Saya menolak nilai bahwa perempuan diperistrikan oleh seorang laki-laki cuma sekadar sebagai pelayan dalam rumah. Sejak awal saya katakan pada istri saya, saya enggan membangun rumah tangga dengan konsep tersebut. Saya berkali-kali mengatakan pada istri saya, saya tidak butuh “pelayanan” dari dia.
Jikapun pada realitanya pekerjaan rumah lebih banyak diselesaikan oleh istri saya, hal tersebut lebih tepat disebabkan rasa malas yang mendera saya. Tidak ada sedikitpun tendensi menjadikan perempuan yang saya nikahi satu tahun yang lalu ini sebagai babu atau pembantu. Persetan jika itu berarti melawan “kodrat” yang dibentuk serampangan oleh lingkungan yang cenderung menguntungkan sebelah pihak.
“Perempuan kok lebih milih berkarir ketimbang ngurus suami.”
“Perempuan kok merokok.”
“Masak perempuan punya otot kayak John Cena.”
Saya tumbuh dan besar dengan adagium yang memang cenderung bias gender semacam itu. Dan saya pikir hal tersebut tidak cuma menimpa saya.
Tiga orang teman dalam lingkungan kerja saya yang masih hidup sendiri tidak luput dari adagium dan setiap kali berkumpul mengalami perundungan dari teman-teman yang sudah lebih dulu menikah.
“Betapa memilukannya hari tuamu jika tak ada pasangan yang merawatmu.”
Begini ya, jika dengan dua tangan dan dua kakimu kau masih baik-baik saja—dan tidak mati—seharusnya kau lebih khawatir terhadap adagium-adagium seksis yang kesannya mereduksi nilai seorang perempuan. Memangnya perempuan dinikahi cuma sekadar untuk jadi merawat dan membantu dirimu?
Memilih hidup sendiri alias menjadi jomlo kadang-kadang menjadi pilihan idealis, banyak hal yang melatarbelakangi seperti trauma mendalam pada suatu hubungan. Jikapun akhirnya memutuskan merajut rumah tangga, bukan lantas kamu membenarkan adagium di atas dan memasrahkan segala pekerjaan rumah tanggamu kepada istrimu.
Dalam skala lebih luas perilaku diskriminatif terhadap perempuan masih terjadi di masyarakat kita dengan beraneka macam rupa. Namun bentuk ketimpangan ini justru marak terjadi dan menembus sekat dalam rumah tangga dan tumbuh subur dalam lingkup relasi suami-istri. Indikasinya ialah posisi subordinat istri dalam institusi perkawinan.
Berdasarkan sistem patriarkis, relasi suami-istri secara kultur memposisikan lelaki sebagai orang yang bertanggung jawab menafkahi keluarga, sementara perempuan “cuma” kebagian pekerjaan mengurus rumah yakni mengurusi segala pekerjaan rumah.
Dalam situasi seperti ini, sialnya bagi perempuan, justru kondisi tersebut melegasikan posisi laki-laki sebagai pihak yang memiliki hak kuasa di rumah. Sebaliknya, kesan sebagai seorang yang “hanya” bekerja di rumah mereduksi nilai perempuan dalam keluarga. Perempuan dinilai makhluk kelas dua yang dianggap tidak ada apa-apanya tanpa kehadiran lelaki.
Akibat dari streotipe tersebut, lelaki merasa pemikul tanggung jawab sebab merasa menghidupi anak dan istri sementara istri dilihat tak lebih dari sekadar seorang “gundik”. Lantas laki-laki merasa memperoleh pembenaran saat melakukan subordinasi dan kekerasan, baik berupa kekerasan fisik maupun mental terhadap istri mereka.
Sebuah tulisan di situs Magdelene mengungkapkan bahwa Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa ranah dan pola kekerasan terhadap perempuan yang paling konstan tertinggi dari tahun ke tahun adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) terhadap istri.
Pada tulisan yang sama yang merujuk pada pendokumentasian kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh berbagai lembaga negara dan lembaga layanan, yang kemudian dirangkum menjadi Catatan Tahunan (CATAHU) 2017, Komnas Perempuan menemukan bahwa dari 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan, 10.205 kasus diantaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga ataupun relasi personal.
Sekilas posisi laki-laki tampak diuntungkan dalam situasi ini, namun sebetulnya laki-laki juga menjadi korban dari budaya pandir ini, ia menjadi subjek dan objek sekaligus. Sistem patriarkis ini menuntut laki-laki menjadi orang yang bertanggung jawab dalam biduk rumah tangga. Jika ia gagal dalam mengemban peran tersebut, ia akan dicap sebagai lelaki gagal. Lalu kekecewaan itu cenderung mereka lampiaskan pada orang terdekat mereka.
Pernikahan seharusnya dibangun dengan landasan kesetaraan sebagai manusia dan kesepakatan antara lelaki dan perempuan, serta lepas dari belenggu stigma yang sayangnya terus dipupuk hingga menjadi norma budaya yang seolah terus dipelihara. Dan sayangnya kita memang memilih manut pada budaya patriarkis dan lebih mencari aman dengan cara menghindari penilaian buruk orang lain.
Pernikahan bukan cuma soal legalitas bersenggama atau sekadar mencari orang yang akan merawatmu sepanjang hari sampai tua nanti, tapi bagaimana menjalani hidup bersama tanpa perlu merasa yang satu lebih segalanya ketimbang lainnya.
Saya lantas teringat alasan seorang teman yang memilih tetap hidup sendiri di umurnya yang sudah lebih dari seperempat abad.
“Daripada cuma menjadikan perempuan jadi pembantu dan harus tunduk pada budaya patriarkis, mending hidup menjomlo, sebab masih ada dua tangan untuk ngeloco.”