Di hari ulang tahunnya yang ke-60, Pak Jokowi dihadiahi kenyataan melonjaknya kasus positif Covid yang mencapai dua juta jiwa di Indonesia. Khusus warga Madura, mereka memberikan hadiah tambahan dengan menolak swab antigen gratis yang dilakukan di Jembatan Suramadu, sisi Surabaya.
Sekedar informasi, penolakan warga Madura terbilang cukup ekstrem karena bentrok dengan aparat, melempar petasan, dan melakukan perusakan di posko swab. Tak berhenti di situ, para warga yang mengaku sebagai Koalisi Masyarakat Madura Bersatu melakukan demonstrasi di depan Balai Kota Surabaya menuntut agar swab tersebut dihentikan.
Penyekatan yang mewajibkan warga swab terlebih dahulu tersebut dilakukan sejak 5 Juni 2021 dan beberapa kali sempat rusuh. Salah satu video rusuh tersebut kemudian viral di media sosial. Banyak netizen menganggap aksi warga Madura tersebut bodoh. Saya juga sempat berpikir demikian sih. Hehehe.
Saya tidak habis pikir dan bertanya-tanya dalam hati. Swab itu kan demi kesehatan kalian, jika ternyata ada virus corona di tubuh kalian supaya langsung diobati. Kok ya bisa-bisanya menolak pakai acara ngerusak. Hadeeeh.
Parahnya lagi, bukannya muhasabah, introspeksi diri, kenapa semua ini bisa terjadi. Ehhh malah demo, marah-marah di depan balai kota Surabaya, merasa didiskriminasi. Logika kalian ini bagaimana? Okelah, anggap saja, kalian adalah individu yang tidak percaya adanya corona, merasa semua yang terjadi hanya konspirasi.
Tapi, ini soal attitude, tata cara hidup bersama. Jika kalian tinggal di Madura yang sudah di tetapkan zona merah corona, artinya potensi kalian membawa virus ke Surabaya (kota yang saya tempati) tinggi? Ya kan? itulah kenapa kalian harus di tes terlebih dahulu sebelum masuk Surabaya. Jika negatif monggo masuk, jika positif ya mohon maaf silahkan berobat dulu.
Sampai disini saya kekeh berpendapat, orang Madura yang salah. Logika mereka yang perlu kita pertanyakan, why? kenapa? Apa sebabnya kalian bersikap sekonyol itu? Madura, please, beri kami penjelasan yang masuk akal.
Sampai kemudian, teman kantor saya yang kebetulan orang Bangkalan (Madura), mengeluh kalau hidungnya terasa sakit karena terlalu sering swab. Teman saya ini memang tinggalnya di Bangkalan tapi bekerja di Surabaya, setiap hari pulang-pergi. Di Surabaya jamak kita temukan orang seperti ini.
Kemudian iseng saya bertanya, “Kenapa sih kok kalian pada ndak mau swab sampai harus ribut?” Kalian tahu apa jawabannya? Dia bilang, “Mereka bukan takut coronanya, mereka takut kalau hasil tesnya positif, harus diisolasi tanpa persiapan. Bagaimana nasib anak istrinya di rumah?” Jawaban yang cukup menampar saya dan harusnya menampar pemerintah juga.
Teman saya juga berkata, “Mosok tiap hari harus swab? berangkat subuh, harus antri panjang, begitu sampai kantor dimarahi atasan karena kesiangan. Petugas di posko swab juga belum tentu tes setiap hari kan?”
Dari sini saya kemudian berpikir ulang, sebenarnya, sebagai rakyat kita ini tidak pernah rumit, kita hanya minta diberi solusi atas permasalahan yang terjadi. Dalam kasus orang Madura yang menolak swab gratis, mereka tidak menganggap itu sebagai solusi tapi justru sebagai masalah baru.
Mereka yang mayoritas pekerjaannya berdagang, bahkan ada yang menjadi kuli di Surabaya, tidak berpikir besok sehat atau tidak, tapi besok bisa makan atau tidak. Ini soal hidup dan mati. Bagi mereka, pilihannya hanya mati karena tidak bisa makan (baca tidak bisa bekerja) atau mati karena corona.
Hal ini diperparah dengan kebijakan pemerintah yang mencla-mencle (tidak tegas) sehingga membuat warga geram. Saya rasa, tidak hanya warga Madura, orang Jogjakarta yang terkenal sabar pun ada yang merasa kecewa dengan kebijakan para pemangku kekuasaan dalam menangani pandemi, seperti yang dituliskan Mas Prabu Yudianto.
Kemarahan warga Madura justru terlihat seperti bentuk paling alamiah kemuakan terhadap kebijakan yang berubah-ubah, tidak tegas dan selalu dieksekusi dengan terburu-buru, seperti tidak ada persiapan. Sudah banyak kok contohnya, pemerintah melakukan penyekatan tapi berujung kemacetan beberapa kilometer dan akhirnya menimbulkan kerumunan.
Hal ini juga terjadi pada kasus penyekatan di perbatasan Madura-Surabaya, kenapa pemerintah tidak menyediakan pos swab dengan jumlah yang lebih banyak agar tidak terjadi antrian panjang dan mencoba memberikan rasa tenang kepada warga yang positif, bahwa keluarganya di rumah tetap akan bisa makan saat tulang punggung keluarga tidak bisa bekerja.
Melakukan demonstrasi dengan mengabaikan protokol kesehatan memang salah, Tapi, apakah pemerintah pernah mendengar saat rakyat berbicara baik-baik? Demonstrasi adalah upaya terakhir ketika suara rakyat tak didengar.
Sebenarnya jika dipikir-pikir, yang diteriakkan demonstran dari Madura itu benar. Mengapa mall di Surabaya tidak ditutup? Mengapa tempat hiburan malam/karaoke tidak ditutup? Mengapa hanya mereka yang melakukan swab setiap hari?. Hal itu sama dengan ketika kita bertanya mengapa harus datang ke TPS saat pandemi tapi dilarang ke kampus pada waktu yang sama?
Saya bukannya mau menyalahkan pemerintah terus sih, tapi manusia mana yang tidak jengkel jika sepanjang lebih dari satu tahun ini, kita selalu disuguhi berita tidak sedap. Bukannya menenangkan rakyat, para pejabat dan pemangku negeri ini justru berlomba-lomba membuat hati kami gelisah.
Kami membaca berita bahwa negara berutang ke World Bank untuk menangani pandemi, namun di lain hari kami mendengar bantuan social covid dikorupsi. Kami diminta jaga jarak, tidak berkerumun, dilarang mengadakan hajatan, tapi pejabat datang di acara nikahan YouTuber terang-terangan.
Pada akhirnya, jangan langsung menyalahkan warga karena tidak mau diatur, lha wong pemerintahnya saja barbar kok. Masih hangat di telinga kita jika sembako akan dikenakan pajak. Kurang barbar apa itu? Di saat rakyat susah, kok ya masih kepikiran untuk memungut pajak dari rakyat. Sikap pemerintah seperti ini justru lebih ugal-ugalan daripada sikap warga Madura yang menolak swab sih.
BACA JUGA Jogja, Destinasi Wisata ‘Terbaik’ di Masa Pandemi