Tak terasa hampir 10 tahun saya migrasi ke Bukittinggi. Sebelumnya, saya terbiasa menikmati hidup ala metropolitan ketika 30 tahun lebih tinggal di ibu kota Jakarta. Di Jakarta, segalanya ada. Salah satunya kehadiran bioskop modern.
Salah satu hobi yang saya harapkan bisa terus saya lakukan setelah pindah ke Bukittinggi adalah menonton film di bioskop. Sayangnya, di Bukittinggi belum ada gedung bioskop modern. Iya, di sini tidak ada bioskop modern sekelas grup Cineplex 21 atau CGV itu. Padahal jejak-jejak wahana hiburan ini ada, lho. Tak hanya satu, melainkan 3 sekaligus! Namanya pun keren-keren, sebut saja Bioskop Eri, Bioskop Gloria, dan Bioskop Sovia. Untuk bioskop terakhir ini, ada sebagian orang yang meyakini ejaannya adalah Sovya alih-alih Sovia. Namun, tidak bisa dibuktikan mana yang benar lantaran terakhir kali saya amati, hanya tinggal tiga huruf yang tertinggal di puncak gedungnya, yakni huruf S, O, dan A.
Untuk Bioskop Gloria dan Bioskop Sovia, keduanya sudah lama tak beroperasi alias tutup. Namun, bangunannya masih berdiri tegak hingga kini walau terlihat rapuh dimakan usia. Konon, Bioskop Sovia malah sudah ada sejak zaman kolonial, lebih tua dari Nyonya Meneer.
Sedikit cerita tentang tiga bioskop yang ada di Bukittinggi ini. Bioskop Sovia adalah legenda. Bangunannya terlihat mentereng karena arsitekturnya yang klasik membentuk imajinasi tersendiri akan kejayaannya di masa lalu. Lokasi bioskop ini di daerah Kayu Kubu Guguak Panjang. Lokasinya cukup strategis mengingat ini adalah salah satu jalan utama menuju Jam Gadang, ikon Kota Bukittinggi. Sayangnya, puluhan tahun Bioskop Sovia terabaikan. Saat ini, halaman parkirnya yang luas dijadikan tempat parkir kendaraan pribadi atau bus-bus pariwisata. Sementara beberapa area lainnya dijadikan warung, kedai oleh-oleh, atau restoran oleh sebagian warga.
Sebelas dua belas dengan Sovia, Bioskop Gloria pun saat ini menjalani suratan takdir yang sama, yakni dialihfungsikan sebagai tempat parkir. Mungkin karena lokasinya juga “cakep”, kira-kira 200 meter dari pintu masuk Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan, kebun binatangnya Bukittinggi.
Nasib berbeda dialami oleh bioskop satu lagi, Bioskop Eri. Sampai saat ini, Bioskop Eri masih menjalani kodratnya sebagai tempat menonton film. Dari pengamatan saya, bioskop ini masih memutar satu film dengan dua kali pertunjukan setiap hari. Film-film yang diputar sebenarnya cukup menggoda. Seingat saya, beberapa di antaranya adalah Kereta Hantu Manggarai dan Kuntilanak Kesurupan.
Apakah keberadaan Bioskop Eri sudah bisa memenuhi hasrat saya yang mendambakan kehadiran bioskop modern di Kota Bukittinggi? Saya rasa kalian sudah bisa menemukan jawabannya dengan membaca judul-judul film tersebut, apalagi ditambah kondisi fisik bangunan bioskop.
Bioskop Eri mungkin tak setua Sovia. Hasil wawancara dengan pengelolanya pada video dokumenter tentang bioskop ini di YouTube, usia Bioskop Eri dikatakan sudah lebih dari 40 tahun juga. Saya kira, pada saat grand opening-nya dulu, saya masih ingusan. Masih main galasin.
Tapi, saya bisa membayangkan bagaimana kondisinya saat itu. Melihat wujud bangunannya saat ini, saya merasa ya seperti itulah bioskop ini di zaman “lebih dari 40 tahun lalu” itu. Kalau dibandingkan dengan dua bioskop lainnya, Bioskop Eri memang tidak se-perlente Bioskop Sovia, tapi sepertinya juga masih lebih kecil daripada Bioskop Gloria. HTM-nya saat ini Rp15.000 saja. Kursinya terbuat dari rotan. Dengan keotentikannya itu, jelas bioskop ini masih jauh untuk dikategorikan sebagai bioskop modern.
Kondisi inilah yang sering bikin saya galau. Kenapa tidak ada bioskop modern di Bukittinggi sementara bukti peninggalan kejayaan per-bioskop-an terlihat jelas di sini?
Bioskop Eri, sebagai satu-satunya bioskop yang masih beroperasi, seperti dibiarkan mati suri. Hidup segan, mati pun enggan. Sampai saat ini saya belum pernah mendengar ada rencana pembangunan bioskop modern di Bukittinggi, atau sekadar crazy rich anu berniat merenovasi Bioskop Eri, misalnya.
