Malam perayaan menuju lebaran adalah malam yang banyak dinantikan oleh umat muslim di mana pun. Pasalnya, mereka akan merayakan hari kemenangan di esok hari. Pada hari terakhir bulan Ramadan, semua akan dipersiapkan. Tradisi lebaran memang identik dengan suasana bahagia. Selain berkesempatan bertemu dengan anggota keluarga besar, sajian makanan nikmat pun turut menyempurnakannya.
Ketika malam lebaran tiba, jalanan akan ramai oleh anak-anak dan pemuda yang melakukan takbir keliling. Dari yang jalan kaki hingga yang memakai mobil bak terbuka (pick up) untuk mengangkut sound system dan melakukan takbir keliling antar desa.
Rumah-rumah telah dibersihkan, toples-toples berisi kue dan jajanan sudah tertata rapi di atas meja. Dan tentunya juga sudah menyiapkan amplop kecil berisi selembar-dua lembar uang baru untuk dibagikan kepada anak-anak yang datang.
Tiap tahun selalu ada berita soal kebutuhan uang baru yang meningkat seiring dengan kebutuhan Tunjangan Hari Raya (THR) jelang Ramadan dan lebaran. Pasalnya selain pekerja, anak-anak juga akan menagih THR ketika lebaran tiba.
Bagi-bagi uang ketika lebaran seakan sudah menjadi keharusan di negara kita. Bahkan Sosiolog Universitas Indonesia juga mengatakan bahwa fenomena tersebut merupakan manifestasi dari nilai berbagi kepada sesama, dan juga manifestasi dari nilai fitrah yang dipahami oleh sebagian besar masyarakat kita. Walaupun misalnya, makna fitrah dan berbagi jika dikaji lebih dalam tidak hanya sebatas itu.
Lebaran sama dengan mengumpulkan pundi-pundi uang dari tetangga dan sanak saudara. Sayangnya, semakin beranjak dewasa dan beranjak usia, THR yang bisa masuk kantong justru semakin tipis bahkan kadang kosong.
Jadilah teringat masa kecil dulu. Setiap malam takbiran, usai salat Isya dan mengikuti takbiran di masjid, saya berkumpul bersama saudara atau teman-teman lain di halaman masjid. Kemudian kami akan pluputan (silaturahmi) bersama ke rumah-rumah tetangga dengan berjalan kaki. Rumah siapapun kami masuki, kenal atau tidak. Dengan beramai-ramai atau dengan geng dan komplotan masing-masing
Alasan kami selalu keliling ketika malam lebaran karena saat-saat tersebut tamu cenderung masih lebih sedikit dibandingkan ketika hari H lebaran. Selain itu, biasanya selesai salat Idul Fitri, setiap orang termasuk anak-anak, akan menghabiskan waktu dengan keluarganya masing-masing. Jadilah malam takbiran merupakan momen yang pas untuk berkumpul dan bermain.
Lalu ketika sampai depan rumah mereka, kami akan mengucap salam secara bersamaan kemudian masuk. Duduk sebentar, sekadar menjawab pertanyaan basa-basi dari tuan rumah,
“Iki anake sopo ae?” (ini anaknya siapa saja?)
“Kelas piro?” (kelas berapa?)
“Sekolahe nang ndi?” (sekolah di mana?)
Hingga pertanyaan, “Diajari opo ae nak sekolahan?” (diajari apa saja di sekolah?). Padahal kan ya nggak mungkin kita jelasin semua materi pelajaran yang diajarkan di sekolah. Hadeeeh~
Kesalnya, pertanyaan itu akan diulang-ulang di setiap rumah. Dan jika yang datang terlalu banyak, maka pertanyaan itu hanya berlaku untuk satu atau dua orang yang duduk terdekat dengan si empunya rumah. Setelahnya, kami akan pamit dan disalami dengan satu atau dua lembar uang baru (tujuan yang sebenarnya). Pada saat itu, mendapat seribu rupiah saja sudah bersyukur sekali, apalagi bisa mendapat lebih. Hehehe.
Setelah pukul 9 malam, kami akan berhenti di halaman masjid lalu menghitung uang masing-masing. Ada yang langsung dipakai membeli mercon (petasan). Ada juga yang ditabung. Nah, saya termasuk yang terakhir itu.
Hingga kini, tradisi semacam itu masih banyak sekali ditemui. Apalagi di desa-desa. Namun, jelas beda posisi sekarang. Ketika malam takbiran, saya yang akan menunggu anak-anak itu di ruang tamu, mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang mereka dapatkan di setiap rumah, lalu memberi selembar lima ribu uang baru.
Namun terkadang kesal juga meladeni anak-anak itu. Karena mereka, saya jadi nggak bisa nonton film-film bagus yang sering mengisi layar televisi ketika malam takbiran. Baru selesai satu kloter anak-anak bertamu, dan saya duduk hendak leyeh-leyeh atau cemal-cemil makanan, datang lagi satu kloter. Begitu terus. Dan biasanya baru sepi jam 9 malam. Alhasil, acara TV yang ditunggu-tunggu, terlewat begitu saja.
Tapi di lain sisi, melihat wajah-wajah bocah yang masih lugu dan tak jarang memasang wajah malu juga membuat saya gemas. Pengin nabok. Eh, astagfirullah.
BACA JUGA Esai-esai Terminal Ramadan Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.