“Kenapa UMP Jogja rendah banget? Kok bisa?”
Mungkin sekali dalam hidup Anda bertanya seperti ini, lalu lanjut menjalani hari. Yang jelas Anda tidak akan sendiri. Sungguh, pertanyaan ini sudah muncul sejak lama. Tapi, tidak banyak yang paham jawabannya, karena jawaban dari alasan upah murah ini memang ra mashok blas.
Bisa dibilang, Jogja terbuat dari upah murah, hotel penghisap air tanah, dan klitih. Nah kali ini saya ingin membahas poin pertama tadi. Saya pikir memang tidak banyak orang yang paham tentang asal mulanya perkara upah murah ini. Meskipun perkara upah murah Jogja sudah jadi lelucon menyakitkan di antara rakyat.
Bayangkan sebuah daerah dengan potensi wisata tinggi. Hotel berbintang berdiri gagah. Uang wisatawan nasional sampai mancanegara berputar di dalamnya. Daerah ini juga mendapat dana khusus dari negara demi memelihara budaya. Namun, daerah ini pula yang punya Upah Minimum Provinsi (UMP) paling rendah se Indonesia.
Lha kok bisa? Bukankah upah di daerah “sesukses” ini harusnya tinggi. Tapi, kenyataan di Jogja memang demikian. Daerah yang jadi tempat perputaran uang berbagai daerah ini tidak serta merta menjanjikan upah layak bagi warganya.
Biasanya, alasan upah murah yang terlintas dalam benak orang hanyalah: Jogja itu murah. Makan soto cuma lima ribu. Busana di bawah 50 ribuan. Pokoknya biaya hidup Jogja lebih murah daripada kota besar lain seperti Jakarta dan Surabaya. Ngomong-ngomong Jogja boleh disebut “kota besar” kan?
Alasan klasik kenapa UMP Jogja rendah ini sudah terbantahkan sejak lama. Jangan berargumen “kalau pinter cari makan, di Jogja masih murah kok”. Realitasnya, Jogja bukanlah daerah istimewa dalam urusan harga kebutuhan hidup. Apalagi bicara busana dan alat penunjang hidup yang lain. Harga Jogja sudah selaras dengan harga daerah lain. Orang Jogja membeli motor sampai bensin dengan harga yang sama dengan daerah lain. Itu baru transportasi, belum urusan gawai lho.
Apalagi urusan tanah. Ketua DPD Real Estate Indonesia (REI) DIY Remigius Edy Waluyo pun memandang harga di Jogja sudah tidak masuk akal. Disampaikan kepada Harian Jogja, harga yang tidak masuk akal ini bahkan membuat calon investor lari dan melirik daerah lain.
Nah, berarti benar tho Jogja sudah tidak murah. Lalu alasannya untuk membuat upah murah ini apa? Apalagi bila kita bicara Kriteria Hidup Layak (KHL) yang jadi patokan menentukan upah minimum. Sudah jelas KHL versi pemerintah ini ditolak oleh serikat buruh di Jogja. Alasannya karena angka yang keluar tidak realistis. Sebab, menggunakan harga terendah kebutuhan hidup yang hampir tidak mungkin diakses. Ketika saya bilang terendah, bayangkan angka terendah kira-kira dalam kepala Anda, dan realitasnya mungkin tidak jauh-jauh dari itu.
Nah lalu adakah alasan lain mengapa upah Jogja semurah itu? Adakah grand plan yang mulia sehingga perlu mengorbankan upah para pekerja Jogja? Ini makin menarik ketika kita memahami jawaban sesungguhnya kenapa UMP Jogja rendah. Bukan menarik karena mulianya alasan ini, tapi karena betapa gegabahnya para pengambil keputusan.
Kepada gatra.com, Wakil Ketua Bidang Hukum dan Etika Bisnis Kadin DIY Muh Irsyad Thamrin berkata salah satu kelebihan DIY adalah rendahnya UMP. Kelebihan ini menjadi potensi Jogja sebagai jujugan perusahaan untuk memindahkan pabrik ke Jogja.
“Tidak hanya itu, kualitas sumber daya manusia DIY dan kebijakan oleh pemerintah daerah yang tak sering berganti, karena Gubernur tidak pernah diganti, menjadi kelebihan lainnya,” ujar Irsyad.
Nah kan, UMP Jogja diam-diam dijadikan nilai tawar kepada lini industri besar. Bahkan digadang-gadang Jogja lebih ramah industri dibanding provinsi tetangga, Jawa Tengah. Tapi, apakah berhasil menggaet industri untuk memindahkan pabriknya ke nagari narimo ing pandum ini?
Silahkan dilihat saja hasilnya. Tidak banyak pabrik yang beroperasi di Jogja. Meskipun sudah disokong dengan bandara baru di Temon, tidak ada perubahan signifikan perkara investasi. Hasilnya hanyalah UMP yang selalu rendah, ketimpangan yang makin melebar, dan tuntutan tanpa henti untuk perbaikan upah.
Tidak ada upaya selain menjaga upah murah untuk menggaet industri. Promosi industri tidak ada. Relaksasi izin pembukaan pabrik juga minim. Mimpi Jogja sebagai pusat industri baru tidak pernah terealisasi. Sedangkan sampai hari ini, pekerja di Jogja tetap mengencangkan ikat pinggang karena biaya hidup dan upah tidak harmonis.
Bahkan banyak yang menuding pola feodal Jogja sebagai penghalang investasi bidang industri. Ya maklum, lahan kosong dengan luas yang cukup untuk pabrik biasanya Sultan Ground (SG) atau Pakualam Ground (PG). Dan birokrasi untuk mengurus lahan “budaya” lebih njelimet daripada lahan milik perseorangan.
Seharusnya pertanyaan kenapa UMP Jogja rendah tak berhenti di situ saja. Harusnya, pertanyaannya jadi seperti ini: kenapa UMP Jogja rendah dan pemerintah seakan-akan berusaha melestarikannya? Mari kita tanyakan pada rumput alun-alun utara yang kumuh dan kering itu.
BACA JUGA Pentingnya Kerja Cerdas dan Work-Life Harmony agar Ngarso Dalem Nggak Kerja 24/7 dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.