Knalpot brong di Jogja memang meresahkan. Di kota, kabupaten, mana pun, suara menggelegar bikin gusar ini meneror kuping warganya
Kutipan penggalan sajak dari sastrawan Joko Pinurbo yang berbunyi “Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan”, dulunya, begitu menggambarkan betapa Jogja kental dengan nilai sosial budaya, ramah tamah, harmonisasi, dan ketenangan secara lahiriah maupun batiniah. Masalahnya, itu dulu, sekarang, beda cerita.
Tidak percaya? Lewat saja di mana pun di jalanan Jogja, klakson kendaraan seperti sebuah mimpi buruk bagi siapa saja yang sedang berkendara. Bagi yang mendengarkan, hal tersebut tak ubahnya kalimat caci maki dan sumpah serapah. Jelas, hal ini tidak layak diucapkan oleh orang Jogja atau paling nggak, siapa saja yang sedang ada di Jogja.
Sedangkan, orang yang sengaja atau tidak sengaja memencet tombol klakson kendaraan mereka ketika sedang berkendara di Jogja secara otomatis dicap sebagai pesakitan, orang yang tidak tahu adat, sumbu pendek, dan tentu saja julukan-julukan jelek lainnya.
Sekali lagi, semua hal di atas membuat saya percaya bahwa memang Jogja se-istimewa itu. Hingga suatu masalah muncul, dan rasanya inilah titik balik paling ekstrim ketika sajak Joko Pinurbo di atas sebaiknya mulai dipertimbangkan untuk diubah jadi, “Yogya terbuat dari rindu, pulang, dan suara knalpot brong yang seperti tidak ada habisnya.”
Daftar Isi
Pengalaman yang tidak menyenangkan
Mari saya ceritakan pengalaman unik saya sekira lima tahun ke belakang. Saya mulai sadar bahwa knalpot brong adalah sesuatu yang dianggap biasa, bahkan “lebih suci” dibandingkan suara klakson itu ketika saya beberapa kali bertemu dengan rombongan kampanye di jalanan Jogja.
Saya kaget tentu saja. Bagaimana mungkin Jogja yang terkenal dengan nilai-nilai harmoni dan ketenangan bisa dengan entengnya dimasuki “paham brong” ini? Tapi karena kondisi saat itu adalah musim pemilu, saya kira hal semacam ini adalah lumrah saja.
Namun ternyata itu baru bagian pembukanya. Beberapa bulan setelah Pemilu 2019, suara knalpot ini mulai akrab di telinga saya. Maksudnya, hampir semua jalanan di Jogja ada knalpot brong-nya tanpa terkecuali. Di sepanjang ring road, di tengah kota, di pinggir-pinggir pematang sawah, di area wisata, bahkan di gang-gang sempit yang hanya muat untuk satu motor itu knalpot jenis ini terdengar. Seakan-akan, knalpot ini adalah identitas yang tidak boleh hilang. Sekali hilang, nama Jogja akan ambyar. Begitu pikir saya tentang fenomena ini.
Beberapa komen teman saya mengatakan bahwa pengguna knalpot brong itu hanya “orang-orang kabupaten” di pelosok-pelosok Yogyakarta. Nyatanya, tidak hanya di Sleman dan Bantul, knalpot brong justru menjamur di Kota Jogja yang katanya berhati nyaman.
Sudah ditertibkan, tapi…
Setahun ke belakang, ada banyak sekali razia yang dilakukan aparat kepolisian terkait penggunaan knalpot brong di Jogja. Polresta Kota Yogyakarta memulai tahun 2023 dengan melakukan razia pada akhir Januari, lalu pada Maret, pada Juni, dan yang terbaru pada Oktober. Belum lagi penindakan langsung saat tidak dilakukan operasi dan razia. Lalu hasilnya?
Sampai ketika tulisan ini saya buat, knalpot brong masih lalu lalang lewat di jalanan depan tempat saya nongkrong. Apa yang salah dengan cara menertibkan knalpot ini oleh Polresta Jogja ini? Saya menduga setidaknya ada beberapa alasan yang membuat para penggemar knalpot ini masih tetap eksis meskipun razia dan penindakan sudah dilakukan berulang.
Pertama, walau penggunaan knalpot brong termasuk pelanggaran 106 Undang-undang no.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, razia knalpot brong seperti tidak menyentuh sampai ke akarnya. Logikanya, jika knalpot brong ini termasuk pelanggaran yang bahkan diatur dalam undang-undang, mengapa tidak pernah ada penindakan pada para penjual atau penyuplainya? Ini bisa jadi salah satu solusi konkret karena knalpot brong itu biasanya adalah hasil modifikasi, bukan karena knalpotnya sudah rusak.
Kedua, pemakluman yang tinggi dari masyarakat Jogja mengenai para pengguna knalpot ini saya pikir terlalu tinggi. Walau dalam hati (hampir) setiap orang Jogja, saya rasa tidak suka juga dengan knalpot brong ini. Hanya saja, orang-orang yang gerah dengan pengguna knalpot brong tidak berani menegur saat berpapasan di jalan misalnya. Entah karena memang sungkan, takut menyinggung perasaan para penyuka knalpot brong, atau memang takut aja sama penguasa jalanan Jogja ini.
Bisa nggak sih jalanan Jogja bersih dari knalpot brong?
Pertanyaan ini cukup menarik, tapi sangat sulit untuk dijawab menurut saya. Selama ini, tindakan-tindakan terhadap pada pengguna knalpot ini masih sebatas hukuman push up, “menyetel” suara knalpot tepat di dekat telinga si pemilik, dan sejumput hukuman yang sama sekali tidak akan bikin jera.
Perkara push up misalnya, itu tuh hukuman untuk yang loncat pagar di SMP saya dulu. Kelakuan pengguna knalpot brong jelas lebih meresahkan masyarakat dibandingkan dengan siswa SMP yang loncat pagar sekolah. Lalu memperdengarkan suara knalpot kepada pemiliknya dalam jarak yang dekat? Ini mah mereka malah senang. Para pengguna knalpot itu sampe bisa orgasme lho hanya dengan mendengar suara brong knalpot. Kok malah dituruti nafsunya? Intinya, jika itu semua fokusnya ke hukuman, tidak akan berpengaruh banyak.
Ada satu saran dari saya agar jalanan Jogja bisa berbenah dari maraknya knalpot brong. Adalah kesadaran kolektif bahwa jalanan itu adalah ruang umum, ruang publik, ruang bersama. Kesenangan (termasuk ego) kita seharusnya dibatasi juga oleh kesenangan orang lain. Kebebasan kita jelas harus proporsional. Tidak mengganggu apalagi sampai menyengsarakan pengguna jalan lain. Termasuk penggunaan knalpot brong tentu saja!!!!
Penulis: Taufik
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Apa Jadinya Jika Tak Ada Lagi Guru Honorer?
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.