Memotret Tanpa Izin Itu Norak!

Memotret Tanpa Izin Itu Norak!

Memotret Tanpa Izin Itu Norak! (Pixabay.com)

Memotret tanpa izin menurut saya norak 

Sore lalu, saat perjalanan pulang dari kerja, saya melihat personil polisi sedang asyik mengambil foto atau video saat rekannya bekerja mengatur lalu lintas di simpang empat sekitaran Jogja Barat. Pemandangan ini tentu saja menggelitik. “Dih apa-apaan, sih, aparat kok begitu?”, mungkin ada yang berpikir seperti itu. Kalau saya mah, masa bodolah.

Sementara, perempuan yang berhenti di samping saya, dengan gercep mengambil hape lalu memotret dua personil polisi tersebut. Pikir saya, foto itu bakal dijadiin di status WA sambil ditulis “aparat”, atau “bukannya ngasih contoh, malah….”, atau apa sajalah.

Namun, apa iya memotret tanpa izin seperti itu diperbolehkan? Kok menurut saya norak ya.

Memotret tanpa izin memang bisa dipidana

Apakah teman-teman sudah tahu kalau mengambil video atau foto tanpa izin yang bersangkutan itu bisa saja dipidana? Kalau video/foto itu memuat penghinaan, bisa saja dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terutama Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3), lho.

Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengatakan bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.” Sedangkan ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU ITE dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta).

Nah, lho.

Hasil foto atau video yang disebarkan tanpa izin dan dianggap melanggar privasi serta mencemarkan nama baik, bisa dijadikan alat bukti untuk melaporkan pelaku kepada pihak berwajib. Hal ini ada dalam Pasal 5 ayat (1) UU ITE, lho. Bunyinya “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan bukti hukum yang sah.”

Sek, disclaimer dulu. Saya tahu UU ITE itu bermasalah. Saya memasukkan UU ini semata karena ini produk hukum yang berlaku. Dan perlu diingat, fokus saya adalah perkara etika.

Baca halaman selanjutnya

Sebenarnya tanpa ditakut-takuti UU ITE pun seharusnya kita memiliki yang namanya etika…
Sebenarnya tanpa ditakut-takuti UU ITE pun seharusnya kita memiliki yang namanya etika. Sebagai decent human being, ya patutnya tidak melakukan hal yang melanggar etika. Memotret, apalagi sampai mengunggahnya ke media sosial, tanpa izin yang bersangkutan, bukanlah hal yang benar dan dibenarkan. Meskipun hal tersebut demi konten ataupun biar bisa masuk dagelan, seharusnya semua itu mendapat consent dari yang bersangkutan. Selain alasan etika dan sopan-santun, ada karena alasan privasi juga, kan?

“Wah, nanti jadi nggak natural dan nggak bisa menangkap moment dong?”

Pertama, itu urusanmu. Etika manusia tidak bisa dilanggar hanya karena “momen” dan “nggak natural”. Kedua, sungguh, apakah konten itu adalah agamamu?

Saya tahu kalian menganggap saya lebay. Kalian mungkin bilang, kalau apa-apa minta izin dan kepentok etika, hidup nggak asyik dan nggak ada hiburan. Lagian nggak ada negara yang segitunya perkara privasi di muka umum.

Wah, kalau memang beneran begitu yang ada di pikiran kalian, baiknya kalian lihat Jepang. Di Negeri Sakura ini, privasi di muka umum bukanlah hal sepele.

Bayangkan saja, pada awal saya menyekolahkan anak di TK Jepang, saya agak syok karena ternyata “tidak diperkenankan” mengunggah foto kegiatan sekolah dengan banyak wajah anak di sana. Memang tidak secara gamblang ada tulisan “dilarang”, tapi mereka minta baik-baik untuk tidak mengunggahnya. Ya memang, akhirnya saya mengupload foto anak saya dan kegiatan di sekolahnya, tetapi wajah teman-temannya saya blur. Hal tersebut sudah sangat lumrah dan paling benar dilakukan di Jepang.

Satu lagi, kalau kamu mencoba cek sekolah di Google Maps, akan jarang sekali profil sekolah yang ada foto muridnya. Video kegiatan sekolah di YouTube pun tidak semeriah kalau di Indonesia. Akun medsos sekolah? Hampir nggak ada. Kalaupun ada, biasanya kampus.

Awalnya saya berpikir “dih norak sekali ya kok nggak gaul”. Tetapi makin ke sini saya paham kalau menjaga privasi itu termasuk cara Jepang melindungi warganya dari bermacam kejahatan, termasuk penguntitan. Juga dari rasa tak nyaman ataupun gangguan kecemasan akibat foto diri tersebar di internet. Gangguan psikis seperti ini juga mereka perhatikan.

Balik lagi ke Indonesia. Kok kita bisa ya dengan mudahnya mengupload atau membuat meme orang lain tanpa merasa bersalah? Ada kan banyak video yang sengaja diambil saat “mempermainkan” para kurir COD atau penagih utang atau profesi lainnya. Kalau mau bicara ke ranah hukum, ya bisa saja, hanya saja setidaknya mikir deh, kalau kalian di posisi mereka, mau nggak ya difoto/video begitu?

Kalau Anda nggak mau ya jangan lakukan ke orang lain. Sesimpel itu, gaes.

Saatnya suara kamera jadi fitur wajib

Saya sangat mendukung kalau hape Indonesia “dipaksa” memiliki fitur “bunyi cekrek” saat memotret, seperti di Jepang maupun Korea. Repot benar memang. Saya mengalaminya sampai frustrasi. Kadang harus pakai aplikasi biar bisa candid foto orang lain atau nyaman saat memotret diri sendiri, hehehe. Selfie aja dicurigai, coba. Hadeeeh.

Salah satu alasan fitur cekrek diwajibkan di hape Jepang, ya untuk mencegah kejahatan. Seperti saat di dalam kereta, kalau ada bunyi cekrek, otomatis orang akan menengok dan kalau ada yang curiga boleh saja lho mereka minta ditunjukin fotonya, apakah itu foto dia atau bukan? Seketat itu privasi dijaga di Jepang.

Jadi, tolonglah sungkan kalau memotret tanpa izin. Apalagi jelas-jelas kalau itu bukan untuk hal baik, bisa dipidana juga. Lebih baik menahan diri saja. Atau meminta izin yang bersangkutan kalau mau “dikontenin”. Lagian kalau nggak bikin konten kalian nggak mati juga kan?

Penulis: Primasari N Dewi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Konten Adalah Kunci, tapi Nggak Ngambil Foto Orang Meninggal Juga Kali

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version