Kebiasaan judge the book by its cover
Makanan itu memang nggak melulu soal rasa. Tampilan (termasuk presentasi) juga menjadi aspek penting dalam makanan. Makanan seenak apa pun, kalau tampilannya jelek (nggak appetizing), dan dipresentasikan dengan buruk, sedikit banyak pasti akan memengaruhi penilaian orang terhadap makanan tersebut. Kita sepakat akan hal ini.
Namun, menilai sebuah makanan itu nggak berhenti di tampilan dan presentasinya saja. Para gastronomy professionals dan food critics, nggak boleh menjadikan tampilan sebagai aspek sentral dan vital untuk menilai sebuah makanan. Bagaimanapun rasa tetap jadi yang utama dalam menilai makanan. Dan mungkin inilah yang membuat tinutuan diberi rating buruk.
Memang harus diakui, secara tampilan, tinutuan itu kurang menggugah selera. Teksturnya yang nyemek (yah, namanya juga bubur), ditambah paduan warna putih, kuning dan hijau membuat tinutuan kerap dibilang kurang menarik. Mirip muntahan, kalau kata beberapa orang.
Akan tetapi secara rasa, tinutuan jelas jauh lebih enak, dan lebih sedap dari makanan-makanan Eropa yang tampilannya lebih appetizing tapi rasanya hambar. Bahkan makanan ini bisa dibilang lebih kaya rasa dibanding bubur ayam atau bubur lainnya.
Paduan beras dengan berbagai macam sayuran seperti labu kuning, singkong, bayam, kemangi, serta jagung, menjadikan tinutuan bak titik temu yang hangat dan mesra antara manis, asin, gurih. Apalagi kalau sudah ditambah ikan, makin mantap itu rasanya. Selain enak, tinutuan jelas lebih bergizi dari bubur-bubur lainnya.
Okelah Tinutuan memang “kalah” dari segi tampilan. Tapi soal rasa, jangan main-main dengan masakan satu ini kalau tidak mau berurusan dengan mama-mama Manado. Makanya jangan biasakan menghakimi sebuah makanan hanya dari tampilannya!
Antara ignorant atau lidah reviewer-nya memang busuk aja
Saya tidak tahu siapa saja reviewer TasteAtlas ini. Tapi saya cukup yakin, kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang punya sifat ignorant yang tinggi banget, termasuk untuk urusan review makanan. Kebanyakan food reviewer atau food critics ini suka merasa sok tahu, tapi malas cari tahu. Udah mah ignorant, malas cari tahu pula. Ngehe banget.
Makanya para food reviewer atau food critics model begini suka kaget ketika melihat ada orang-orang dari negara/bangsa lain yang punya makanan yang berbeda. Ada orang makan jeroan sapi/kambing dibilang ekstrem. Orang yang makan ceker atau kepala ayam dibilang menjijikkan. Ada orang/kelompok yang punya makanan yang bentuknya mirip muntahan (meski rasanya enak banget dan punya kandungan gizi tinggi) malah dibilang dan dinilai buruk.
Boleh jadi inilah yang membuat tinutuan diberi rating yang buruk oleh TasteAtlas. Boleh jadi beberapa reviewer atau food critics di TasteAtlas yang kebetulan mereview tinutuan adalah orang-orang yang ignorant, orang-orang yang merasa superior. Bisa juga mereka adalah orang-orang yang merasa bahwa hal-hal yang berbeda itu adalah buruk, atau orang-orang yang memang malas cari tahu dan riset aja. Atau, memang lidah mereka udah busuk aja, sih.
Coba langsung tinutuan yang autentik, deh
Skenario paling sederhana dan harmless, mungkin mereka salah beli tinutuan aja. Mungkin mereka belinya tidak di warung Manado yang autentik. Harusnya sekalian saja mereka datang ke Manado atau Sulawesi Utara, mencoba langsung tinutuan yang dimasak oleh tangan orang-orang Minahasa. Mungkin penilaian mereka terhadap masakan ini akan berbeda.
Itulah mengapa saya kagum sekali dengan cara Sonny Side dari Best Ever Food Review Show ketika berhadapan dengan makanan yang ratingnya buruk. Dia memilih untuk datang ke daerah tersebut, mencoba langsung makanan di tempat makanan itu berasal, membiarkan mulut dan lidahnya merasakan apakah benar makanan ini memang pantas diberi rating buruk. Dan, biasanya memang akan terbukti sebaliknya.
Tinutuan, makanan seenak dan sebergizi itu kok bisa-bisanya dapat rating buruk. Padahal ada makanan Indonesia yang lebih pantas dapat rating yang lebih buruk, lho. Iya, seblak!
Penulis: Iqbal AR
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA 6 Makanan Khas dari Daerah yang Rasanya Berubah ketika Dijual di Jakarta.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















