Rasanya perkara korupsi bansos Juliari ini nggak habis-habis menyulut emosi dan kemarahan warga. Sudahlah uang yang dikorupsi adalah hak masyarakat yang terdampak covid, eh koruptornya tanpa rasa bersalah membuat pledoi untuk dibebaskan dengan alasan kasihan sama keluarganya.
Duh, Bapak tuh apa nggak kasian sama keluarga yang haknya Bapak ambil seenaknya pas ngelakuin korupsi? Saking gregetnya, warga Twitter sampai pernah membuat trending sebuah frasa yang menggambarkan emosi dan umpatan yang kompak tanpa komando dan aba-aba. Apalagi kalau bukan “Juliari K*nt*l”.
Kali ini, untuk kesekian kalinya perkara korupsi Juliari membuat gaduh masyarakat. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta mengatakan bahwa cercaan dan hinaan yang diterima oleh Juliari dapat menjadi pertimbangan untuk memberikan keringanan hukuman padanya.
Kata Pak Yusuf selaku hakim, Juliari ini sudah cukup menderita karena telah divonis bersalah oleh masyarakat padahal secara hukum belum tentu bersalah. Begitulah kira-kira kata pak hakim yang berhati mulia ini. Namun, kira-kira kenapa ya pak hakim ini baik banget sampai mempertimbangkan cercaan untuk meringankan hukuman? Kalau menurut perkiraan saya, ada beberapa kemungkinan yang mendasarinya.
#1 Pak Yusuf sedang kampanye #Stopbullying
Kita tahu bahwa bullying atau perundungan adalah budaya yang tidak baik dan harus dikampanyekan pencegahannya. Korban-korban bullying ini banyak sekali yang menderita trauma fisik dan mental hingga memerlukan waktu yang lama untuk pemulihan. Mungkin saja Pak Yusuf tergerak hatinya sebagai seorang hakim ketika melihat client eh tersangkanya kena bully sehingga beliau angkat bicara.
Namun, kalau dipikir-pikir, biasanya korban bully ini lemah dan tertindas gitu, lho. Ya, baik secara kekuasaan maupun ekonomi, jadinya perlu dibela dan diberikan dukungan yang kuat. Tapi, kalau tersangka yang dibela sama Pak Yusuf ini lemahnya di sisi mana, ya? Wong punya kuasa sampai bisa maling duit rakyat 32 miliar lebih, kok. Mending Pak Yusuf bantuin KPAI aja buat cegah bullying dari dan kepada anak-anak yang rentan. Kayaknya KPAI lebih butuh kemuliaan hati pak hakim ini, deh.
#2 Teringat petuah untuk menolong sesama manusia
Saya rasa minimal sekali dalam seumur hidup, kita pasti pernah dapat nasehat untuk saling menolong. Kalau kata ibu saya, selagi ada kemampuan dan kesempatan kita harus menolong sesama manusia. Dengan harapan, bila suatu saat kita kesulitan ada yang mau meringankan beban kita. Terkesan nggak ikhlas sih nolongnya, tapi nggak apa-apa, namanya juga hidup ya cari untung juga dong, ya.
Bisa jadi hal ini juga yang mendasari Pak Yusuf untuk mempertimbangkan keringanan hukuman buat Juliari. Barangkali beliau ini teringat petuah neneknya atau siapa gitu sehingga beliau bermaksud untuk mempraktikkannya. Ya, dengan harapan di lain waktu bisa ditolong juga sama Juliari, ya, kan? Namun, saran saya nih ya, pak hakim, jangan terlalu berharap dulu, deh. Wong Juliari itu nolongin rakyat yang jelas-jelas menderita aja nggak mau, apalagi nolongin bapak.
#3 Melihat peluang bisnis
Jangan suuzan dulu, maksudnya gini, lho. Kan dalam dunia bisnis, kita itu harus pandai-pandai melihat peluang. Nah, biasanya orang kalau habis berbuat jahat terus hijrah begitu banyak banget yang mau dengerin cerita perjalanan hijrahnya.
Bisa jadi pak hakim melihat potensi jika Juliari diberikan keringanan hukuman, dia akan lebih cepat sadar dan hijrah begitu. Dengan demikian, ada kesempatan untuk ngajak collab Juliari untuk bikin buku dan seminar motivasi Kisah Hijrahku.
Walaupun sepele, jangan salah lho, ini bisa jadi peluang bisnis yang menguntungkan. Bayangin kalau bukunya laku keras, lalu undangan seminarnya terus penuh setiap bulan. Bukankah, ini jadi prospek pekerjaan sampingan yang menarik?
#4 Kasihan sama Juliari yang suka merengek
Pak Yusuf ini kan udah bapak-bapak gitu ya, jadi mungkin di rumah punya anak atau keponakan gitu. Melihat kelembutan hatinya yang berniat baik untuk ngasih keringanan hukuman, sih, saya percaya kalau Pak Yusuf orangnya nggak tegaan. Tipe-tipe bapak/paman yang kalau anaknya nangis dikit langsung ditanya pengin apa, biar seneng lagi.
Mungkin, naluri kebapakan ini keluar saat melihat Juliari yang ngerengek terus. Dari awal pledoinya soal keluarga, didikan orang tua yang nggak ngajarin dia korupsi, dan lain-lain, bisa jadi menyentuh sanubari pak hakim yang satu ini.
Tapi ya, Pak, saya cuma mau ngingetin nih, anak-anak aja tuh nggak boleh selalu dituruti kemauannya, loh. Soalnya, ini bisa bikin dia nggak punya daya juang dan jadi manja. Itu anak-anak lho, Pak. Apalagi kalau maling duit bansos begini. Apa iya masih layak dikasihani cuma karena hobi merengek?
BACA JUGA Korupsi Bansos dan Dana Haji, Mana yang Lebih Bajingan? dan tulisan Fatimatuz Zahra lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.