Seperti halnya Anda dan manusia penghuni bumi yang lain, saya dengerin musik juga. Entah untuk benar-benar didengerin ataupun biar nggak sepi aja. Terkadang untuk karaoke juga, pokoknya musik nggak haram kalau buat saya. Orang satu rumah juga hobi dengerin musik. Tentu selera kami beda-beda. Kalau saya sendiri penikmat musik apa saja, yang penting masuk kuping terus kuping saya cocok, ya berarti itu musik saya.
Saya dengerin musik dari keroncong dan delta blues, punk dan rock, metal dan hardcore, folk dan pop, klasik dan langgam, sampai ke dangdut dan musik-musiknya cah indie. Pokoknya isi Spotify dan koleksi kaset pita saya beragam alias campur aduk. Selain itu saya juga sering manggung di cafe atau jadi gitaris session player. Maka dari itu, saya harus sering-sering mendengarkan lagu-lagu yang sedang beken, dan seringnya lagu-lagu cah indie itu yang diminta.
Sebetulnya, aliran musiknya mungkin folk pop, namun kita sudah terbiasa menyebutnya musik indie yang terkesan senja dan kopi. Padahal, indie sendiri dari kata independent gitu, alias musisi yang nggak masuk major label, jadi alirannya boleh apa saja. Tapi selayaknya ilmu ben umum kancane, saya ikut saja nyebut mereka musisi indie. Ya musik-musik mereka ini yang langganan dibawakan di warkop dan kedai kopi.
Alhasil, saya sering memutar lagu ini di rumah, bahkan kadang menonton videonya lewat televisi. Adik saya yang masih SMA, menyukai musisi-musisi yang sering disebut indie ini. Ada Banda neira, Float, Payung Teduh, Danilla, Nadine Amizah, Efek Rumah Kaca, Fourtwnty, Nosstress, Dialog Dini Hari, Iksan Skuter, Feast, Stars and Rabbit, Jason Ranti, dan masih banyak lagi. Tak jarang Ibu saya juga jadi ikut nonton karena penasaran. Namun, menjelaskan ke emak-emak perihal musisi-musisi ini, bukan perkara sepele, cenderung mangkeli, dan bikin gemes!
Misalkan saat saya menonton video Fourtwnty sedang live manggung. Komentar Ibu saya sangat wow dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan aneh, misalnya.
“Itu orang kenapa? Stroke? Kenapa rambutnya begitu?”
“Kok nggak pakai sepatu? Eh, eh, eh ngapain itu kok jingklak-jingklak?”
Ibu saya seperti tengah melihat tontonan kuda lumping. Melihat sang vokalis, bukannya dengerin musiknya, Ibu saya malah ketawa ngakak sepanjang lagu diputar. Sempat menuduh sang vokalis mabuk lah, bahkan bilang mungkin sedang pakai narkoba. Emak-emak, cuma dengar Fourtwnty saja, bisa jadi lahan suudzon. Maka saya jelaskan pelan-pelan perihal band ini.
Begitu juga saat saya nonton Jason Ranti. Saat lagu “Kafir” dimainkan, Ibu saya langsung nyebut dan nyuruh matiin video itu. Namun, saya ketawain saja, sampai Ibu saya menganggap saya ikut aliran sesat. Begitupun saat lagu “Variasi Pink” berkumandang. Pas lirik “Yang aku mau dia telanjang”. Ibu saya misuh-misuh nggak karuan. Lalu saya jelaskan perihal Jeje boy dan arti liriknya. Blio komen gini.
“Orang kok nggak jelas, kalau mau ngomong gitu ya ngomong saja”
“Indie my prend!” jawab saya.
Begitu pula saat saya dengerin Iksan Skuter. Entah berapa kali saya harus meyakinkan Ibu saya kalau itu bukan Iwan Fals. Perdebatan sengit terjadi, dan blio masih saja keukeuh pernah dengar lagu itu saat muda dulu. Ya memang sih, beberapa komposisi dan lirik dari Iksan Skuter lumayan mirip dengan Iwan Fals.
Yang paling gawat waktu dengar Stars And Rabbit di lagunya yang “Man Upon The Hill”. Kan ada bagian “ah, ah, ah” nya tuh, nah dikira saya nyetel lagu yang nggak-nggak. Apalagi pas lihat dandanan vokalisnya yang nyentrik. Ibu saya nyerocos terus dan muncul bentuk suudzon yang lain.
“Dia kok aneh-aneh? pengen viral ya? Biar terkenal?”
“Seni Bukkk…” adik saya yang cah indie pengguna totebag menimpali.
Padahal kan Stars and Rabbit sudah beken dari dulu. Apalagi waktu dengar Hindia, Ibu saya bilang musiknya wagu. Namun, berbeda saat dengar Nadine Amizah. Selayaknya emak-emak suburban, mereka terenyuh dengar lagu-lagu Dek Nadine, mendayu dan terbawa terbang jauh. Walau saat adik saya tanya perihal ngerti maksudnya nggak, Ibu saya jawab.
“Nggak tahu dan nggak perlu tahu, yang penting lagunya bagus”
Apalagi pas lihat video orangnya langsung. Seperti semua emak-emak lain, langsung suka (kebanyakan mas-mas juga langsung suka, saya nggak, saya pokoknya Sherina). Namun, tiap kali saya muterin lagu Jason Ranti, Ibu saya tetap nyerocos dan nyuruh ganti lagu yang lain. Maka saya bilang gini ke Ibu saya, tentu dengan baik dan sopan.
“Sudah deh, nggak usah ngurusin tontonanku”
“Kamu juga jangan ribut dan ngurusin, kalau aku nonton sinetron India!”
Modyar, skak mat.
Beginilah rasanya menjelaskan musisi indie kepada emak-emak, deritanya tiada akhir.
BACA JUGA Ini Talkshow dan Akhir Titi Mangsa Tayangan Komedi dan tulisan Bayu Kharisma Putra lainnya.