Sudah setahun sejak rektor UNS sekarang, Prof Jamal Wiwoho, menjabat sebagai pucuk pimpinan di perguruan tinggi negeri yang namanya lekat dengan surat perintah yang kita tidak tahu mana yang asli ini. Ketika awal beliau menjabat, masih terngiang-ngiang ketika beliau memproklamirkan diri sebagai bapak bagi seluruh mahasiswanya. Bayangkan aja lur, puluhan ribu mahasiswa UNS, dari kampus Ngoresan sampai kampus Kebumen, dianggap sebagai anak sendiri sama rektornya. Sampai sekarang lho. Bukan main ini.
Tapi, namanya romantisasi seperti itu ya cuma buat menarik simpati saja. Baru beberapa bulan dilantik, langsung disahkan peraturan mengenai Sumbangan Pengembangan Institusi, yang biasa disingkat SPI. Aslinya, SPI ini ya sama saja seperti uang pangkal di perguruan tinggi lain, cuma dalihnya SPI ini untuk menampung dana dari wali calon mahasiswa yang ingin menyumbang, karena ada pilihan nol rupiahnya. Okelah bisa diterima.
Dan hasilnya, baru pertama kali adanya SPI, UNS langsung mendapat dana segar yang jumlahnya kalau buat dibeliin bakso, kuahnya bisa lah buat ngisi kolam renang kelas Olimpiade. Dan lebih nyenengke lagi, ada alokasi buat dana kemahasiswaan juga. Kabar baik buat para panitia yang seringkali harus beli sendiri jualan danusannya yang udah lembek karena nggak habis dijual sampai sore.
Tapi, tapi lagi nih, ketika proposal sudah banyak yang diajukan, ternyata dana kemahasiswaan kosong. What the hell? Para penjaja danus yang awalnya udah seneng ga bakal makan danusannya lagi harus gigit jari, karena katanya dialihkan ke PKM. Dan lebih menggiriskannya lagi, panitia-panitia acara yang mau mengajukan proposalnya ke universitas harus menyerahkan proposal PKM agar dananya turun. Loh, lha ya nggak masshokkk ta ya, ha wong niatnya bikin proposal itu biar dapat dana buat acara kok malah disuruh bikin PKM. Mosok ya bapak mengajarkan anaknya sendiri buat nilep dana dengan kedok PKM. Gimana to pak?
Ya mungkin itu udah berlalu lah ya, pada akhirnya para pemburu danus diskonan yang udah lembek tadi bisa beraksi kembali. Nah, kalau sekarang gimana dong? Apakah bapak masih “mblenjani” lagi?
Kisahnya dimulai ketika seorang warga Wuhan (yang konon katanya) makan sup kelelawar dan akhirnya warga Wuhan ini, yang sayang sekali saya tidak bisa menyebutkan namanya, menyebabkan pandemi di tahun yang seharusnya menjadi tahun eksekusi resolusi yang sejak tahun 2017 diwacanakan. Hingga pandemi tersebut masuk ke Indonesia dan akhirnya membuat kehidupan, khususnya bagi mahasiswa, menjadi serba daring.
Kuliah daring, yang awalnya banyak disambut—-karena waktu rebahan bertambah—justru makin banyak yang sambat. Kuliah daring, yang akhirnya banyak menjadi ajang berkembang biak tugas daring, alternatifnya adalah menggunakan platform panggilan video sebagai ganti kuliah tatap muka. Beban kuliah daring dengan penggilan video ini terutama yang dirasa memberatkan karena banyaknya kuota yang digunakan untuk panggilan video.
Dan tentunya, sebagai bapak yang mengayomi anak-anaknya, pihak rektorat berencana untuk memberikan bantuan kuota per mahasiswa sebesar 10 gb per kepala per bulan. 10 gb memang kurang sebenarnya, tapi untuk kuliah ya lumayanlah bisa membantu meringankan beban kuota. 10 gb lur, kalau pakai provider BUMN udah nyentuh ratusan ribu itu. Berita pemberian kuota cuma-cuma ini pun sampai diberitakan di media massa lokal. Betapa baiknya bapak kita ini.
Hari berganti hari, bantuan kuota itu pun dinanti-nanti oleh para mahasiswa kampus ndog asin. Dan setelah tiba waktu pembagian kuota gratis ini, ternyata apa yang didapat berbeda dengan apa yang dijanjikan, duh sakitnya. Dari yang awalnya dijanjikan 10 gb, bahkan disampaikan ketika kuliah daring bersama rektorat, ternyata bantuannya hanya pulsa senilai Rp. 50.000, yang mana kalau kita pakai provider BUMN lagi, untuk internetan hanya bertahan beberapa hari saja.
Dalihnya lagi, bapak kita sudah punya hitung-hitungan biayanya, tapi kok ya dihitungnya pakai hitungan batas bawah to pak, masa ya tidak pakai perkiraan kalau provider setiap mahasiswa itu beda, kan tidak semua mahasiswa kampus ultraman providernya pake provider baru yang serba daring itu, yang emang bisa murah banget.
Kecewa? Pasti, karena ya sudah “diblenjani” berulang kali sama bapaknya sendiri. Tapi ya mau bagaimana lagi? Padahal ya sudah bayar UKT di awal semester. Semoga kebijakan buat bantuan kuota daring ini bisa dibenahi lagi ya pak. Kalau ternyata susah buat dengerin masukan anaknya pak, kita sebagai anak bapak mau sambat ke siapa lagi dong?
Kalau sudah tidak didengerin ya cuma bisa nyanyi, “meh sambat kalih sinten..yen sampun mekaten..merana uripku”.
BACA JUGA Bapak dan Ibu Dosen, Anjuran Kampus Itu Kuliah Online Bukan Ngasih Tugas atau tulisan Mumtaz Hafiyyan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.