Terminal Mojok
Kirim Tulisan
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Film
    • Sinetron
    • Anime
    • Musik
    • Serial
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Kecantikan
    • Game
    • Gadget
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Terminal Mojok
Kirim Tulisan
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
  • Gaya Hidup
  • Kunjungi MOJOK.CO
Home Gaya Hidup

Menghakimi Secara Sosial Adalah Budaya Kita

Taufik oleh Taufik
11 Juli 2019
A A
menghakimi secara sosial

menghakimi secara sosial

Share on FacebookShare on Twitter

Ada sebuah kebiasaan masyarakat yang berkembang entah sejak era kapan. Saya memberi nama “menghakimi secara sosial” untuk kebiasaan dan tradisi ini. Dari namanya saja, kita bisa menyimpulkan beberapa hal. Menghakimi yang berarti ada satu, dua, tiga atau banyak orang yang berkedudukan sebagai hakim. Dia atau mereka bertindak secara nyata menentukan seseorang bersalah atau tidak. Lalu jika ada hakim disana tentu saja harus ada seorang, dua orang atau lebih yang berkedudukan sebagai orang terdakwa. Dia atau mereka yang dengan kesalahan entah apa lantas harus secara spontan duduk di kursi pesakitan sebagai seorang bersalah. Entah nanti terbukti atau para hakim massal ini yang memaksanya bersalah.

Tradisi “menghakimi secara sosial” ini seperti yang saya jelaskan diatas, bukan hal yang baru dalam masyarakat. Bahwa ketika terjadi sesuatu hal terjadi diluar norma yang berlaku umum lantas semua orang berhak menjadi penegak norma. Norma yang dilanggar dan orang-orang merasa berhak menjadi pengadil itu kebanyakan adalah norma sosial. Jikapun ternyata bukan norma sosial bisa juga norma hukum. Namun dengan tradisi menghakimi yang sama.

Misal saja seorang melakukan pencurian, lantas semua orang sebagai para pengadil mengejar pelaku. Seteah tertangkap sang pelaku, pekerjaan sebagai penegak norma dengan dalih “menghakimi secara sosial” ini belum selesai. Mereka para hakim dan pengadil ini merasa memiliki hak untuk memberikan sedikit dua dikit kepalan tangan di wajah atau di perut si pelaku pencurian. Apakah fair? Atau dengan pertanyaan lain, apakah benar secara hukum? Bisa jadi tidak. Tapi secara sosial, bisa jadi hal ini dibenarkan.

Kita bisa menebak apa yang selanjutnya terjadi. Bahkan tanpa harus menelisik secara lebih mendalam apa yang dilakukan para hakim dan pengadil, kita pernah disuguhi berita orang yang dibakar hanya karena diduga mencuri amplifier milik masjid. Di mata hukum, apa yang diduga dilakukan sang pencuri adalah salah. Namun, melihat dengan mata telanjang dalam perspektif seorang netral, membunuh bahkan dengan cara dibakar? Hukuman apa yang lebih sadis dari itu?

Dan kita juga bisa melihat hal lain yang bisa saja terjadi. Katakanlah, provokator. Mereka yang merasa tidak senang dengan seseorang lantas memprovokatori sebuah aksi dengan menuduh seseorang sebagai seorang pelaku. Lantas orang yang percaya dengan itu kemudian berdiri dalam posisi sebagai hakim dan pengadil. Lantas ikut menghakimi pelaku. Dan kejadian yang masih hangat diingatan kita adalah ketika seorang mahasiswa menjadi korban pengeroyokan di dalam masjid karena difitnah menjadi maling toa masjid. Padahal faktanya dia hanyalah korban provokator. Miris!

Sebagai akibat ketakutan atas tradisi “menghakimi secara sosial” ini, juga terjadi dalam konteks hal-hal kecil. Beberapa waktu lalu saya naik kapal dari Wakatobi menuju Bau-bau. Lantas sebuah kejadian terjadi, seorang wanita tidak sengaja menjatuhkan gelas berisi tehnya (untung gelasnya tidak pecah). Bunyi gemericik. Dan bisa kita tebak apa yang terjadi selanjutnya. Semua orang menatap tajam kepada si wanita ini.

Mungkin hal biasa aja ketika si wanita ini tidak sengaja menjatuhkan gelas berisi tehnya. Lalu hal biasa juga ketika orang-orang lantas melihat kearahnya. Apalagi jika mereka memang kaget akan hal itu. Apalagi kalau ada diantara mereka yang latah ye kan? Bisa sambil dansa dia tuh. Tapi yang ingin saya perjelas disini adalah sikap orang-orang terhadap kejadian ini. Mereka dengan tatapan yang begitu sinis dan tajam seolah lantas menjadi hakim kepada si wanita ini.

Bahwa apa yang dilakukan si wanita ini entah sengaja atau tidak adalah sebuah kesalahan. Dan semua orang lantas berkedudukan sebagai seorang hakim. Dan mereka yang mengaku hakim dan pengadil ini tidak memberi ruang kepada si wanita tersebut untuk menjelaskan ketidaksengajaannya.

Baca Juga:

Melecehkan Pelaku Pelecehan Seksual Itu Goblok!

Iklan Indomilk Gemas 2022: Iklan Cerdas yang Tampar Masyarakat Indonesia

Semua kejadian yang saya ceritakan diatas menjadi cerminan kehidupan keseharian kita sebagai bangsa yang katanya “beradab”. Bahwa orang, entah sengaja atau tidak sengaja, korban provokasi atau bukan, jika dia salah maka harus dihukum.

