Baru-baru ini saat ngobrol ringan santai dengan anak lanang yang duduk di kelas 10 (dia sudah menuntaskan penilaian akhir tahun/PAT secara online belum lama berselang) pada sebuah SMA negeri di Kota Semarang. Tiba-tiba dia melemparkan “gurauan” (saya anggap demikian, karena efeknya bagi saya memang hanya sekadar memancing tawa) yang menyinggung ranah spiritual.
Kira-kira begini ucapannya. “Papa, sekarang ini ada tren orang yang rada aneh deh dalam menganut agama. Masak sih ada orang yang menganut lebih dari satu agama. Tujuannya, agar peluang masuk surga lebih besar.”
Saya tertawa mendengar “gurauan” itu. Tapi, kemudian saya lebih lanjut menggali pertanyaan atas ucapan tersebut. “Maksudnya, orang itu berganti keyakinan ke agama lain yang dia lebih sreg sebagai pilihan hatinya? Atau secara bersamaan menganut beberapa agama?”
Dengan mantap, anak lanang saya menyambut dengan jawaban, “Kalau menurut tafsiranku sih Pa, mereka itu cenderung menganut beberapa agama secara bersamaan. Dengan harapan, agar peluang masuk ke surga lebih besar.”
Mendengar jawaban itu, secara refleks ingatan saya terkait ke pragmatisme di kalangan kaum teis, kaum yang memercayai adanya Tuhan.
Meski tidak persis benar dengan kasus kejadian di atas, berbicara tentang pandangan pragmatis dalam beragama, nama yang pertama kali muncul di kepala saya, yaitu Blaise Pascal atau yang akrab disapa Pascal. Lelaki kelahiran Clermont-Ferrand, Prancis 19 Juni 1623 ini memiliki minat utama di bidang filasat dan agama. Sementara itu, dia juga menggamit kuat-kuat hobi di bidang matematika dan geometri proyektif.
Dikatakan tidak persis benar, karena Pascal hanya menganut satu agama. Namun, pandangannya tentang agama dan Tuhan menyiratkan sikap pragmatis yang kental. Boleh dikatakan sejajar dengan pragmatisme pada kasus kejadian orang menganut lebih dari satu agama tadi.
Lelaki yang illahi rojiun pada usia relatif muda (39 tahun), di Paris, Prancis, 19 Agustus 1662 itu merupakan seorang yang berpandangan pragmatis dalam beragama. Hal itu tampak pada argumen Pascal yang memiliki kepalaan “La Pari” (Pertaruhan).
Argumen itu berkaitan dengan soal ada tidaknya Tuhan dalam sejarah filsafat. Pascal merespons kalangan skeptis yang sering mencemooh penganut Kristen yang meyakini bahwa Tuhan itu ada. Akan tetapi, sayangnya mereka tidak dapat membuktikan secara rasional keberadan Tuhan.
Pascal selanjutnya bertaruh dengan kalangan skeptis itu soal ada tidaknya Tuhan. Sebagai seorang teis, dia berpegang pada alasan, jika ternyata Tuhan itu ada, orang-orang yang memercayai-Nya akan menang dan hidup berbahagia bersama Tuhan yang mereka imani di surga kelak.
Sebaliknya, lanjut Pascal, kalaupun nanti di hari kelak ternyata Tuhan tidak ada dan orang-orang yang meyakini keberadaan-Nya ternyata keliru dan kalah, mereka tidak mengalami kerugian apa pun. Keteraturan beribadat dan kebaikan terhadap sesama sesuai dengan ajaran agamanya selama hidup di dunia menjadi penyebab keutamaan yang membahagiakan bagi mereka sendiri dan orang-orang lain di sekitarnya.
