Ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Bu Megawati Soekarnoputri, kemarin (28/08) telah meresmikan 13 kantor baru DPC dan DPP via daring. Pada kesempatan itu Bu Megawati menyoal tentang kontribusi generasi milenial bagi bangsa dan demonstrasi yang berujung ricuh.
Mengutip dari laman Kompas, pernyataan Bu Mega yang cukup ngeri-ngeri sedap adalah sebagai berikut:
“Anak muda kita ini aduh. Saya bilang ke Presiden, jangan dimanja, dikatakan generasi kita adalah generasi milenial. Saya mau tanya hari ini, apa sumbangsihnya generasi milenial yang tahu teknologi tanpa harus bertatap muka langsung? Apa sumbangsih kalian kepada bangsa dan negara ini, masa hanya demo saja.”
Saya kira semua orang setuju bahwa perusakan fasilitas umum dalam demonstrasi tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun. Akan tetapi, semua orang juga paham bahwa situasi di lapangan saat berlangsung demonstrasi sering kali tidak dapat dikendalikan. Baik oleh peserta demo sendiri maupun aparat.
Tujuan-tujuan demonstrasi beberapa waktu lalu adalah hal-hal serius dan merupakan langkah yang pantas menurut saya. Memang benar, akibat dari vandalisme yang masih tak jelas siapa yang melakukannya itu sangat merugikan. Dan pastinya yang rugi tidak hanya pemerintah, rakyat pun tak kalah disusahkan.
Tapi, mengapa Bu Megawati hanya fokus kepada kerusuhan? Alih-alih memahami alasan pendemo turun ke jalan dan substansi demo, Bu Mega, pemimpin partai demokrasi itu malah menganggap demo kemarin sebagai sesuatu yang tidak perlu. “Jika nggak cocok ke DPR, ngapain demo-demo.” Ucapnya kemarin.
Bu Megawati dengan terang-terangan mempertanyakan peran anak muda bagi bangsa dan negara. Sebuah pertanyaan yang tidak perlu dijawab sebenarnya, karena jika seseorang telah sampai pada level mempertanyakan, ada dua kemungkinan yang bisa ditarik sebagai kesimpulan.
Pertama, seseorang itu tidak mengakui dan tidak menganggap apa yang telah dilakukan oleh yang dipertanyakan. Ia lebih ke tidak peduli. Yang kedua, telah diketahui bahwa seseorang yang dipertanyakan memang benar-benar tidak memiliki jawabannya, maka dari itu dipertanyakan. Mempertanyakan di sini lebih ke mempersoalkan.
Meskipun membaca atau mendengar pertanyaan Bu Megawati terasa amat menjengkelkan, saya kira pertanyaan tersebut tidak perlu dijawab karena jawaban-jawaban pasti hanya akan dimentahkan. Akan sangat sulit menjelaskan sebuah sumbangsih yang semestinya tidak perlu diumbar dari pihak yang melakukan.
Tetapi, apabila masih saja terngiang-ngiang oleh pertanyaan tersebut, maka sah dan boleh saja ditanggapi. Hitung-hitung bentuk hormat kepada yang lebih tua. Saat mereka bertanya ya baiknya yang muda menjawabnya dengan sopan dan santuy.
Tapi, kembali lagi, untuk menjelaskan perkara ini tidak mudah. Bahkan seorang Gus Dur, tokoh sejuta umat sekaligus mantan rekan Bu Mega saja tidak memiliki jawaban yang baik untuk pertanyaan yang kurang lebih sama.
Gus Dur dalam sebuah esainya berjudul Sama-sama Bermimpi Besar mengaku kesulitan menjawab pertanyaan dari sejumlah mahasiswa. Mereka mempertanyakan, mengapa Gus Dur dan angkatan generasinya tidak bermimpi besar layaknya mimpi-mimpi besar Bung Hatta tentang kemerdekaan Indonesia, masyarakat adil, sejahtera, dan makmur.
Sejumlah mahasiswa tersebut menganggap bahwa Gus Dur dan kawan-kawan seangkatan hanya puas dengan impian sektoral yang sifatnya hanya sepotong-potong. Mereka menganggap Gus Dur lebih sibuk pada impian tentang pesantren yang hanya mencakup satu sektor dari seluruh kehidupan bangsa.
Bukan hanya kesulitan menjawab, Gus Dur sebenarnya juga tak memiliki jawabannya. Akan tetapi, di sini Gus Dur lebih kesulitan lagi meyakinkan kepada mereka bahwa mimpinya sama besarnya dengan mimpi-mimpi Bung Hatta di masa lalu.
Gus Dur merasa sulit menjelaskan bahwa kerja-kerja dari program pedesaan yang terpisah-pisah pada akhirnya akan menjadi sesuatu yang universal. Sulit menggambarkan bahwa berbincang dengan lurah soal saluran air baru untuk desa atau program kecil untuk pembangunan desa sama hebatnya dengan perhimpunan Indonesia di Holland, di mana Bung Hatta ikut merumuskan impian besar, kemerdekaan Indonesia.
Seperti kasus Gus Dur tersebut, sepertinya sulit meyakinkan bahwa peran milenial seperti aktif di kegiatan kampung, menjadi relawan pengajar di madrasah, nguri-nguri karang taruna, hingga yang demo kemarin sama hebatnya dengan peran-peran politik elit di negeri ini. Sama pentingnya dengan meresmikan gedung kantor DPP dan DPC yang dilakukan Bu Megawati kemarin.
BACA JUGA Pertengkaran Keluarga Kadang Justru karena Satu sama Lain Punya Persamaan dan tulisan Muhammad Khozin lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.