Membangun MRT di Surabaya Memang Ideal, tapi Kurang Masuk Akal

Membangun MRT di Surabaya Memang Ideal, tapi Kurang Masuk Akal Terminal Mojok

Membangun MRT di Surabaya Memang Ideal, tapi Kurang Masuk Akal (Unsplash.com)

Saya menulis artikel ini sambil duduk di dalam Suroboyo Bus yang sepi, tenang, dan busnya berjalan pelan-pelan. Jika ingin menikmati Kota Pahlawan tanpa kegaduhan, barangkali Suroboyo Bus layak dijadikan pilihan. Kalian nggak perlu khawatir kekurangan tempat duduk apalagi berdesak-desakan lantaran busnya sepi.

Selain Suroboyo Bus, Surabaya juga punya moda transportasi publik lainnya yang diberi nama Trans Semanggi. Sayangnya, kondisinya tak jauh berbeda. Meskipun nggak bisa dibilang kosong melompong, tapi penumpangnya ya juga sepi.

Di tengah situasi tersebut, Wali Kota Surabaya mewacanakan pembangunan Mass Rapid Transportation (MRT). Mengutip berita dari Jawa Pos, Wali Kota Surabaya mengatakan jika blio sudah berdiskusi dengan pakar di beberapa universitas di Surabaya terkait kemungkinan pembangunan MRT yang sesuai dengan kebutuhan warga Surabaya. Masih menurut Wali Kota, MRT adalah pilihan ideal transportasi publik di Surabaya.

Sebagi orang yang mendambakan bisa melakukan aktivitas harian dengan transportasi publik yang terintegrasi dan ekonomis, seharusnya saya senang mendengar Wali Kota Surabaya yang menggebu-gebu akan mewujudkan MRT. Sayangnya, saya justru skeptis dengan wacana tersebut.

Sebenarnya Wali Kota Surabaya nggak keliru juga, sih. Kenyataannya, MRT memang menjadi transportasi publik paling ideal karena mampu mengangkut orang dalam jumlah yang banyak. MRT juga memiliki jalur atau rel sendiri yang memungkinkan transportasi publik model ini terbebas dari kemacetan jalanan dan efektif dari segi waktu. Masalahnya, mewacanakan MRT di saat transportasi publik yang ada di Surabaya saat ini masih semrawut sama halnya dengan berusaha menggenggam angin alias kurang masuk akal.

Ide membangun MRT karena melihat kegagalan Suroboyo Bus dan Trans Semanggi yang sepi penumpang juga terkesan nggak memahami akar masalah yang dihadapi kedua moda transportasi tersebut. Faktanya, kedua bus tersebut sepi penumpang bukan semata karena warga Surabaya malas dan nggak suka naik bus atau pengin naik kereta. Melainkan karena kedua transportasi publik tersebut belum mampu memenuhi syarat transportasi publik yang efisien dan ekonomis.

Suroboyo Bus dan Trans Semanggi rutenya masih terbatas sehingga nggak menjangkau seluruh wilayah Surabaya, waktu tempuhnya pun lama lantaran bus sering terjebak macet karena harus berbaur dengan kendaraan pribadi lainnya, dan jadwal bus nggak pasti. Jika ingin melihat lebih banyak lagi keluhan dan saran terkait kedua moda transportasi tersebut, Wali Kota Surabaya bisa sowan ke Instagram Transport for Surabaya.

Sekali lagi, bukannya saya nggak mau melihat Surabaya punya MRT, ya. Namun, wacana pembangunan MRT di Surabaya ini sebenarnya bukan ide yang baru-baru amat. Sekitar 10 tahun lalu, Bu Risma (Wali Kota Surabaya saat itu) sudah pernah menjanjikan hal serupa. Sayangnya, selama dua periode kepemimpinan, blio belum berhasil merealisasikannya. Padahal sama seperti wali kota saat ini, dulu Bu Risma juga sudah berdiskusi dengan semua pihak terkait MRT. Bahkan blio dengan tegas menolak bus dari Kemenhub dengan dalih Surabaya nggak butuh bus dan akan membangun MRT.

Hal tersebut sekaligus menjawab pertanyaan banyak orang mengapa di saat Jakarta punya TransJakarta, Jogja punya Trans Jogja, dan Semarang punya Trans Semarang, Surabaya nggak punya Trans Surabaya. Hal ini bukan karena Kota Surabaya nggak diajak “nongkrong bereng” oleh pemerintah pusat dan kota-kota lain ya, Rek, tapi Surabaya memang nggak mau ikutan. Suroboyo gitu lho, kudu seje! Lucunya, pada akhirnya Surabaya malah membuat Suroboyo Bus dan sekarang juga punya Trans Semanggi.

