Banyak sekali tulisan di Terminal Mojok yang terkesan “menghabisi” Jogja. Banyak pula tulisan yang mengunggulkan Semarang sebagai kota yang layak huni. Harus diakui, setelah keluar dari Jogja dan pindah ke Semarang, saya mendapatkan tambahan pundi-pundi karena biaya hidup di sini lebih murah daripada di Jogja dalam beberapa hal, misalnya sewa kos. Akan tetapi, saya merasa ada beberapa hal yang harus saya bayar “mahal” dan bikin saya menderita sejak pindah ke Semarang.
Daftar Isi
#1 Sulit mengakali panasnya Semarang
Di Jogja, jika kita beraktivitas di daerah yang panas seperti wilayah kota, kita masih bisa memilih tinggal di daerah yang lebih hijau dan adem seperti area utara Ring Road atau Jalan Palagan. Paling effort-nya sebatas menambah jarak perjalanan dari kos ke kantor saja. Soal waktu tempuh, saya kira masih cukup santai apabila berangkat 30 menit sebelum waktu mulai kerja.
Sementara di Semarang, daerah yang lebih adem relatif jauh dari kota dengan kontur jalan yang naik turun (misalnya Mijen, Gunungpati, dll.). Sekalipun ada kos AC dengan harga 800 ribu atau bahkan cuma 650 ribu di Semarang, biasanya letaknya di daerah Pedurungan/Tugu yang mengharuskan kita melewati jalanan padat. Bisa-bisa kita berubah jadi Pragos begitu tiba di kantor yang letaknya di pusat kota.
Sulit sekali mengakali panasnya Semarang selain dengan merogoh kocek lebih dalam untuk menyewa tempat tinggal ber-AC. Serius.
Jogja adalah kota tradisional Jawa yang dibangun berdasarkan orientasi selatan-utara. Hal ini bisa kita lihat dari peta jalanan Jogja yang modelnya kotak dan lurus sehingga penggunaan mata angin jadi sangat relevan. Dari kota ke timur sudah pasti ketemu Jalan Solo, sementara dari kota ke barat ya ketemunya Jalan Wates. Dari dalam kota ke mana pun arah mata angin pasti ketemunya Ring Road.
Hal ini berbeda dari Semarang yang dibangun Belanda dalam pola metropolis dan perkembangan kotanya juga pesat. Saat berada di Semarang, kita harus mengandalkan Google Maps apabila nggak mengenal suatu daerah. kalau nggak pakai Google Maps, ya selamat aja, saya pastikan kalian bakal ketemu jalan buntu atau gang sempit.
Lereng curam pun menjadi tantangan tersendiri ketika kita berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya di Semarang. Misalnya, dari daerah Undip ke UNNES yang sebetulnya cuma sebelahan, pilihan kita cuma ada dua, yakni lewat jalan memutar atau melalui jalan ekstrem tembusan Srondol-UNNES.
Baca halaman selanjutnya: Kuliner sehari-hari nggak seenak di Jogja…
#3 Kuliner sehari-hari nggak seenak di Jogja
Soal kuliner sehari-hari, Semarang memiliki keunggulan, yakni makanannya lebih bervariasi. Di sini banyak warteg dan harganya sering kali lebih murah ketimbang harga makanan di Jogja. Misalnya di tengah kota Semarang, saya masih bisa menjumpai ramesan seharga Rp6 ribu hingga Rp7 ribu dengan lauk nasi sayur telur atau soto seharga Rp5 ribuan. Di Jogja, harga segitu baru bisa saya dapatkan di daerah pinggiran seperti Bantul atau Kalasan.
Akan tetapi, rasa dan tingkat higienis makanan murah di warteg dan ramesan Semarang cenderung seadanya ketimbang di Jogja. Yah, definisi ada harga ada rupa.
Hal ini jelas berbanding terbalik dengan pengalaman saya di Jogja di mana saya jarang dikecewakan rasa masakan burjo, bakmi, dll. Di Jogja palingan saya kecewa kalau ekspresi penjual makanan berubah karena saya memesan minum air putih.
#4 Harga warung Lamongan nggak ngotak
Harga warung Lamongan menjadi salah satu culture shock pertama saya kala pindah ke Semarang. Di Jogja, saya biasa membeli nasi ayam seharga Rp12 ribu hingga Rp15 ribu di warung Lamongan. Alangkah kagetnya saya waktu membeli pecel ayam di Lamongan yang mana harganya Rp18 ribu hingga Rp25 ribu per porsi.
#5 Pengendara Semarang lebih grusa-grusu
Sikap kebanyakan pengendara di Semarang sangat jauh dari stereotip orang Jawa yang katanya alon-alon. Meskipun jalanan Semarang minim klakson seperti di Jogja, banyak pengendara Semarang yang berkendara seolah dirasuki pembalap. Sampai-sampai tiap kali mau menyeberang jalan, saya merasa jadi orang yang sangat menderita.
Mungkin saja sikap para pengendara yang grusa-grusu itu terbentuk karena nggak kuat dengan suasana kota yang panas. Makanya bawaannya pengin cepat-cepat sampai di tempat tujuan aja. Atau bisa juga banyak pengendara yang ngebut karena jalanan di Semarang lebih lebar daripada di Jogja.
Begitulah penderitaan yang saya alami ketika pindah ke Semarang dari Jogja. Meski begitu, saya cukup tersentuh dengan kemurahan hati kebanyakan orang Semarang yang tulus. Maklum, orang Semarang nggak punya modus mengantarkan orang ke toko bakpia atau toko tertentu ketika ketemu orang yang terlihat linglung. Eh.
Penulis: Tito Satrya Kamil
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kota Semarang, Kota yang Paling Peduli sama Keselamatanmu.