Saya adalah orang dengan sedikit idola. Nggak banyak orang yang bisa saya idolakan. Banyak sekali pertimbangan untuk seorang tokoh jika akan saya idolakan. Saya nggak mau mengidolakan seseorang hanya karena di cantik, pintar, atau karena satu hal saja. Ada banyak aspek yang harus saya cari tahu terlebih dahulu, jika saya ingin mengidolakan salah satu orang atau tokoh. Banyak hal, kecuali satu. Kehidupan pribadinya.
Saya sering sekali melihat, beberapa orang mengidolai suatu tokoh, sampai ke sendi-sendi kehidupan privatnya. Dia tahu kehidupan rumah tangganya, tahu kehidupan keluarganya, hingga tahu kehidupan ranjangnya. Seakan nggak ada jarak lagi antara idola dan penggemar. Bagi sebagian penggemar, ini mungkin biasa. Beberapa tokoh yang diidolai banyak orang juga menganggap ini hal yang biasa. Tapi bagi saya, dengan nggak adanya jarak seperti ini, itu berarti kita siap dengan apa-apa yang terjadi dengan idola kita. Dan itu hal yang tidak biasa, bagi saya.
Kedekatan yang berlebih antara idola dan penggemar ini kadang bisa jadi senjata sakit hati paling ampuh. Penggemar pastinya mematok ekspektasi yang tinggi pada idolanya. Entah itu berangkat dari layar kaca, panggung, atau dari mana saja. Apalagi, jika idola tersebut mempunyai “peran” yang baik-baik di layar kaca, misalnya. Tapi, berkat kedekatan idola dan penggemarnya, si penggemar akhirnya tahu bagaimana watak asli atau kehidupan asli dari sang idola, yang kebanyakan berbeda dengan apa yang dia tampilkan di layar kaca. Lalu kecewalah penggemar tersebut.
Coba deh, sesekali lihat kolom komentar seorang public figure atau artis. Pasti akan ada komentar seperti, “aduh, nggak nyangka ya sekarang begini, padahal dulu bla bla bla…”, atau “padahal dulu di TV dia baik, lho, kok sekarang jadi kayak gini, sih”. Ini adalah contoh komentar dari penggemar, mungkin, yang kecewa dengan “perubahan” yang dialami oleh idolanya. Penyebabnya adalah penggemar ini terlalu dekat dengan idolanya. Penggemar ini terlalu banyak tahu kehidupan idolanya. Padahal, apa salahnya, sih, menjaga jarak dengan idola? Ya seenggaknya biar nggak kecewa banyak, lah, ketika tahu gimana watak dan sikapnya nanti.
Jangankan yang dekat, yang sudah menjaga jarak saja bakal kecewa, kok, dengan idolanya. Saya contohnya. Saya adalah salah satu Slankers yang sudah bertahun-tahun mengikuti Slank. Mulai dari karya-karyanya, hingga pandangan politiknya. Semua saya ikuti. Tapi, ada satu hal yang coba saya hindari, yaitu tentang kehidupan pribadi personel-personel Slank. Saya jadi Slankers ya karena karya-karyanya. Bukan karena kehidupan pribadinya. Saya coba untuk jaga jarak di ranah itu. Saya nggak mau seperti orang-orang lain, yang menggemari sesuatu sampai ranah privatnya.
Apesnya, ketika saya coba jaga jarak di ranah privat mereka, saya malah dikecewakan melalui ranah lain. Saya kecewa berat ketika Slank ternyata nggak bersuara sama sekali, alias bisu, ketika ada upaya pelemahan KPK akhir-akhir ini. Slank yang saya tahu adalah musisi dengan pandangan anti korupsi yang kuat, malah diam seribu bahasa ketika ada upaya pelemahan KPK. Padahal tahun-tahun sebelumnya, Slank cukup vokal dalam menyuarakan anti korupsi dan mendukung KPK. Ya, saya ternyata dikecewakan melalui ranah lain, ranah yang tidak saya jaga jaraknya, ranah yang terlalu tinggi ekspektasi yang saya pasang.
Saya juga berani jamin, banyak sekali penggemar-penggemar Iwan Fals yang kecewa akhir-akhir ini. Ketika negara sedang nggak baik-baik saja, Iwan Fals malah cenderung diam, dan malah nyinyir sama mahasiswa-mahasiswa yang demo. Padahal kita semua tahu, Iwan Fals adalah musisi paling cerewet kalau urusan mengkritik negara. Ini sekarang kok diam-diam saja. Nggak heran kalau banyak penggemarnya yang kecewa. Kasusnya sama, kok, seperti kasus saya. Dikecewakan idola melalui ranah yang tidak diguga-duga, tidak dijaga jaraknya, dan ranah yang terlalu tinggi ekspektasinya.
Dari beberapa kasus di atas, menjaga jarak dengan idola nggak hanya melalui ranah kehidupan privat saja, tapi juga di ranah karya dan sikap politisnya. Ketika saya sudah jaga karak dengan ranah privatnya, bisa jadi saya dikecewakan melalui ranah karya atau ranah politisnya. Maka dari itu, sebaiknya fokus saja pada ranah karya. Meskipun sama-sama punya potensi dikecewakan, tapi setidaknya kecewa karena karya nggak terlalu sakitlah, kalau dibandingkan dengan kecewa karena kehidupan pribadi atau karena pandangan politik. (*)
BACA JUGA Membedah Langit Abu-Abu dan Lagu Lain Milik Tulus: Sosok yang Datang Saat Ada Perlu, Lalu Hilang Entah Kemana atau tulisan Iqbal AR lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.