Sudah menjadi tanda tanya besar, misteri, bahkan menjadi kegelisahan para pelanggan yang menyaksikan betapa nggak ramahnya tukang fotokopi itu. Sering dianggap sangat jutek, cemberut, bahkan kadang ngegas kalau ngomong. Pokoknya, nggak ada senyum-senyumnya sama sekali. Sangat berbeda dengan pelayanan minimarket, teller bank, atau resepsionis hotel.
Bahkan bisa dikatakan, tukang fotokopi itu ekspresinya sebelas dua belas dengan rentenir dan debt collector yang terkenal garang, ngeselin, badmood-an, dan jutek.
Saya selaku tukang fotokopi sangat mengakui itu semua. Itulah yang memang saya alami selama ini menjalani hidup sebagai tukang fotokopi. Kami sangat sulit untuk murah senyum layaknya mbak-mbak minimarket atau layaknya mas-mas cleaning service hotel.
Namun, perlu dicatat bahwa sikap kami yang seperti demikian bukanlah karakter sebenarnya. Hidup kami bukan setidak menyenangkan itu. Melainkan, tindakan kami yang demikian dilatarbelakangi oleh berbagai faktor luar yang memaksa kami menjadi individu yang sangat nggak bersahabat. Lebih tepatnya didominasi karena oleh pelanggan itu sendiri yang menyebalkan.
Masih pagi tapi fotokopi cuma secuil
Di momen paling awal, ketika membuka gerai fotokopi, sesuatu yang paling menjengkelkan menjadi tukang fotokopi yakni menemui pelanggan yang hanya fotokopi secuil di pagi hari. Mohon maaf sebelumnya ya, menyalakan mesin fotokopi saja dengan 13000 watt itu menghabiskan listrik banyak. Menjadi sangat menjengkelkan ketika masih baru buka toko, tapi pembelinya hanya fotokopi dua lembar. Itu pun cuma fotokopi KTP.
“Difotokopi pinten buk?” tanyaku pada seorang pembeli di pagi hari yang menyodorkan KTP-nya kepada saya. “Loro ae mas, wong digawe nang balai desa pisan tok ae kok,” ujar pelanggan saya dengan senyum manisnya yang justru menyayat hati saya. Bodo amat dengan kepentingannya di Balai Desa, seketika itu raut wajah saya menjadi berubah. Tanpa senyuman, hening, bahkan alis saya saling beradu. Sambil menyodorkan kertas fotokopi dan KTP-nya sembari nyeletuk, “500 buk”.
Jengkel banget nggak sih, masih pelaris gitu lo, tapi cuma segitu belinya. Maksud saya kalau ke fotokopi itu sekalian banyak dikit kek, habis dua ribu gitu misalnya. Biar kalau ada kepentingan yang lain, nggak bolak balik ke fotokopi. Udah habis bensin, nguras tenaga ke fotokopi, tapi di tokonya malah cuma habis 500 perak. Sangat nggak efesien cara hidup masyarakat kita.
Habis gopek, bayarnya goban
Pasca mendengar “500 buk”, sang ibu pelanggan itu mengeluarkan uang kertasnya berwarna biru terang bergambarkan sosok Ir. H. Djuanda Kartawidjaja yang kemudian diserahkan ke saya. “Anjir, fotokopi cuma gopek, bayarnya goban,” celetuk hati saya saat itu yang semakin memanas sembari menerima uang bertuliskan lima puluh ribu rupiah.
Maksudnya apa sih pelanggan yang seperti ini tuh. Ngetes kesabaran saya atau bagaimana? Nggak sekalian aja gitu pakek kartu kredit? Sumpah saat itu perasaan saya pengen ngeremes diri saya sendiri. Kemudian dipenyetin, digeprek trus dikasih sambel.
Kalau saya kehabisan stok sabar, biasanya saya memberikan kembalian dengan uang yang nilainya kecil. Mulai dari kumpulan uang dua ribu dan kumpulan uang lima ribu. Biar sekalian saya balas dendam ke tuh pelanggan. “Niki bu, matur nuwun,” sambil menyerahkan kembalian tumpukan uang dua hingga lima ribu rupiah, sembari memasang raut wajah yang super jutek, ketus bahkan cuek. Walhasil pelanggan itu menerima uang kembalian sambil berwajah heran, agak mangkel juga, dan membalas sama-sama jutek.
Baca halaman selanjutnya
Udah fotokopi dikit, ngutang lagi…