• Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
Terminal Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Gaya Hidup
    • Game
    • Fesyen
    • Otomotif
    • Olahraga
    • Cerita Cinta
    • Gadget
    • Hewani
    • Personality
    • Nabati
  • Pojok Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Acara TV
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Tiktok
  • Politik
  • Kesehatan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Gaya Hidup
    • Game
    • Fesyen
    • Otomotif
    • Olahraga
    • Cerita Cinta
    • Gadget
    • Hewani
    • Personality
    • Nabati
  • Pojok Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Acara TV
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Tiktok
  • Politik
  • Kesehatan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Gaya Hidup
  • Pojok Tubir
  • Kampus
  • Hiburan
  • Tiktok
  • Politik
  • Kesehatan
Home Pojok Tubir

Menjadi Orang Desa yang Makan di Restoran Bergaya Pedesaan

Bayu Kharisma Putra oleh Bayu Kharisma Putra
6 Maret 2022
0
A A
Menjadi Orang Desa yang Makan di Restoran Bergaya Pedesaan Terminal Mojok

Menjadi Orang Desa yang Makan di Restoran Bergaya Pedesaan (Unsplash.com)

Share on FacebookShare on Twitter

Saat orang desa seperti saya datang ke restoran ala pedesaan, apa yang terjadi?

Untuk sebagian orang, makan di luar rumah adalah pilihan terbaik. Ada yang terlalu sibuk dan turah duit, sehingga tiap hari datang ke kafe dan restoran. Ada juga yang hanya sesekali, sekadar healing dan mengejawantahkan self reward. Apa pun alasannya, makan di luar tak hanya soal apa yang masuk ke mulut dan dicampur di perut, melainkan ada suasana yang dicari. Ibaratnya, ikut membeli atmosfer di tempak makan itu.

Di sekitar Magelang dan Jogja, jamak dijumpai restoran dengan beragam tema nan membumi. Sebut saja restoran bertema industrial yang mirip rumah belum selesai dibangun atau habis kena serangan musuhnya Ultraman tapi nggak diperbaiki, hingga restoran bertema pedesaan yang asri dengan sawah sebagai ornamen pendukungnya.

Suasana pedesaan yang diincar kebanyakan orang (Unsplash.com)

Khusus untuk restoran ala pedesaan, kebanyakan orang yang datang ke sana bukan sengaja datang untuk makanannya saja. Ada suasana ijo royo-royo atau kuning emas dan semilir angin sejuk yang dicari. Tak lupa semarak bangunan yang sangat tradisional seperti kayu, batu bata yang nggak diaci, tumbuhan liar, taman kecil, kursi lawas dan antik, alat makan jadul, hingga hidangan tradisional jadi buruan.


Sungguh sebuah gambaran yang indah dan sangat bisa diromantisisasi oleh para pengunjungnya yang tengah jenuh dari kehidupan kota yang bikin begah. Sayangnya, segala daya tarik itu tak serta merta membuat saya tertarik. Secara saya adalah wong ndeso asli. Datang ke restoran bergaya pedesaan itu justru membuat saya agak mengelus dada. Baru melihat rumah limasan dengan kayu jati tua yang besar-besar itu membuat saya bertanya-tanya, ke sini rupanya semua bermuara?

Restoran bergaya limasan (Ani Fathudin/Shutterstock.com)

Di kampung saya, rumah limasan hanya tersisa tiga biji. Sisanya sudah berubah menjadi toko, rumah gaya minimalis, atau rumah bertingkat. Lahan yang terbatas membuat rumah limasan tak lagi relevan. Apalagi yang satu rumah dipakai untuk hidup lebih dari satu keluarga. Mereka perlu ruang yang lebih banyak, sempit pun tak mengapa. Kita semua tahu, beli tanah tak ada yang murah.

Lagi pula, gebyok dan tiang jati harganya mahal. Dengan uang itu, mereka lebih memilih untuk merenovasi rumah, beli motor, atau dipakai untuk membeli kebutuhan lain. Dan semua kayu lawas itu bermuara ke kota, digunakan sebagai ornamen penarik pengunjung kafe, dipasang pada rumah milik orang-orang kaya yang mengaku cinta budaya Jawa.

Jika sawah yang kebanyakan orang lihat dianggap sebagai penyejuk hati dan kalbu, tak begitu dengan saya. Sawah memang cantik, indah, sangat ampuh menunjukkan koneksi manusia dengan kehidupan bumi. Namun, hampir setiap hari saya melihat sawah. Karena saya adalah orang desa yang hidup di desa dan masih memiliki sawah. Saya paham betul seluk beluk mengenai sawah dan pertanian.

Tak ada yang pasti dalam bertani. Tiap melihat sawah, saya selalu teringat ibu-ibu yang berangkat pagi pulang petang. Mereka bekerja sebagai buruh sawah dengan penghasilan yang tak tentu. Kadang pupuk naik, kadang air hilang, ada angin badai, hingga gagal panen yang tak dapat dihindarkan lagi. Susah sekali rasanya meromantisisasi sawah yang harusnya indah itu.

Sekelompok ibu-ibu di desa yang hendak pergi ke sawah (Unsplash.com)

Apalagi saat makan sayur yang katanya autentik itu di restoran ala pedesaan. Mohon maaf, kalau kata orang desa, “Luwih enak jangan ngomah!” (Lebih enak sayur di rumah). Saya berani bertaruh, sayur lodeh dan baceman di restoran tetap kurang autentik, sudah gitu porsinya sedikit. Sering kali saya temui menu-menu yang menyeleweng dari kaidahnya. Contohnya seperti saat pesan mendoan, tapi yang datang malah tempe goreng garing dan kriuk-kriuk. Sungguh saya merasa sangat berdosa.

