Saking tenarnya si Honda, banyak orang tua nyebut semua motor—apa pun jenis dan mereknya—sebagai Honda. Mantap!
Gara-gara harga Pertamax naik, pagi itu saya menjebakkan diri sendiri ke dalam antrean sepanjang puluhan meter di depan pompa bensin Pertalite. Enam belas motor berjajar di depan saya, beringsut sepelan bekicot termalas demi menunggu giliran. Di ujung depan antrean, petugas paruh baya berbaju merah memasang muka masam, sebagaimana yang akan dilakukan manusia normal mana pun ketika menyadari bahwa ada banyak kegiatan positif dan bermanfaat yang bisa dilakukan di pagi hari yang cerah selain menuang bensin ke motor orang.
Terjebak antrean sepanjang itu memang menjengkelkan, namun ternyata saya memperoleh sisi positif yang tidak saya dapatkan di momen lain. Sisi positif pertama, saya punya waktu untuk melamun. Seperti wanita modern lain, waktu saya habis untuk memikirkan keluarga, pekerjaan, segala tagihan, dan bermacam-macam gosip terbaru. Saya nyaris tidak punya waktu untuk tidak memikirkan apa pun.
Sisi positif yang kedua hadir setelah lamunan saya buyar: ide tulisan. Ide ini menyeruak ketika saya mendapati bahwa sebagian besar motor yang mengantre bensin pagi itu berasal dari pabrikan Honda. Mas-mas gagah di depan sana yang saya curigai sebagai tukang kredit koperasi itu mengendarai Verza. Empat remaja SMA yang tampak tak sabaran itu masing-masing menunggangi Beat. Seorang kakek menuntun Supra X 125 bersama cucunya yang masih berpiyama. Sementara saya kebetulan memakai Vario milik Mas Bojo karena si Titan belepotan lumpur gara-gara dipakai pas hujan semalam.
Ide tulisan ini sederhana saja: kenapa, sih, sebagian besar konsumen memilih Honda?
Ada banyak hal ribet yang bermula dari pertanyaan pendek, salah satu contohnya adalah pertanyaan di atas. Saya menyukai Suzuki karena durabilitas dan build quality yang lebih baik ketimbang pabrikan lain, tetapi Mas Bojo menyukai Honda dengan alasan yang sama dengan pemilihan tangan kiri untuk cebok dan tangan kanan untuk salaman. Taken for granted. Pokoknya harus begitu, titik.
Saking hebatnya citra motor Honda, generasi orang tua saya di Jombang sana masih menyebut semua motor, apa pun merek dan pabrikannya, dengan Honda. Metonimia semacam itu membuktikan bahwa Honda bukan lagi sekadar jenama, melainkan norma.
Masih ada delapan motor yang mengantre di depan saya, cukup untuk saya menyusun praduga-praduga tertentu atas pertanyaan pendek di atas. Praduga-praduga tersebut tentu butuh verifikasi lebih lanjut, tetapi tugas mulia tersebut saya serahkan kepada jamaah Mojokiyah yang budiman karena motif saya murni untuk bersenang-senang sembari menunggu giliran mengisi bensin.
Praduga #1 Honda punya jaringan dealer dan after sales yang mumpuni
Inilah yang membuat Suzuki bernasib sebagaimana adanya hari ini.
Meskipun saat ini kita bisa memboyong motor baru dari marketplace, keberadaan dealer fisik tetap dibutuhkan demi memudahkan orang-orang membeli motor. Di situlah calon konsumen bisa melihat produk yang diinginkan, memilih cara pembayaran, hingga melancarkan rayuan demi memperoleh bonus-bonus tertentu.
Astra Honda Motor (AHM) punya 1.800 dealer resmi untuk mengakomodasi calon konsumen, dan itu jumlah yang banyak. Di kota semungil Cepu saja AHM punya dua dealer, sama banyaknya dengan dealer milik Yamaha dan nol untuk Suzuki dan Kawasaki. Keberadaan dealer tentu menjadi modal signifikan untuk menggempur pasar.
Selain dealer, AHM juga punya 7.400 gerai suku cadang dan 600 bengkel AHASS (Astra Honda Authorized Service Station). Itu jumlah yang cukup untuk memberi kepastian kepada orang-orang bahwa motor Honda yang kadung mereka beli akan dirawat dan diperbaiki oleh mekanik berkompeten sehingga bisa melaju hingga akhir zaman kelak.
Keberadaan jaringan dealer dan jaminan after sales yang mumpuni memang meminggirkan Suzuki dari kompetisi, tetapi ia tidak bisa menjadi jawaban tunggal atas pertanyaan kita di atas. Jumlah dealer yang dimiliki Yamaha tidak kalah banyaknya, mencapai 2.423 unit di seluruh Indonesia, tetapi penjualan totalnya tak pernah melampaui Honda.
Kok bisa begitu? Mari kita menuju praduga selanjutnya.
Praduga #2 Harga jual kembali motor Honda selalu tinggi
Kalau Anda membeli Suzuki GSX-S 150 pada tahun 2019, Anda perlu menguras saldo sebesar kira-kira 27 juta rupiah. Dan berapa duit yang Anda dapat kalau menjualnya saat ini? Benar, tidak lebih dari 15 juta. Bandingkan dengan harga CB150R seken tahun 2019 yang masih dibanderol dua puluhan juta, dengan harga baru yang relatif sama dengan motor sport Suzuki di atas.
Depresiasi harga yang dialami motor-motor keluaran Honda tak sebesar yang dialami pabrikan lain, dan hal ini dipengaruhi oleh hukum permintaan dan penawaran ketimbang kualitas intrinsik motor itu sendiri. Ada sangat banyak orang yang berminat membeli motor seken Honda, dan minat yang tinggi tersebut pada akhirnya mendongkrak harga.
