Saat saya masih kelas 2 SD—sekitar 20 tahun yang lalu—dalam suatu waktu pada malam hari, Bapak seringkali kedapatan tidak ada di rumah sampai dengan sebelum saya tidur. Padahal, sore hari Bapak ada dan dengan mata sendiri saya melihat beliau pulang kerja sambil menggendong tasnya yang berwarna hitam dan besar. Karena itu, saya bertanya pada Ibu tentang Bapak yang tidak ada di rumah pada malam hari. Ibu menjawab, “Bapak sedang ronda malam”.
Kemudian, Ibu menjelaskan lebih lanjut tentang ronda dan apa saja yang dikerjakan sepanjang malam. Pengertian ronda sendiri menurut KBBI adalah berjalan keliling untuk menjaga keamanan. Dalam hal ini, Bapak beserta teman-temannya yang lain berkeliling kampung untuk berpatroli dan menjaga lingkungan dari segala bahaya. Mulai dari maling sampai dengan bencana. Peronda, menjadi orang yang ditugaskan paling pertama untuk memberi alarm pada warga jika terjadi sesuatu yang dirasa membahayakan—biasanya menggunakan pentungan yang terbuat dari bambu.
Memasuki masa SMP, saya sudah jarang mengetahui Bapak jaga malam dengan para Bapak yang lain untuk mengaplikasikan Siskamling—Sistem Keamanan Lingkungan—di kampung. Usut punya usut, peran para kepala rumah tangga dalam ronda malam sudah digantikan oleh hansip yang menjaga lingkungan secara bergantian. Yang kemudian, akan dibayar per-bulannya oleh para warga secara patungan, dikumpulkan, lalu diserahkan kepada para hansip.
Perlahan, budaya ronda malam yang melibatkan beberapa atau banyak kepala rumah tangga pun mulai memudar dan tugasnya dialihkan kepada para hansip pun satpam komplek. Biasanya hal seperti ini lumrah dipraktekan di perkotaan yang setiap kepala rumah tangga memiliki kesibukan dalam bekerja, sehingga kemudian muncul alasan yang beragam, mulai dari butuh istirahat, kerjaan menumpuk, sampai dengan malas. Karena ronda mengharuskan kesukarelaan begadang pada hari kerja.
Beberapa alasan pun sebetulnya bisa dipahami, apalagi jika dihadapkan dengan kewajiban bekerja yang menuntut harus fit dan fokus pada keesokan harinya. Lalu pertanyaannya, apakah budaya ronda masih dilakukan di banyak daerah? Mengingat banyak orang yang kini jauh lebih memilih membayar para hansip atau satpam untuk menjaga keamanan lingkungan.
Saya sendiri, sekali dalam seumur hidup—paling tidak sampai dengan saat ini—pernah diminta oleh bapak-bapak setempat untuk ronda dengan teman-teman yang lain sewaktu kuliah. Karena jadwal kuliah yang terbilang fleksibel, jadi tidak terlalu memusingkan bagaimana agar fit keesokan harinya. Bukan tanpa alasan, sebab, kala itu sedang marak aksi pembobolan rumah di lingkungan tempat saya tinggal.
Saya dengan beberapa teman yang lain ronda secara suka rela. Hitung-hitung sambil kumpul dan begadang, apalagi dibekali banyak camilan seperti kacang, kerpikik, dan kopi, oleh para tetangga agar kegiatan ronda tidak membosankan. Syukur pada saat itu sedang aman dan situasi juga kondisi terkendali—tidak ada maling. Biar pun bersama dengan teman yang lain, jika maling atau pelaku pencurian membawa alat tajam, kan ngeri juga.
Sewaktu kuliah, saya sempat menjadi anak kost dan berlokasi di suatu perkampungan—pinggiran kota. Menurut info yang diberikan Ibu kost, saya harus menjaga barang bawaan termasuk kendaraan karena kawasan di sekitaran kost terbilang rawan pencurian atau pembobolan. Baru tadi siang Ibu kost menceritakan hal tersebut, pada dini hari setelahnya benar saja ada kasus pencurian. Saya mengetahui hal tersebut karena adanya teriakan para warga yang berbondong-bondong mengejar pelaku sambil berteriak, “Maling! Maling!”.
Atas kejadian tersebut, paling tidak saya mengetahui, di suatu wilayah masih ada warga yang peduli dengan keamanan lingkungan dan merasa menjaganya menjadi suatu tanggung jawab bersama. Dan budaya ronda, usul saya, harus tetap dilestarikan oleh kita semua. Meski tidak dilakukan setiap malam—karena sudah ada hansip yang menggantikan—paling tidak dapat dilakukan di akhir pekan.
Tentu hal tersebut tidak akan memberatkan jika dilakukan tanpa beban. Lagipula, jika ditelusuri lebih jauh, kegiatan ronda malam termasuk dalam memberikan kontribusi kepada lingkungan sekitar dalam memastikan keamanan juga kenyamanan warga setempat. Dan untuk kalian para anak muda yang aktif di media sosia termasuk juga per-YouTube-an, lumayan kan bisa sekaligus membuat thread atau konten baru bertemakan “Mengejar Maling”.
Selain menarik dan menantang, hal tersebut juga dapat termasuk dalam melestarikan siskamling. Namun, jika sudah sering begadang perlu diingat juga untuk membawa perbekalan agar tubuh tetap fit dan bugar. Ingat, kesehatanmu itu, lho. (*)