Dan tentu saja harganya mahal. Jauh lebih mahal dari warung di dekat rumah atau masakan nenek saya yang sudah barang tentu punya rasa lebih enak. Bayangkan, hanya untuk teh cem-ceman tanpa gula, saya harus merogoh kocek lima ribu rupiah di restoran ala pedesaan! Di angkringan yang punya campuran teh super enak sih cukup bayar dua ribu. Itupun sudah bisa tambah gula plus bisa dikasih es.

Itulah kiranya makna tukar nasib, tak pernah terasa pas. Mungkin restoran ala pedesaan sasaran pasarnya memang bukan orang desa asli. Orang desa seperti saya memang lebih cocok didatangi kota, yang datang menggusur sawah dengan membawa pabrik, pasar swalayan, dan proyek perumahan minimalis yang katanya cocok untuk milenial itu.

Penulis: Bayu Kharisma Putra
Editor: Intan Ekapratiwi

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.

Terakhir diperbarui pada 6 Maret 2022 oleh

Tags: orang desarestoran
Bayu Kharisma Putra

Bayu Kharisma Putra

Anak pertama

Artikel Lainnya

5 Privilese Orang Desa yang Nggak Dimiliki Orang Kota Terminal Mojok

5 Privilese Orang Desa yang Nggak Dimiliki Orang Kota

30 Juni 2022
Kenapa Nasi Goreng Jadi Menu Aman yang Dipesan Banyak Orang Saat Makan di Restoran Terminal Mojok

Kenapa Nasi Goreng Jadi Menu Aman yang Dipesan Banyak Orang Saat Makan di Restoran?

15 Mei 2022
Perbedaan Orang Kota dan Orang Desa ketika Belanja di Minimarket Terminal Mojok

Perbedaan Orang Kota dan Orang Desa ketika Belanja di Minimarket

14 Maret 2022
4 Restoran di Bandung yang Terkenal Sejak Zaman Kolonial Terminal Mojok

4 Restoran di Bandung yang Terkenal Sejak Zaman Kolonial

21 Januari 2022
Restoran All You Can Eat Itu Nggak Cocok untuk Kamu yang Sungkanan! terminal mojok.co

Restoran All You Can Eat Itu Nggak Cocok untuk Kamu yang Sungkanan!

4 Oktober 2021
Begini Rasanya Tinggal di Desa yang Tidak Dijangkau GoFood dan GrabFood terminal mojok

Begini Rasanya Tinggal di Desa yang Tidak Dijangkau GoFood dan GrabFood

14 September 2021
Pos Selanjutnya
8 Lagu Indonesia yang Tak Akan Lekang oleh Waktu Terminal Mojok

8 Lagu Indonesia yang Tak Lekang oleh Waktu

Komentar post

Terpopuler Sepekan

5 Toko Lumpia Paling Enak di Semarang Terminal Mojok

5 Toko Lumpia Paling Enak di Semarang

29 Juni 2022
Menjadi Orang Desa yang Makan di Restoran Bergaya Pedesaan Terminal Mojok

Menjadi Orang Desa yang Makan di Restoran Bergaya Pedesaan

6 Maret 2022
Saran untuk Warga Jawa Tengah yang Daerahnya Mulai Diserbu Pabrik

Saran untuk Warga Jawa Tengah yang Daerahnya Mulai Diserbu Pabrik

28 Juni 2022
linux os windows mojok

3 Hal yang Bikin Pengguna Windows Enggan Hijrah ke Linux

26 Juni 2022
Stasiun Cipeundeuy Beneran Sakti Atau Keselamatan Harga Mati Terminal Mojok

Stasiun Cipeundeuy: Beneran Sakti Atau Keselamatan Harga Mati?

21 Juni 2022
Ciumbuleuit Adalah Salah Satu Alasan Mengapa Bandung Harus Berhenti Diromantisasi Terminal Mojok

Ciumbuleuit Adalah Salah Satu Alasan Mengapa Bandung Harus Berhenti Diromantisasi

2 Juli 2022
Dialek yang Perlu Dipelajari Kalau Merantau ke Kota Kudus Terminal Mojok

Bahasa Jawa Khas Orang Kudus yang Perlu Dipelajari Kalau Hendak Merantau ke Kota Kretek

2 Juli 2022

Dari MOJOK

  • Tentang ‘Golden Hour’, Waktu Tersyahdu Nonton Prambanan Jazz
    by Hammam Izzuddin on 3 Juli 2022
  • Kesegaran Es Doger Balai Yasa dan Kenangan tentang Lapas Cebongan
    by Hammam Izzuddin on 3 Juli 2022
  • Berawal dari Dragon Ball, Wasesa Jual Beli 200 Ribu Barang Antik
    by Yvesta Ayu on 3 Juli 2022
  • Sei Sapi, Saat Daging Asap NTT Beradaptasi dengan Lidah Jogja
    by Arif Hernawan on 2 Juli 2022
  • Tyrell Malacia Resmi ke MU, Target Selanjutnya Lisandro Martinez
    by Hammam Izzuddin on 2 Juli 2022

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=zRFVjZ-vYH0

Subscribe Newsletter

* indicates required

  • Tentang
  • Ketentuan Artikel Terminal
  • F.A.Q.
  • Kirim Tulisan
DMCA.com Protection Status

© 2022 Mojok.co - All Rights Reserved .

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Gaya Hidup
    • Cerita Cinta
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Hewani
    • Kecantikan
    • Nabati
    • Olahraga
    • Otomotif
    • Personality
  • Pojok Tubir
  • Kampus
    • Ekonomi
    • Loker
    • Pendidikan
  • Hiburan
    • Acara TV
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Tiktok
  • Politik
  • Kesehatan
  • Mau Kirim Tulisan?
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2022 Mojok.co - All Rights Reserved .

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In