA JUGA Poso dan Pengalaman Menjadi Terduga Teroris atau tulisan Tazkia Royyan Hikmatiar lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.