Bahwa ketika seorang salah, memang harus dihukum. Dan sebisa mungkin hukumannya sesuai porsi kesalahannya, itu benar adanya. Tapi kita melupakan hal bahwa untuk kesalahan secara hukum, kita masih memiliki penegak hukum yang memang punya tugas dan fungsi itu. Atau kita bisa memaafkan mereka sebagai pelaku yang tidak sengaja melakukan kesalahan. Atau yang lebih parah, mereka melakukan kesalahan dalam kondisi yang kepepet. Saat mereka butuh uang saat itu juga untuk mengobati anaknya yang sakit padahal uangnya sudah habis.

Kita sering kali lebih melihat tradisi “menghakimi secara sosial” ini lebih tinggi posisinya dari “memaafkan karena kemanusiaan”. Kita lebih sering ingin tampil sebagai pahlawan karena menyelamatkan seorang ibu yang kecopetan dengan membuat sang pelaku babak belur, misalnya. Padahal untuk alasan tertentu, kadang kitalah yang membuat kondisi “pelaku” berada pada posisi melakukan kesalahan, lebih-lebih kejahatan.

Terakhir diperbarui pada 19 Januari 2022 oleh

Tags: Kritik Sosialmain hakim sendirimenghakimi orang
Taufik

Taufik

Ide adalah ledakan!

ArtikelTerkait

Penting tapi Kadang Dilupakan: Kursi Tunggu di Tempat Belanja terminal mojok.co

Belanja Lebaran Bareng Om Baudrillard

4 Juni 2019
penyanyi cilik

Penyanyi Cilik dan Lagu Anak-Anak yang Semakin Langka

23 Juni 2019
pacaran

Pas Kecil Lihat Orang Dewasa Pacaran, Pas Dewasa Lihat Anak Kecil Pacaran

8 Agustus 2019
pindah agama mualaf

Euforia Pindah Agama ke Islam, Bagaimana Kalau Sebaliknya?

22 Juni 2019
Melecehkan Pelaku Pelecehan Seksual Itu Goblok!

Melecehkan Pelaku Pelecehan Seksual Itu Goblok!

18 Desember 2022
otw

Menghargai Waktu dan Menyikapi Kata OTW Saat Membuat Janji

8 Juni 2019
Muat Lebih Banyak

Terpopuler Sepekan

Nestapa Tinggal di Kendal: Saat Kemarau Kepanasan, Saat Hujan Kebanjiran

Nestapa Tinggal di Kendal: Saat Kemarau Kepanasan, Saat Hujan Kebanjiran

22 Desember 2025
Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, tapi Layanan QRIS-nya Belum Merata Mojok.co

Menjajal Becak Listrik Solo: Cocok untuk Liburan, Sayang Layanan QRIS-nya Belum Merata 

24 Desember 2025
Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

Jepara Adalah Kota Ukir, Kota yang Ahli Memahat Indah kecuali Masa Depan Warganya

26 Desember 2025
Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

Panduan Bertahan Hidup Warga Lokal Jogja agar Tetap Waras dari Invasi 7 Juta Wisatawan

27 Desember 2025
Garut Bukan Cuma Dodol, tapi Juga Tempat Pelarian Hati dan Ruang Terbaik untuk Menyendiri

Garut Itu Luas, Malu Sama Julukan Swiss Van Java kalau Hotel Cuma Numpuk di Cipanas

23 Desember 2025
Daihatsu Gran Max, Si "Alphard Jawa" yang Nggak Ganteng, tapi Paling Bisa Diandalkan Mojok.co

Daihatsu Gran Max, Si “Alphard Jawa” yang Nggak Ganteng, tapi Paling Bisa Diandalkan

25 Desember 2025

Youtube Terbaru

https://www.youtube.com/watch?v=SiVxBil0vOI

Liputan dan Esai

  • Kala Sang Garuda Diburu, Dimasukkan Paralon, Dijual Demi Investasi dan Klenik
  • Pemuja Hujan di Bulan Desember Penuh Omong Kosong, Mereka Musuh Utama Pengguna Beat dan Honda Vario
  • Gereja Hati Kudus, Saksi Bisu 38 Orang Napi di Lapas Wirogunan Jogja Terima Remisi Saat Natal
  • Drama QRIS: Bayar Uang Tunai Masih Sah tapi Ditolak, Bisa bikin Kesenjangan Sosial hingga Sanksi Pidana ke Pelaku Usaha
  • Libur Nataru: Ragam Spot Wisata di Semarang Beri Daya Tarik Event Seni-Budaya
  • Rp9,9 Triliun “Dana Kreatif” UGM: Antara Ambisi Korporasi dan Jaring Pengaman Mahasiswa

Konten Promosi



Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Tulisan
Ketentuan Artikel Terminal
Kontak

Kerjasama
F.A.Q.
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Nusantara
  • Kuliner
  • Kampus
    • Pendidikan
  • Ekonomi
  • Teknologi
  • Olahraga
  • Otomotif
  • Hiburan
    • Anime
    • Film
    • Musik
    • Serial
    • Sinetron
  • Gaya Hidup
    • Fesyen
    • Gadget
    • Game
    • Kecantikan
  • Kunjungi MOJOK.CO

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.