Namun, harga jual kembali yang tinggi tersebut tak bisa menjadi alasan sejati orang-orang membeli motor Honda. Saya percaya bahwa ada lebih banyak orang yang mempertahankan motor yang telah dibelinya ketimbang yang menjualnya kembali. Motor, selaris apa pun, bukanlah instrumen investasi, sehingga orang-orang tentu mafhum bahwa harga jual motor tak akan pernah setinggi harga pembeliannya, kecuali motor-motor tertentu yang memang diburu kolektor.
Membeli motor Beat atau Vario dengan niat menjualnya kembali demi memperoleh cuan adalah gagasan yang tak masuk akal. Anda tak perlu menjadi akuntan bersertifikat untuk tahu bahwa menjual motor, secara umum, hanya akan mendatangkan kerugian alih-alih untung besar.
Praduga #3 Motor Honda punya kualitas terbaik
“Honda itu motor yang paling irit, Adinda,” jawab Mas Bojo pada suatu ketika, mewakili curahan hati para fanboy Honda lain di muka bumi. Andai jawaban itu dilontarkan empat dasawarsa silam ketika Honda masih merupakan satu-satunya pabrikan Jepang yang memakai mesin 4-tak, tentu saya bisa menerima. Namun, hellaw, semua pabrikan sudah menaruh mesin 2-tak miliknya ke museum, sehingga selisih konsumsi BBM tak bisa lagi menjadi parameter keunggulan.
Mas Bojo kemudian ngoceh soal build quality Honda yang ciamik. Namun, saya cukup menuding ke arah Suzuki Titan milik saya untuk membuatnya sadar bahwa alasannya tadi tidak valid. Titan punya kualitas cat dan sambungan cover yang jauh lebih baik ketimbang Revo, sesuatu yang semestinya bisa dilihat dalam sekali pandang oleh penderita rabun ayam sekalipun. Bahkan, cat Titan masih lebih bermutu ketimbang Vario 150 milik Mas Bojo, padahal selisih harga keduanya mencapai sepuluh juta rupiah.
Desain motor Honda yang mampu memikat hati konsumen barangkali tepat apabila kita membandingkannya dengan motor keluaran Suzuki. Namun, motor-motor Yamaha juga punya desain yang tak kalah bagus, yang mestinya bisa menandingi penjualan Honda di beberapa segmen.
Mesin yang tokcer juga bukan keunggulan utama motor Honda. Dulu, saat motor Honda masih dibikin oleh Federal Motor, kebandelan mesin motor Honda bukanlah isapan jempol. Tanyalah pengguna Supra 110, Impresa, atau Win mengenai kinerja mesin motor mereka, dan hampir pasti mereka akan manggut-manggut dan tersenyum puas sebelum berkata, “Inilah mesin Jepang sesungguhnya. Selain ini adalah penipuan.”
Tapi semenjak diambil alih Astra Honda Motor, ada saja kasak-kusuk mengenai mesin Honda. Entah itu lifter tensioner yang lemah, poros noken as yang longgar, CVT bergetar, atau bahkan desain engine mounting yang janggal sehingga membuat mesin rawan pecah. Itu belum ngomongin performa mesin Honda dibandingkan rival-rivalnya lho, ya.
Jadi, sulit buat saya menyimpulkan kalau mesin Honda adalah yang terbaik. Tapi, kok tetap laku keras?
Praduga #4 Motor Honda adalah produk Astra
Inilah yang membedakan nasib produk motor Honda dengan mobil Honda di Indonesia. Motor Honda di bawah naungan Astra, sedangkan mobil Honda dipegang oleh Honda Prospect Motor (HPM), bukan Astra. Karena itulah mobil Honda bahkan kesulitan untuk menggeser penjualan Daihatsu dari peringkat kedua, apalagi Toyota.
Astra adalah pemain lama di industri otomotif tanah air. Ia sudah ada sebelum era Orde Baru, dan pengalamannya yang panjang di industri ini membuatnya punya banyak sumber daya (tenaga ahli, permodalan, koneksi, dan lain sebagainya) untuk menjadi pemain nomor satu. Apa pun yang dijual Astra, gethuk lindri sekalipun, pasti laku keras di pasaran.
Memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya, Astra berhasil menanamkan citra tertentu atas jenama Honda di benak orang-orang. Kalau saya disuruh menyebutkan tiga kata yang muncul seketika mengenai motor Honda, saya akan mencatut kata “aman”, “mudah”, dan “tertib”, sama seperti kata-kata yang muncul ketika saya melihat logo Toyota.
Citra tersebut tentu hasil kerja keras Astra dalam memoles jenama selama puluhan tahun, dan ia berhasil. Orang-orang yang tidak ingin dibikin ribet oleh kendaraannya sendiri secara instingtif memilih produk-produk Astra, dan orang-orang semacam itu ada banyak sekali di Indonesia. Orang-orang tidak peduli dengan desain dan performa mesin; mereka cuma butuh tunggangan yang tidak menyusahkan saat dimiliki dan tidak membikin rugi-rugi amat saat terpaksa dijual kembali.
Logo sayap tunggal, mari kita akui, sukses memberikan citra produk yang diinginkan mayoritas konsumen. Tapi, itu baru praduga saya saja. Silakan Anda meriset sendiri kevalidannya, sebab giliran saya ngisi bensin sudah tiba.
Penulis: Mita Idhatul Khumaidah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Melihat 4 Hal Repotnya Punya Motor Matik dari Perspektif Perempuan.