Kemarin, tanggal 14 Agustus 2019 sebuah artikel dengan judul ‘Kita Semua Suka Pelajaran Olahraga’ tayang di Terminal Mojok. Artikel itu sebagian besar berisi alasan mengapa penulis menyukai pelajaran Penjakses dan beranggapan bahwa semua orang pasti juga menyukainya. Padahal, nggak. Saya salah satunya.
Saya termasuk di antara orang-orang yang sampai kapan pun tidak akan menyukai pelajaran Penjaskes. Bagi saya, Penjaskes adalah mata pelajaran yang ingin selalu saya skip tiap minggunya. Dimulai sejak SMP sampai SMA. Meskipun hanya sekali dalam seminggu, pelajaran Penjaskes selalu mendatangkan rasa khawatir dan kecemasan tersendiri.
Entah memang hukum alam atau sebuah konspirasi semesta, guru-guru olahraga selalu memiliki tubuh yang kekar, wajah garang dan jarang tersenyum—juga sebagian besar laki-laki. Kalaupun tersenyum saya malah lebih takut lagi. Mereka seolah dikaruniai sifat tegas dan suara nyaring. Cukup nyaring untuk meneriaki seisi kelas saya agar segera berlari.
Berlari yang dimaksud bukanlah lari-lari jogging. Tapi benar-benar berlari. Sewaktu SMP, perkenalan pertama saya denganpelajaran Penjaskes adalah berlari mengelilingi satu kampung. Bayangkan, satu kampung. Saat itu, kami yang masih kelas satu diuji staminanya dengan kemampuan bertahan dalam lari. Siswa laki-laki diberi batasan maksimal 10 menit, sedangkan siswa perempuan 15 menit.
Saya masih ingat, saat itu saya masuk dalam 3 orang siswa perempuan yang berhasil menyelesaikan lari dalam waktu 15 menit. Rasanya benar-benar complicated. Perut saya berputar-putar, kaki saya sakit dan malamnya seluruh badan saya pegal semua. Sungguh, perkenalan yang manis dengan mata pelajaran Penjaskes.
Selain lari, saya juga dikenalkan dengan olahraga rol. Baik rol depan dan rol belakang. Pertama kali melihat guru olahraga saya mempraktikkan cara melakukan rol depan, saya sudah mulas duluan. Berpikir bagaimana jika leher saya nanti keseleo atau lebih gawatnya otak saya geser setelah mempraktikkannya? Saat itu saya berharap tiba-tiba saja sakit perut dan tidak perlu mengikuti praktik ini.
Lepas dengan olahraga rol, saya dikenalkan dengan olahraga renang. Alamak, dari dulu sampai sekarang saya paling tidak tahu caranya berenang. Selain khawatir tenggelam, saya juga takut mules saat berendam di air, nanti malah khilaf dan pipis di kolam. hehe
Belum lagi waktu pelajaran Penjaskes yang biasanya selalu dilakukan di waktu pagi. Dimulai pukul 6. Telat sedetik, sudah tidak diizinkan mengikuti pelajaran ini. Presensi alpa dan siap-siap ikut praktik susulan dengan kelas lainnya.
Penjaskes juga selalu identik dengan praktik. Meskipun terdapat LKS (Lembar Kerja Siswa), guru Penjaskes SMP saya tidak pernah sekali pun melakukan pertemuan di dalam kelas. Menurutnya, olahraga itu ya di luar, di lapangan, bukan di dalam kelas. Ampun, deh.
Hal lain yang membuat saya nggak suka pelajaran olahraga adalah karena namanya sudah Olah-Raga. Mengolah raga yang artinya pasti berkeringat. Bayangkan saja, kami—siswa perempuan—sudah berangkat dengan tampil cantik dari rumah, memakai parfum dan sedikit make-up seperti pelembab. Eh, di sekolah semuanya buyar karena harus lari-larian ke sana-ke mari dan berkeringat. Menyebalkan.
Saat mau berganti pakaian sehabis olahraga juga ribet. Iya siswa laki-laki bisa berganti seenaknya saja, di mana saja. Bahkan di kelas dan di koridor sekolah pun jadi. Lah, kami siswa perempuan harus mengantri untuk berganti pakaian di toilet—yang kadang juga bau dan sempit. Belum lagi waktu pergantian jam olahraga dengan mata pelajaran selanjutnya sangat sebentar. Alhasil, kami tidak dapat tampil semaksimal saat berangkat dari rumah tadi.
Saat masuk ke kelas, bau keringat juga menyebar ke mana-mana bercampur wangi parfum anak perempuan. Segala jenis bau, apek dan bau matahari bercampur membentuk koloni untuk kemudian dihirup. Membuat mata pelajaran selanjutnya berjalan sangat tidak efektif karena siswa sudah kelelahan dengan berolahraga.
Siswa laki-laki juga menjadi sangat usil tiap mata pelajaran Penjaskes. Mereka suka sekali mengambil—mencuri—parfum milik anak perempuan. Jika ditegur, alasannya karena mereka tidak diberi pinjam. Ya, tentu saja, mereka jika diperi pinjam justru malah berakhir dengan dihabiskan—atau tinggal setengahnya. Menyebalkan, kan?
Selain itu, tema olahraga setiap minggu juga berbeda dan sangat asing di telinga wong ndeso seperti saya. Saya masih ingat, setiap Selasa malam, saya sudah berdebar-debar membayangkan kira-kira olahraga jenis apa lagi yang akan guru Penjaskes saya kenalkan besoknya. Sungguh, betapa saya dipenuhi rasa kekhawatiran.
Satu-satunya pengalaman menyenangkan dengan matapelajaran Penjaskes yang saya miliki adalah saat praktik bermain lompat tali. Saat itu, aturannya untuk lolos praktik ini hanya 1, yaitu berhasil membuat seratus lompatan tanpa jeda. Saya pemenang pertama, soalnya memang suka main lompat tali sejak kecil. Hehe.
Jadi, buat penulis yang mengatakan bahwa Kita Semua Suka Pelajaran Olahraga, mohon maaf, nggak semua orang sama. Buktinya, saya nggak suka, tuh. (*)