Padahal, sebagai kota yang ber-title “wisata”, saya merasa justru seharusnya keberadaan bioskop modern diperhitungkan sebagai salah satu peranti yang bisa meningkatkan gairah kepariwisataan. Kota Bukittinggi ini sudah sangat dikenal dengan pesona alam dan ragam kuliner tradisionalnya yang menggoda. Sangat disayangkan kalau berpuluh-puluh tahun kepariwisataan yang “ditawaran” berkutat di situ-situ saja. Bakodak (berfoto) di Jam Gadang, makan nasi kapau atau bebek lado ijo di Ngarai Sihanouk, serta belanja telekung kerancang (mukena dengan bordir khas Minangkabau). Lalu, apa lagi?
Mengapa tak pernah terpikir untuk menghadirkan bioskop modern untuk memperkaya pariwisatanya? Menonton film bernuansa Minang, misalnya, bisa dikembangkan menjadi salah satu itinerary wajib kala pelesiran di kota ini. Pasarnya ada, kok.
Kalau saya perhatikan, cukup banyak wisatawan yang berasal dari kabupaten-kabupaten dan kota di sekitar Bukittinggi. Menonton film di bioskop modern mungkin bisa menjadi salah satu kegiatan menarik yang bisa dilakukan selama pelesiran di Kota Bukittinggi.
Selama saya tinggal di sini, setidaknya sudah tiga kali pemutaran film di layar lebar dihadirkan di kota ini. Pertama, pada pertengahan 2017 lalu diputar Surau dan Silek, film yang kental dengan budaya Minangkabau. Film ini diputar di Balai Sidang Bung Hatta menggunakan proyektor yang ditembakkan ke sebuah layar lebar. Pertunjukan digelar selama 10 hari dengan jadwal 6 kali pertunjukan setiap harinya. HTM-nya Rp50.000.
Treatment yang hampir sama pun kembali dilakukan ketika pemutaran film Liam dan Laila tahun 2019. Masih di Balai Sidang Bung Hatta, diputar bertepatan dengan libur lebaran. HTM-nya lebih murah, Rp25.000.
Balai Sidang Bung Hatta memang menjadi langganan tempat pemutaran film. Dari laman Republika.co.id saya mengetahui bahwa film Negeri 5 Menara pernah juga diputar di sini tahun 2012. Sementara film terakhir yang saya tonton di tempat ini adalah dokumenter tentang band Noah, beberapa tahun lalu.
Kalau sudah ada beberapa kali pemutaran film di kota ini, bukankah sebenarnya ada peluang yang bisa digarap di sini? Mengapa tidak ada yang memfasilitasinya dengan membangun bioskop modern? Yang membekas dari pengalaman saya dua kali nobar di Balai Sidang Bung Hatta itu justru kenangan pegal-pegal dan gejala sakit pinggang kumat setelahnya. Lha gimana, duduk manis 1,5 jam di kursi futura, je! Sensasinya itu lho, serasa meeting! Coba kalau ada bioskop modern. Kenyamanan fasilitas yang ditawarkannya bisa saja menjadi tujuan wisata sendiri.
Disadari atau tidak, kehadiran bioskop di kota ini diperlukan tak hanya untuk mendiversifikasi pariwisata, namun juga sebagai salah satu sarana untuk pembelajaran disiplin. Mengapa?
Salah satu hal yang harus saya maklumi di kota ini adalah ketidaktepatan waktu. Budaya ini saya rasakan hampir di setiap kesempatan. Mulai dari janjian level komunitas, sampai perundingan serius pun idem. Hampir selalu meleset dari waktu yang disepakati. Huh.
Dari kenangan warga kota pula saya mengetahui bahwa per-bioskop-an di kota ini berjaya di era 80-an. Saya sebenarnya tak bisa membayangkan bagaimana kondisinya saat itu. Apakah pemutaran film dimulai on time seperti sistem bioskop modern zaman sekarang, atau justru bioskop-bioskop tersebut yang akhirnya “beradaptasi” dengan keterlambatan?
Di sinilah saya melihat perlunya bioskop modern. Keberadaannya mungkin bisa menjadi sarana untuk membiasakan warganya on time karena pemutaran film biasanya dimulai tepat waktu, sesuai jadwal. “Ngaret” justru berisiko kehilangan adegan penting dalam film. Lima menit saja terlambat, ketinggalan deh nonton Joker ngerampok bank di Batman The Dark Knight, yang diklaim sebagai salah satu adegan pembuka ter-epic. Rugi!
Saya sempat berasumsi bahwa mungkin ketiadaan bioskop modern disebabkan karena adanya kekhawatiran timbulnya hal-hal yang tidak sesuai dengan adat dan syariat, seperti tren muda-mudi berduaan. Kota ini memang berusaha untuk menerapkan filosofi dan syariah Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dan selama belum ditemukan solusi bagaimana menyikapi hal-hal yang dikhawatirkan itu, saya rasa keberadaan bioskop modern di kota ini masih sebatas menari-nari dalam mimpi. Entah sampai kapan.
Penulis: Dessy Liestiyani
Editor: Intan Ekapratiwi