Anak saya, Albi Irza Syah, saat ini telah memasuki usia 1 tahun 7 bulan. Sebagai bayi seusia itu, ia mulai memiliki beberapa kosakata yang khas bayi seusianya. Sedikit demi sedikit saya mulai mengetahui upaya bayi mengenal lingkungan sekitarnya adalah dengan melakukan koding: kategorisasi berdasar ciri khas dari benda-benda di lingkungannya. Meski telah mempelajari psikolinguistik dan cukup mengerti bagaimana pemerolehan bahasa pada anak, saya tetap kagum melihatnya secara langsung.
Ada satu ciri khas unik dari bagaimana bayi seusia itu mengenal lingkungannya dan memproses bahasa sederhana yang lebih mudah diucapkan. Cecak, misalnya, akan disebutnya “hap”, diambil dari lagu “Cicak-cicak di Dinding”. Makan disebutnya “mem”, minum menjadi “nem”, kucing menjadi “meng”, es krim menjadi “nak”, dan dia mulai konsisten menggunakan. Karena instrumen untuk melafalkan suara belum terbentuk dengan sempurna jadi hanya ketukan morfem yang terucap.
Lucunya, bayi seperti Albi belum mampu membedakan antara kategori-kategori yang lebih spesifik dan cenderung menggeneralisir kategori-kategori tersebut. Misalnya untuk panggilan “meng: untuk kucing, hewan berkaki empat pertama yang dia kenal, tidak hanya digunakan untuk kucing, melainkan juga ke semua hewan berkaki empat. Ini menjadi lucu sekaligus menakutkan.
Ketika saya ajak berjalan-jalan ke luar lalu dia melihat anjing, segeralah dia ulurkan tangannya dan memanggil, “Meng… meng… meng….” Begitu juga waktu menonton TV, melihat kuda, sapi, kambing, semuanya adalah “meng” baginya. Saya ngeri waktu dia nonton National Geographic Wild dan melihat singa di sabana, dia juga mengatakan meng sembari mengulurkan tangan. Seketika terbayang di pikiran saya kalau saya mengajaknya ke kebun binatang, dia masuk kandang singa terus mengulurkan tangan sambil memanggil “Meng… meng… meng…”. Ambyar!
Tidak hanya meng, cecak yang disebutnya “hap” juga begitu. Semua yang punya ciri mirip cecak, seperti kadal, biawak, mungkin sampai komodo, juga akan disebut “hap”. Ternyata bukan hanya ciri fisik yang membantunya mengategorisasi benda, namun juga perilakunya. Saya mengetahuinya ketika dia melihat tikus berlari di tembok, seketika itu juga dia berteriak, “Hap… hap… hap….” Akhirnya saya sadar ia membuat kategorisasi tidak hanya dari penampian, namun perilaku yang dikenal dari hewan tersebut.
Karena sedang senang-senangnya membaca buku sains kognitif, saya mengerti sedikit-sedikit bagaimana otak manusia bekerja. Otak manusia bekerja dengan apa yang disebut struktur mental atau “frame”, kategorisasi, dan metafora konseptual. Bahasa tidak ujug-ujug muncul dalam kata-kata di otak, namun lewat proses indrawi. Maka, ketika sang bayi melihat kucing, kemudian orang tua memberitahunya bahwa hewan itu bernama “kucing”—yang kemudian ia alihbahasakan menjadi “meng”, nantinya setiap kali mendengar kata “meng” akan muncul “mental image” atau potret di dalam pikirannya yang membayangkan seekor kucing.
Sayangnya, dalam usahanya mengategorisasi lingkungan sekitar, referen si bayi masih sangat terbatas. Hipokampusnya (bagian otak besar yang memiliki fungsi mengingat) belum menyimpan banyak informasi. Akibatnya, ia cenderung membuat kategorisasi sesuatu berdasarkan ciri umum, seperti “meng” adalah semua hal yang berkaki empat. Ia belum mampu membedakan ciri spesifik antara satu entitas dengan entitas lainnya.
Selain menggunakan mata, bayi juga mengategorisasi lingkungan berdasarkan indra pengecap.
Jadi, seperti halnya kebanyakan anak kecil, anak saya punya beberapa makanan favorit yang manis-manis. Dia punya sebutan untuk makanan “nak”, istilahnya untuk makanan enak. Sedangkan makanan yang tidak enak baginya, dia belum punya kosakatanya, hanya menunjukkan ketidaksukaan dengan tidak mau membuka mulut. Mungkin takut sama umiqnya, wqwq.
Kata “nak” pertama kali keluar ketika umiqnya membuatkan es krim brokoli untuk anak saya yang yang tidak mau makan sayur. Ketika makan, seketika ia mengatakan “nak”. Setelahnya, setiap melihat kulkas dibuka, ia akan mendatanginya sembari memukul-mukul kulkas dan berkata, “Nak… nak… nak…,” tanda minta diambilkan es krim.
Setelah itu dia punya beberapa jenis makanan yang dilabeli “nak”, mulai dari puding cokelat yang juga dicampur brokoli, jeli cokelat tanpa brokoli (ya masak semua harus ada brokolinya), hingga cokelat Silver Queen berbagai jenis yang didiskon di Indomaret. (Saya ke Indomaret hanya untuk membeli barang diskon.)
Sampai tibalah pada kategorisasi yang menurut saya paling unik: cara anak saya mengenali abinya, bapaknya, alias saya sendiri. Karena saya memelihara rambut wajah, setiap anak saya melihat orang yang berewokan, selalulah ia berteriak “Abi!”. Saya mulai menyadarinya ketika menonton ILC dan Haris Azhar berbicara, seketika anak saya berteriak “Abi!”.
Sejak saat itu saya perhatikan ketika dia melihat foto-foto pria berewokan lainnya, dari Fidel Castro, Irrfan Khan, dan beberapa artis India lain, semua selalu disebut “Abi”. Saya sih tidak keberatan. Sampai suatu ketika dia secara tak sengaja memutar video klip Maroon 5 berjudul “Memories” dan muncullah wajah Adam Levine dengan tampilan ala Viking. Dia juga berteriak “Abi”. Betapa anak yang cerdas dan berbakti, pikir saya.
BACA JUGA Nagih-Nagih Sampai Ngancam Denda 30 Juta, Negara dan BPJS Udah Kayak Debt Collector aja dan tulisan Aliurridha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.