Namun, tandas Pascal, bagi orang-orang yang tidak memercayai eksistensi Tuhan. Terlebih lagi mereka yang hanya memanjakan nafsu-nafsu keserakahan yang berujung akibat pada ketidakteraturan hidup. Dan, tambahan lagi selama hidup mereka berbuat jahat terhadap orang-orang di sekitarnya. Bila ternyata nanti terbukti bahwa Tuhan itu ada, maka mereka akan menerima hukuman di neraka. Sebab, hidup mereka jauh dari perbuatan-perbuatan yang menyenangkan hati Tuhan. Kalaupun Tuhan tidak ada, mereka juga rugi, karena telah hidup dalam ketidakteraturan dan ketiadaan pedoman berbyat baik selama hidupnya.
Sementara itu seorang biksu, pemuka agama Buddha, dalam sebuah tulisannya yang berjudul “Bolehkah Aku Menganut Dua Agama” bertitimangsa 22 April 2016 menuturkan, pernah di hadapan siswa-siswi peserta Program Retret Mindfulness mendapat pertanyaan seputar boleh atau tidak seseorang menganut lebih dari satu agama.
Menyikapi pertanyaan ini, biksu yang orang Indonesia dan pernah bermukim di Eropa beberapa lama itu menekankan, untuk Indonesia jelas tidak boleh. Lagi pula tentu tidak lazim, orang Indonesia mencantumkan dua agama sekaligus pada kolom isian agama dalam kartu tanda penduduk elektroniknya.
Atau kalau menurut kutipan verbatim dari tulisan biksu tersebut, “Karena ada peraturan yang mengatur dan bahkan bisa dianggap aneh dan janggal. Lagipula masing-masing agama memiliki prinsip berbeda-beda berkenaan dengan konteks itu.”
Selain itu, sila pertama dasar negara kita, Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa, mengharuskan kita beragama di negeri ini. Dan, lazimnya orang di negeri ini hanya memiliki satu agama. Setidaknya secara resmi di kartu tanda penduduk elektronik. Kalau pindah agama boleh-boleh saja. Tapi prinsipnya: hanya satu. Tak bisa dimadu.
Namun, lanjutnya, jawaban dari pertanyaan itu bisa menjadi bertolak belakang di Eropa dan Amerika. Negara-negara di belahan kedua benua tersebut, kebanyakan tidak mewajibkan warganya beragama. Soal beragama atau tidak beragama, hal itu merupakan urusan pribadi per individu. Oleh karena itu, kalaupun ada yang menganut dua agama sekaligus, negara tidak bisa melarangnya. Itu merupakan pilihan pribadi masing-masing. Dalam praktiknya mungkin bisa berupa sinkretisme dalam praktik ritual. Seperti laku meditasi yang dilakukan oleh penganut agama non-Buddha.
Menurut hasil observasi pribadi sang biksu tadi, ada sentuhan pertimbangan pragmatis pada kebanyakan masyarakat Eropa dan Amerika dalam meletakkan prinsip beragama.
Atau menurut pengkalimatan sang biksu, “Masyarakat Eropa dan Amerika cenderung mengedepankan spiritualisme, bagaimana spiritual bisa membantu mereka mengerti penderitaan. Membantu mereka mengurangi stres dan frustrasi. Bagaimana spiritual bisa membantu mereka menumbuhkan cinta kasih, kesabaran, ketulusan, dan pengertian.”
Atau, kalau saya boleh mengkalimatkan sendiri, masyarakat Eropa dan Amerika lebih memandang agama sebagai sarana untuk memecahkan kehidupan dunia agar membahagiakan diri mereka. Dengan harapan kebahagiaan yang terus digantungkan di kalbu, dapat berlanjut ke kehidupan setelah ilahi rojiun.
Saya ingin menutup esai ini dengan sebuah bait awal dari puisi Mulla Sadra, terjemahan Fahruddin Faiz, doktor Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Tuhan itu tak terbatas, tanpa ruang, dan tanpa waktu
Namun Dia menjadi kecil sesuai dengan pemahamanmu
Namun Dia akan datang sebatas kebutuhanmu
Namun kekuasaan-Nya sebatas harapanmu
Namun pembicaraan-Nya sebatas keimananmu
BACA JUGA Anak-Anak dan Imajinasi Liar Mereka tentang Tuhan atau tulisan Mohamad Jokomono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.