Sepuluh hari masa libur lebaran telah berlalu. Saya kembali bekerja. Berangkat pagi, pulang malam. Dua belas jam berada di luar rumah: 8 jam bekerja, 1 jam loyalitas di tempat kerja, dan sisanya adalah waktu tempuh pergi dan pulang bekerja dengan menggunakan KRL.
KRL adalah moda transportasi yang masih menjadi prima sulistya primadona. Harganya murah dan kapasitas angkutnya cukup mumpuni. KRL menjadi tempat di mana orang-orang minim interaksi. Orang-orang bergerak cepat, selalu bergegas, dan serba terburu-buru. Berjalan dengan kepala tertunduk sambil memegang ponsel dan menggendong tas di dada.
Setiap orang sudah punya kesibukannya masing-masing. Juga mesra bersama gawainya masing-masing. Dalam gerbong KRL yang dipenuhi penumpang ada suara iklan di MacroAds, suara-suara imbauan keselamatan, informasi tujuan akhir KRL, dan informasi pemberhentian di tiap stasiun. Semua itu diudarakan bukan hanya sekadar untuk pengumuman belaka. Tetapi juga untuk memecah kesunyian.
Beberapa hari belakangan ini memang KRL nampak penuh dengan mengangkut penumpang yang bukan para pekerja. Ya, penumpang KRL seperti ini, bukan penumpang harian layaknya buruh kapitalis macam saya. Mereka ada di setiap musim liburan sekolah masih panjang atau biasanya hadir saban akhir pekan.
Rombongan penumpang ini biasanya suka merumpi, ribet membawa anak-anak, serta bercanda dan tertawa lepas tanpa melihat situasi juga kondisi. Penumpang seperti ini selalu berhasil membuat KRL yang biasanya sunyi berubah menjadi ramai dan penuh dengan gegap gempita.
Ramainya itu bukan disebabkan karena takut anaknya nggak bisa nafas atau tertinnggal, tidak lain dan tidak bukan, karena mengobrol sepanjang perjalanan atau sambat dan mengucap kata yang uwuwu kalau tiba-tiba KRL tidak bisa tancap gas dan berhenti dengan mulus.
Lain hari akun resmi KRL membagikan imbauan mengenai volume suara penumpang saat mengobrol di dalam KRL. “#RekanCommuters dalam perjalanan KRL selalu ada sesama pengguna yang merasa lelah dan ingin beristirahat. Mari bertoleransi salah satunya dengan mengurangi volume suara kita.” dan di dalam poster imbauan tersebut bertuliskan “MENGOBROL BERSAMA TEMAN/KELUARGA memang menyenangkan, tetapi selalu ingat pelankan volume suara mengobrolmu jika berada di dalam kereta.”
Bagi saya mengobrol memang menyenangkan. Tetapi bagi sebagian orang mengobrol sepanjang perjalanan masih dianggap mengganggu meskipun volume suara sudah pelan. Ya, padahal volume-nya biasa saja. Selayaknya orang mengobrol. Lalu orang-orang yang sedang mengobrol ini, orang-orang yang sedang menjadi manusia sesungguhnya, dianggap anomali oleh orang-orang yang betah tertunduk memandang layar kaca ponsel selama berjam-jam dalam keramaian.
Sialnya, orang-orang yang terdiam, tertunduk, dan telinganya disumpal headset ini merasa terganggu. Konsentrasi pada ponselnya menjadi pecah. Kemudian menuduh satu rombongan penumpang yang sedang riang gembira itu sebagai perusak suasana. Lalu menyematkan julukan sebagai “lenong KRL”. Lucu: engga. Berisik: iya.
Tunggu-tunggu, perkara berisik, apa kabarnya suara MacroAds yang kencangnya astagfirullah, volume headset sudah hampir full masih bisa terdengar? Yakin deh, banyak yang sebenarnya nggak nyaman, tapi ya, mau gimana lagi. Suka atau tidak suka harus tetap mendengarkan.
Orang-orang yang dijuluki lenong KRL itu sebenarnya menjadi sebuah oase dalam ruang-ruang yang padat, kaku, dan sunyi. Apa salahnya satu kelompok ini mengobrol, bercanda, tertawa lepas, sampai mengganggu kita. Kita dengan ponsel yang selalu terborgol dengan tangan juga kerap mengganggu kenyamanan mantan penumpang lain.
Tanpa sadar, saking terfokusnya dengan ponsel, punggung kita sedikit bersandar di punggung orang lain. Sedikit atau tidak, ya tentu saja berat badan kita ditopang oleh orang lain. Please, tolong ya, Bhang Rojak. Berat tau, kaya badan Ente~
Tanpa sadar, saking asyiknya dengan musik di headset, kita bergelayut pada pegangan tangan yang menggantung. Mirip Kliwon miliknya Si Buta dari Gua Hantu. Untung aja nggak sampai nge-dance. Jelas, badan kita yang menyenggol orang di kanan-kiri cukup mengganggu. Udah deh, Bhang Rojak. Senggol lagi, bacok nih~
Dengan kita seperti itu, kok, bisa-bisanya kita malah sok superior dibanding sekelompok orang yang kita cibir lenong KRL itu. Seolah ada keganjilan yang nyaris tak masuk akal pada diri kita ketika merasa terganggu. Ya ampun, hidup di hutan aja kalau mau sunyi dan sepi. Biar mendapatkan kesunyian yang lebih haqiqi. Sesunyi hatimu yang ditinggal kawin. Kamu! Iya, kamu, Bhang~
Saya sebagai buruh kapitalis yang merasa kurang liburan dan kurang hiburan, jika sedang menyimak apa yang kita sebut lenong KRL ini, saya malah menjadi terhibur. Terkadang memang ada obrolan dan bercandaan yang lucu. Masuk, lah ya, dalam standar humor saya yang rendah ini. Terkadang kita mendengarnya jadi cengangas-cengenges. Tetapi kalaupun nggak lucu, minimal dari apa yang kita lihat dan dengar bisa menjadi sebuah cerita seperti ini.
Melihat itu semua, orang-orang memang tampak diam. Tapi Sebetulnya tidak diam, lantas ketergangguannya itu ditumpahkan ke media sosial. Ngedumel ini dan itu sambil mention akun si penyedia jasa KRL. Padahal menegurnya secara langsung jauh lebih efektif. Lah gimana, itu di depan mata kita sendiri, kok. Kita pula yang ada di lapangan dan secara langsung merasa terganggu. Tegur saja!
Ngapain juga mention akunnya KRL, paling-paling cuma dapat jawaban templat yang kesannya cuma salin-tempel dari jawaban keluhan-keluhan yang lain. Nggak ngefek kali, Bhang~
Dalam satu gerbong yang kadang pepesnya minta ampun ini diisi oleh puluhan, bahkan ratusan manusia. Tetapi manusia-manusia ini tidak ada yang menegur apa yang diresahkan secara langsung kepada pelaku di dunia nyata. Tidak ada manusia yang bersuara satu pun. Dari ratusan manusia yang berjubel di KRL, semua tenggelam dalam dunia maya. Jadi, siapa sih yang sebenarnya anomali? Jawabannya tergantung ada di sudut mana kita berada.