Saya bukan ingin mengatakan Bu Risma nggak berjuang untuk mewujudkan MRT di Surabaya, lho, ya. Mungkin saja blio sudah mati-matian merayu pemerintah pusat dan stakeholder terkait untuk memberikan bantuan pendanaan, tapi nggak berhasil. Sebab, MRT memang butuh biaya yang nggak sedikit. Boleh dibilang pembangunan MRT memakan biaya yang paling besar dibandingkan pembangunan transportasi publik lainnya seperti BRT dan LRT. Sebagai gambaran, berikut saya lampirkan perbedaan rincian biaya per km untuk moda transportasi BRT, MRT, dan LRT yang diambil dari Jurnal Transportasi Multimoda Balitbanghub vol. 19 Tahun 2021:

Jurnal Transportasi Multimoda

Meskipun memiliki kapasitas tampung yang lebih besar, MRT juga memakan biaya pembangunan yang lebih tinggi. Ini baru masalah biaya pembangunan, belum lagi subsidi yang harus diberikan setiap tahunnya. Jika melihat pengalaman dari Jakarta, subsidi MRT mencapai sekitar Rp400 miliar per tahunnya. Memangnya Surabaya sudah siap dengan anggaran transportasi segede itu? Ini baru soal biaya, belum persoalan pembebasan lahan untuk relnya, lho.

Pertanyaan berikutnya yang tak kalah penting, jika Wali Kota Surabaya yang saat ini menjabat nggak terpilih kembali pada Pemilu mendatang, apakah upaya pembangunan MRT di Surabaya akan tetap dijalankan?

Hal-hal teknis seperti itu tentu harus dijawab sejak awal atau sebelum proyek MRT resmi dilakukan. Sebagai rakyat, kami sudah bosan dengan janji yang muluk-muluk dan tak kunjung terealisasikan. Sekadar mengingatkan, janji Pemkot terkait feeder yang akan beroperasi di awal tahun ini saja belum terlaksana, lho, padahal kalender 2022 sudah hampir mau berakhir.

Kalau boleh memberi saran, membangun BRT sebenarnya lebih masuk akal untuk Kota Surabaya, baik dari sisi biaya maupun kesiapan infrastrukturnya. Tapi dengan catatan, BRT yang sesungguhnya ya, maksud saya yang punya jalur khusus. Bukan seperti Trans Semanggi apalagi Suroboyo Bus yang saat ini beroperasi di Surabaya.

Jika merujuk pengertian dari Institute for Transportation Development Policy (ITDP), BRT adalah sistem bus canggih yang memiliki jalur sendiri di dalam kota. Jalur khusus BRT berguna agar bus tersebut tepat waktu, efisien, dan nggak ikutan mandek ketika jalanan di perkotaan macet. Artinya, semua moda transportasi di Indonesia termasuk Surabaya yang mengaku BRT tapi nggak memiliki jalur sendiri, ya bukan BRT namanya. Sebut saja mereka hanya bus kota dengan tambahan halte.

Konsekuensi dari pembangunan BRT memang akan memangkas jalur yang saat ini digunakan kendaraan pribadi. Bagi saya hal tersebut bukan masalah besar, ha wong memang tujuannya agar orang beralih dari kendaraan pribadi ke moda transportasi publik, kan?

BRT lebih masuk akal diterapkan di Surabaya karena transportasi ini juga fleksibel, jumlah kapasitasnya bisa disesuaikan kebutuhan. Hal ini tentu saja cocok diterapkan di Surabaya mengingat warga Surabaya belum punya kebiasaan dengan transportasi umum. Takutnya kalau Surabaya langsung bangun MRT dan keluar uang banyak tapi MRT-nya sepi, rakyat lagi yang disalahin.

Namun, jika memang benar ingin membangun MRT, boleh dong sebagai rakyat jelata kami menguji keseriusan Pemkot untuk memperbaiki transportasi publik di Surabaya dengan memberikan perhatian pada empat hal ini dulu:

Pertama, Suroboyo Bus dan Trans Semanggi bisa dibuat agar terintegrasi satu sama lain.

Kedua, membangun halte dan memperbanyak rute atau koridor kedua bus tersebut.

Ketiga, menambahkan feeder (bisa bekerja sama dengan perusahaan bemo untuk upgrade bemonya agar nyaman) serta memberikan sopir bemonya gaji bulanan. Fungsi feeder (dalam hal ini bemo) untuk menjangkau area yang nggak tercover Suroboyo Bus dan Trans Semanggi.

Keempat, integrasikan angkutan darat tersebut dengan angkutan sungai yang baru-baru ini diwacanakan Pemkot Surabaya.

Jika empat hal tersebut berhasil dilaksanakan dengan baik di Surabaya, barulah mimpi membangun MRT  agak masuk akal terdengar di telinga rakyat. Setidaknya, rakyat melihat keseriusan Pemkot dalam upaya memperbaiki transportasi publik di Surabaya dari apa yang sudah ada. Jangan mak bedunduk mewacanakan MRT yang justru terkesan gimik politik menjelang Pemilu.

Akhir kata, hal paling penting yang kerap dilupakan juga oleh pejabat saat membuat program adalah nggak menjadi suri teladan bagi rakyat. Jika ingin warga Surabaya beralih ke moda transportasi publik, ada baiknya Wali Kota Surabaya beserta jajarannya—termasuk anggota DPRD—bersedia memberi contoh kepada rakyat dengan rajin menggunakan transportasi publik sejak dini. Percayalah, rakyat nantinya pasti akan ikutan juga, kok.

Penulis: Tiara Uci
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Transportasi Publik di Surabaya Dibuat Sekadar untuk Gimik Politik.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version