Selama 22 tahun menjalani kehidupan di dunia tipu-tipu ini, saya sudah sangat sering menemukan beragam jenis orang dengan karakter yang beda-beda. Apalagi kehidupan perkuliahan saya berjalan bak naik roller coaster dan sangat berwarna. Kadang warnanya solid, kadang pelangi. Kadang berjalan biasa atau lempeng saja tanpa masalah. Kadang dibumbui dengan masalah-masalah sederhana sampai yang peliknya nggak ada obat. Hadeeeh.
Kehidupan saya dari sekolah hingga kuliah dikelilingi teman-teman yang… yaaa lumayan banyak lah. Hanya saja sekarang saya lebih memilih fokus kepada beberapa teman dekat yang—menurut saya—membuat saya nyaman banget. Nggak mau beralih, deh, rasanya.
Namun, izinkan saya flashback ke masa-masa kuliah offline dulu, ya. Saya mau cerita gimana menghadapi teman-teman saya, khususnya mereka yang punya bisnis sendiri.
Anak kuliah itu dituntut untuk mengejar pendidikan sekaligus ngumpulin cuan. Hmmm… Sebenarnya nggak semuanya dituntut seperti itu, sih. Saya pun nggak. Saya hanya dituntut untuk sekolah yang benar thok wes. Ya sudah, saya turutin kemauan orang tua. Nah, selama kuliah inilah saya sering menemukan teman-teman yang kuliah sambil ngumpulin cuan alias kerja.
Sebagai mahasiswa yang pastinya punya banyak grup kelas mulai dari SD, SMP, SMA, hingga kuliah, saya sering menemukan teman-teman sejawat saya ini rajin sekali mempromosikan bisnis kecil-kecilan mereka. Ya jualan makanan lah, merchandise lah, minuman lah, dan barang lainnya yang nggak jarang hanya jadi koran saja alias dibaca thok.
Sekalinya ada yang tertarik dengan barang yang dijual, kok ya nawarnya nggak nanggung-nanggung, ya. Alasan paling klise yang saya sebal adalah “harga teman, dooonggg”. Hadeh. Males banget kalau seperti itu. Ini nggak hanya saya temukan di grup-grup saja, lho. Waktu saya kuliah di kampus dulu juga begitu.
Malah saya pernah merasakannya sendiri. Diminta harga teman adalah sesuatu yang sangat menyebalkan menurut saya. Bisa nggak sih kamu tuh mendukung bisnis temanmu, daripada minta harga teman terus? Ih, menyebalkan rasanya.
Dulu waktu sedang riweuh mengurus acara angkatan jurusan, semua anak angkatan saya harus menjual berbagai barang seperti danus risoles, stiker jurusan, hingga jadi driver ojek online. Waktu saya menjajakan itu semua (kecuali jadi driver ojol), saya sering sekali dimintai harga teman. Padahal harga yang dipatok sudah sangat murah dan untung kami juga nggak banyak. Eh, masih bisa-bisanya dimintai harga teman.
Saya rasa harga teman itu bikin leher tercekik, deh. Ya gimana nggak mencekik, saya kan jualan tujuannya untuk dapat untung. Memang sih jualan saya waktu itu bukan untuk saya sendiri, tapi kan kalau nggak jualan cari dana, nanti satu angkatan nombokin, dong. Lha yo wegaaah.
Jualan untuk kepentingan angkatan saja sudah susah. Apalagi mereka yang jualan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, ya? Sudah susah-susah nawarin, eh, dimintai harga teman. Rugi yang ada.
Ada kakak tingkat yang pernah saya lihat mendapatkan perlakuan harga teman tadi. Kakak tingkat ini berjualan bakso aci yang saat itu sedang hype sekali di kalangan mahasiswa. Waktu itu, kami punya circle sendiri dan kakak tingkat saya menawarkan produk bakso aci khas kotanya pada saya dan teman-teman yang lain.
Jujur, saya beli dua dengan harga normal. Tanpa diskon. Tanpa nawar. Ya saya sih memang pengin mencoba makan bakso aci sekaligus kasihan, kan dia sudah lelah berkeliling sambil bawa bakso aci yang saya ingat sebanyak apa dulu.
Seorang teman akhirnya buka suara ingin membeli bakso aci punya si kakak tingkat. Eh, dia bilang kemahalan. Mau beli kalau harga normal untuk satu kemasan, tapi dapat dua kemasan. Katanya, “Masa sama temen mahal banget, sih?” Ya ampun, ingatan saya bagus juga ternyata. Hal kecil begini saja saya masih sangat ingat.
Duh, rasanya pengin saya lakban mulutnya, deh. Dengan tegas si kakak tingkat nggak memberikan harga teman itu. Hahaha. Bagus sih sebenarnya seperti itu. Kadang jadi penjual itu harus tegas, kalau perlu sedikit galak, Mylov.
Padahal tahu nggak, sih, minta harga teman terus menerus itu nggak enak. Ya kalau nanti ketemu lagi sama teman yang berjualan malu, dong. Seperti si penjual sudah tahu pasti akan minta harga teman lagi. Nggak jarang hubungan pertemanan jadi renggang karena si penjual berusaha menjauh dari teman yang hobi minta harga teman.
Apa sih susahnya mendukung bisnis teman sekaligus menjaga pertemanan tanpa minta harga teman terus? Toh kalau memang merasa kemahalan, ya nggak usah beli saja sekalian. Daripada si penjual bosan dengar “harga teman, dooonggg” terus menerus.
BACA JUGA Standar Kecantikan Korea: Hidup Pelik Mereka yang Tidak Didefinisikan sebagai ‘Cantik’ dan tulisan Ayu Octavi Anjani lainnya.