Jika kita melihat pertautan antara musik dan media, kita akan melihat benang merah di sini. Di pertengahan hingga akhir dekade 2000-an, kita melihat dua transisi besar di Indonesia, yaitu media dan musik. Di musik, terjadi transisi besar-besaran dari era pop rock hingga pop melayu. Pun dengan media konvensional televisi di masa itu, di mana era itu adalah awal di mana hampir semua orang Indonesia memiliki perangkat elektronik ini yang mana masih menjadi barang langka di era 90-an, dan sebelum era itu terganti dengan era digital saat ini.
Era 90-an musik dan media mainstream masih terbilang menjadi barang yang belum umum, tak heran musik punk yang sering diidentikan sebagai musik kelas tertindas. Dulu di Indonesia malah sering diidentikan dengan musik kalangan atas, saking susahnya menjangkau referensi. Pasar musik saat itu adalah kalangan yang sadar akan referensi, maka musik-musik yang berkiblat ke dunia barat mendapat panggung dengan pasar yang masih cukup “eksklusif” di era itu.
Era 2000-an di mana media mainstream seperti televisi dapat dikomsumsi berbagai kalangan, dari kota ke daerah, dari atas hingga bawah, artinya ada pasar baru di sini. Pasar orang daerah, orang pinggiran, yang barangkali di kejayaan musik-musik pop dan rock di era 90-an, sebagian dari mereka baru mengandrungi musik-musik yang terjangkau secara nyata di daerah. Dan di era transisi media itu, barangkali mereka harus melakukan adaptasi dulu jika dijejali musik yang sama dengan media televisi yang juga masih baru. Sebuah santapan empuk yang disadari ST 12, yang turut pula menjadi trigger ST 12 untuk menggaet pasar daerah.
Kalau kata Pepep yang menjadi drummer serta otak di balik terbentuknya ST 12 baik pendanaan dan konsep, orang kabupaten tak mungkin mengundang Maliq & D’Essentials. Pun sebaliknya jika dia berada di posisi konsumen, Pepep yang sejatinya orang di kalangan berada serta tinggal di perkotaan, ia tak sungkan mengatakan “Mungkin lebih memilih beli album Coldplay ketimbang ST 12,” kata Pepep di channel ruangkreasi tv.
Kesadaran Pepep akan pasar orang “daerah” ini akhirnya yang mendasari terbentuknya ST 12, observasinya tentang orang Indonesia yang mudah menyukai nada minor, serta musik Melayu yang baginya telah menjadi basic orang Indonesia layaknya country di Amerika. Dan saya tambahi, serta yang belum terjamah berbagai referensi. Kesadaran itu yang menjadikannya membuat pasar dengan “something different”. Pop Melayu, sebuah gagasan besar yang lahir dari Pepep cs, sebuah pasar yang dibentuk dengan sadar, pertaruhan anak kota, mengadu dan melacurkan nasib di daerah. Ya, Pepep dan kawan-kawan berhasil.
Sebagai pionir, ST 12 menunjukan kelasnya di sini. Kesadaran akan pasar pun dibarengi dengan kemampuan mereka dalam bermusik. Kehadiaran ST 12 sejatinya bukan sekadar menciptakan pasar yang “seharusnya” telah ada sejak lama namun belum kunjung terbentuk, tetapi juga berusaha menyingkirkan paradigma musik Melayu itu konvensional, jadul dan kuno, kalau kata Pepep sendiri.
Kehadiran ST 12 turut pula memicu ledakan-ledakan lain, label mainstream pun turut tertarik dengan pasar yang diciptakan ST 12 itu, hampir semua band baru dipaksa me-ST 12-kan diri, yang bagi Pepep sendiri malah memicu kejenuhan pasar. Bukannya membawa semangat “something different”, malah terjebak memanfaatkan momentum Melayu, serta barangkali datang tidak dengan semangat kemelayuan yang sama.
Lebih lagi, saya pikir setelah kehadiran ST 12, belum ada band Melayu yang tampil dengan konsep yang setara dan matang layaknya ST 12 merumuskan musiknya. Wajar kalau Bung Iqbal mengunggulkan ST 12 sebagai band Melayu terbaik di eranya. Sudah dianggap pionir, terbaik pula.
Era yang dibuat ST 12 itu perlahan pudar di awal dekade 2010-an, SM*SH yang kala itu membawa gaya kekoreaan-nya perlahan menyapu serpihan-serpihan melayu. Musik pop Melayu kian redup semenjak Charly sebagai ikon band keluar, setelah pergelutan visi sesama personil di masa jayanya. Ditambah lagi era digital seperti sekarang, di mana sekat antara mainstream label dan indie label, serta sekat antara urban dan daerah sangat tipis, di mana orang dengan mudah mencari banyak referensi. Pasar yang dulu diciptakan ST 12 itu kemungkinan perlahan mulai terkikis.
Yang menarik adalah, ST 12 sebagai pentolan pop melayu meninggalkan legacy yang menarik: membuat “something different” dan membuat sesuatu yang dianggap tertinggal menjadi sesuatu yang progresif. Sebuah pelajaran berharga, tentang jejak awal musik pop Melayu, yang tidak hanya lekat dengan konotasi “musik orang kampung”. Semangat yang semestinya dibawa generasi kini, turut pula menyesuaikan zamannya.
BACA JUGA 3 Buku yang Harusnya Disita karena Berbahaya dan tulisan Dicky Setyawan lainnya.