Kenapa nggak ada yang bilang sih kalau harga pakaian dalam itu mahal? Dewasa kok menyedihkan gini yha
Dulu, dalam benak saya, jadi dewasa itu berarti boleh tidur larut malam tanpa dimarahi ibu. Jadi dewasa juga berarti dibolehin nyetir motor sendiri dan nginep di rumah temen. Termasuk, dibolehin pakai bedak dan lipstik.
Tapi siapa sangka, menjadi dewasa ternyata lebih dari itu semua. Ketika seseorang beranjak dewasa, bukan hanya tanggung jawabnya yang bertambah, tapi culture shock-nya juga nambah. Salah satunya adalah menyadari bahwa harga pakaian dalam itu mahal sekali.
Zaman kecil dulu, mana paham kita kalau harga pakaian dalam ternyata mahal begini. Tahu-tahu, barang mungil itu sudah ada di lemari. Bapak dan ibu yang selama ini beli. Barulah ketika dewasa, ketika beli pakaian dalam dari kantong sendiri, kagetnya sampai ke ulu hati. Mahal, euy!
Daftar Isi
Pakaian dalam adalah kebutuhan pokok
Dipikir-pikir, harga pakaian dalam yang mahal ini lucu juga, ya? Maksud saya, pakaian dalam itu kan bagian dari kebutuhan dasar, bukan kemewahan. Kurang lebih sama lah seperti makan, tidur nyenyak, atau punya akses ke air bersih. Tapi, kenapa ya pakaian dalam yang layak dan nyaman terasa seperti barang mewah? Akhirnya, baru bisa dibeli kalau kita punya penghasilan tetap, dapat bonusan dari kantor, atau pas yang punya merek lagi diskon gede-gedean.
Di pasar, toko grosiran, ataupun di lapak dadakan pas car free day, kita mungkin bisa menemukan sempak seharga 10 ribu dapat 3 pcs dan bra seharga 25 ribuan saja. Tapi, kita semua pasti tahu betul bahwa itu semua datang dengan risiko. Mulai dari bahan yang kasar, karet yang mencekik, dipake terasa panas, serta keluhan-keluhan lain.
Soal ketahanan pun, pakaian dalam murahan sudah jelas tidak akan awet. Baru kena cuci beberapa kali saja, karetnya mulai kendor, jahitan lepas, serta bolong kecil di mana-mana.
Risiko kesehatan
Bukan hanya itu saja. Dilihat dari kacamata kesehatan, pakaian dalam murahan ini jelas berisiko. Bahan sintetis seperti poliester, nilon, atau campuran plastik yang biasanya digunakan untuk memproduksi pakaian dalam versi murah, membuat area genital jadi jadi lembap terus. Padahal, tempat lembap sama dengan surga bagi jamur dan bakteri. Say hello deh sama infeksi jamur, keputihan, ruam dan gatal.
Ditambah lagi, pakaian dalam murah umumnya juga dicelup menggunakan pewarna tekstil kualitas rendah yang mengandung zat beracun seperti azo dye. Pewarna ini bisa menyebabkan iritasi kulit, alergi, bahkan dalam jangka panjang memicu risiko kanker jika terus-menerus bersentuhan dengan kulit sensitif.
Bayang-bayang eksploitasi di lembaran pakaian dalam murah
Parahnya lagi, pakaian dalam murah ini termasuk dalam kategori fast fashion. Nah, seperti yang kita tahu, fast fashion ini bekerja karena ada rantai pasok yang eksploitatif. Kita –sebagai konsumen –bukannya tidak tahu ada bayang-bayang eksploitasi tenaga kerja dalam industri fast fashion. Tapi, ya, mau bagaimana lagi? Nggak ada pilihan. Mau beli brand lokal yang bahannya nyaman dan pekerjanya dibayar dengan manusiawi, ehhh, harganya yang nggak manusiawi.
Ya gimana nggak mahal? Rata-rata brand lokal ini tidak disokong negara. Tidak ada subsidi bahan baku, tidak ada insentif produksi, tidak ada proteksi pasar. Mereka berjuang sendiri di tengah pasar yang dibanjiri barang impor murah.
Wah, endingnya menyalahkan pemerintah nih untuk urusan harga pakaian dalam yang mahal?
Ya, menurut kalian, siapa lagi coba yang harus disalahkan? Pemerintah itu punya kapasitas loh untuk mengatur regulasi, dsb. Tapi nyatanya? Harga pakaian dalam yang nyaman tetap saja mahal. Gimana, dong?
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Celana Dalam Wanita Indomaret, Celana Dalam Puluhan Ribu Rasa Ratusan Ribu