Kalau melihat data statistik persebaran virus Corona di Indonesia, rasa-rasanya panik dan sesekali parno jadi hal yang nggak bisa dihindari. Lha bagaimana mau nggak panik, faktanya saja dari data pemerintah pusat per 30 Maret 2020 sudah ada 1.414 kasus positif. Dengan rincian 122 meninggal, 75 sembuh, dan selebihnya masih dalam penanganan. Itu pun sangat mungkin bertambah meski itu bukan hal kita kehendaki.
Belum lagi dengan kenyataan bahwa dalam dunia medis, virus ini masih belum ditemukan vaksinnya. Kalau cuma DBD atau flu burung kan bisa langsung menyasar sarang-sarang nyamuk dan kandang-kandang unggas. Nah, kalau Corona, masa mau ke kandang macan? Makanya sangat wajar kalau kita semua didera kepanikan dan kebingungan serta perasaan campur aduk yang nggak tentu.
Pemerintah pun saya yakin sekarang ini berada dalam fase paling dilematis di antara dua pilihan: lock down total atau cukup dengan menggalakkan kampanye sosial distancing. Kebingungan yang pada akhirnya membuat Pak Presiden mengeluarkan pernyataan Darurat Sipil dalam rapat terbatas bersama Tim Gugus Tugas Covid-19 dari Istana Bogor kemarin.
Belum lagi ditetapkan, pernyataan Presiden itu sudah menuai banyak kritikan dari beberapa pengamat dan pakar hukum tata negara. Dilansir dari Tempo, seorang pengamat bahkan menyebut kalau opsi ini lahir lantaran pemerintah sudah nggak tahu mau gimana lagi (berbuat apa). Lari dari tanggung jawab, kurang lebih seperti itu. Ini kata si pengamat loh, ya. Bukan saya.
Gampangnya gini, masyarakat sekarang dalam situasi digantung. Lock down nggak, tapi aktivitas sosial dibatasi dalam skala lebih besar. Ya tetep aja nggak bisa ngapa-ngapain. Katanya nggak usah lock down, tapi sisi lain kita harus stay at home. Ya sama aja lock down, sih, kalau ini.
Saya jadi keinget sama argument Bang Haris Azhar dalam #ILCSimalakamaCorona Selasa (24/03) lalu, yang kalau pakai bahasa saya kurang lebih begini, “Kenapa nggak langsung tegas buat lock down? Karena pemerintah nggak mau ruwet, pemerintah nggak siap kalau harus ngurus dan memberi tunjangan hidup bagi masyarakatnya yang nggak kerja.”
Menimpakan seolah-olah pihak yang patut disalahkan hanyalah pemerintah sepertinya kok ya nggak tepat. Meskipun ada beberapa aspek yang nunjukin kalau sedari awal pemerintah emang kelihatan banget nggak seriusnya. Tapi di sisi lain, nyatanya kesadaran sebagian masyarakat kita juga masih sangat rendah. Banyak yang masih abai. Maka, satu-satunya pihak yang sudah semestinya kita tuntut dan mintai pertanggungjawaban tidak lain tidak bukan ya si virus Coroncuk Corona ini. Siapa lagi? Ini yang paling realistis.
Kalau kata temen saya, “Misale Corona iki uwong, wis mesti tak geprek terus tak jegurke kalen kulon omah” (Misalnya Corona ini manusia, sudah pasti saya geprek terus saya jorokin ke selokan barat rumah”
Terus bagaimana, nih, caranya buat ngusir makhluk Tuhan paling seksi usil ini.? Hmmm di tengah kebingungan massal, Gus Prof. Nadirsyah Hosen secara nggak sadar telah membagikan tips ampuh buat mengakhiri imperialisme Corona atas Indonesia.
Lewat akun Twitternya, Gus Prof. menyampaikan ketidakhabispikirannya terhadap video berdurasi pendek seorang penceramah yang dengan menggebu-gebu berfatwa, “Virus ini datang, musibah datang pasti ada sebabnya. Tidak lain tidak bukan karena Habib Rizieq tidak boleh pulang ke tanah air. Itu sebabnya Allah murka saudara, dan mengirimkan virus ini ke Indonesia!1!1!.”
Nah, lohhhh. Jangan nethink dulu Gus Prof, di tengah kegentingan macam sekarang ini, segala kemungkinan nggak ada salahnya buat dicoba. Dan sepertinya pemerintah juga harus mempertimbangkan ucapan si penceramah tersebut sebelum bener-bener memberlakukan Darurat Sipil.
Sudah ribuan kasus positif di negeri ini. Berbagai cara sudah ditempuh yang kelihatannya juga bakal mentok. Barangkali karena rezim ini terlalu zalim, membiarkan Habib Rizieq, Imam Besar kita (eh elu aja kali) terlunta-lunta di negeri gurun. Padahal ya, dari pada mau meng-Arab-kan Indonesia, udah mending, kan, di Arab-nya yang asli. Kok ya malah ngebet pulang. Nambah-nambahin kerjaan aja.
“Astaghfirullah, jangan gitu akhi. Sadarilah, hanya karena kehadiran blio lah wabah ini bakal berakhir dari tanah air.”
Heem, eh, yhaaa. Duh, terus gimana, dong? Mumpung jumlah positif masih belum sampai angka fantastis seperti di Italia. Mumpung masih ada cukup waktu. Pak Presiden, per hari ini harus gercep mengadakan rapat dengan para menteri. Berpikir agar secepatnya memulangkan Habib Rizieq dari pelariannya masa khalwat-nya di Saudi. Itu kalau pemerintah bener-bener mau serius menyelesaikan pandemi ini dari negara kita. Biar segalanya segara pulih dan berjalan normal.
Tapi sebelum itu, ada satu pertanyaan yang sangat mengganjal di benak saya. Pertanyaan ini juga harus dipertimbangkan pemerintah sebelum keputusan memulangkan Habib Rizieq menemui kata sepakat dan diketok palu.
Pertanyaan saya, “Indonesia kena Corona gegara nggak memulangkan Habib Rizieq yang kejebak di Arab. Terus apa jangan-jangan, Arab kena Corona justru gegara…… Ah jangan dilanjut dah. Takut dosa dan kuwalat.”
Kembali ke awal aja, deh. Kalau pemerintah mau memutus mata rantai persebaran Corona di negeri ini, lock down adalah satu-satunya yang paling mungkin, Dengan konsekuensi: bersiap menggelontorkan dana yang nggak sedikit buat menunjang hajat hidup masyarakat banyak.
Atau kalau memang nggak berani, Darurat Sipil sepertinya nggak terlalu opsional mengingat sebagian masyarakat ada yang masih harus berjibaku di luar rumah demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Gak kerja gak mangan eee masalahe (Nggak kerja nggak makan eee masalahnya).
Konsekuensinya, ya kita-kita ini harus jadi masyarakat yang baik. Berbagai anjuran kesehatan jangan gitu aja kita abaikan. Atas hal-hal yang bisa dikerjain dari dalam rumah, ada baiknya juga kita lakukan dari dalam saja. Percayalah, di dalam jauh lebih nikmat ketimbang di luar~
BACA JUGA Yang Terjadi Kalau Darurat Sipil Betulan Dilakukan atau tulisan Aly Reza lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.