Baru-baru ini Mbak Devia menulis tentang industri musik Jepang yang dianggapnya tidak sebesar Korea Selatan. Tulisan ini menuai banyak kontra di kolom komentar, sebab dianggap tidak sesuai dengan kenyataan.
Sebagai penggemar musik Jepang, seharusnya Mbak Devia bisa lebih teliti dan tahu bahwa industri musik Jepang menempati tempat kedua seluruh dunia setelah Amerika Serikat sejak tahun 2004. Di tahun yang sama industri musik Korea Selatan hanya menempati urutan ke-28 di dunia. Setidaknya ini data yang saya peroleh dari the International Federation of the Phonographic Industry (IFPI). Badan ini memberikan ranking berdasarkan retail value per tahun dari tiap negara.
Jika dilihat dari perkembangannya, industri musik Korea memang berkembang pesat terutama sejak tahun 2011. Korea Selatan yang di tahun 2004 hanya meraup 132,8 juta dollar Amerika dari industri musiknya, berhasil menaikkan pendapatannya menjadi 494,4 juta dollar di tahun 2017 atau sekitar 3,7 kali lipat. Bandingkan dengan industri musik Jepang, yang meskipun bertahan di peringkat kedua dunia sejak tahun 2004, justru mengalami penurunan pendapatan. Pada tahun 2004 industri musik Jepang memiliki retail value 5,167,8 juta dolar Amerika, sedangkan pada tahun 2017 hanya memperoleh 2,727,5 juta dollar.
Namun apakah angka-angka ini kemudian menjadi justifikasi bahwa industri musik Korea Selatan lebih baik daripada Jepang? Tidak juga. Dilihat dari jumlah pendapatan, tetap Jepang memenangkan pertandingan ini (jika kita anggap sebagai sebuah pertandingan). Faktanya industri musik Jepang lebih besar dibandingkan Korea Selatan, meskipun perkembangan dan ekspansi Korea Selatan memang patut diacungi jempol.
Apakah ini berarti kita bisa menyarankan pelaku industri musik Jepang untuk meniru cara Korea Selatan mengembangkan bisnisnya? Bisa saja, tapi saya rasa masukan itu tidak akan diterima.
Mengapa demikian? Ada beberapa alasan. Pertama usulan tersebut berarti meminta Jepang meniru Korea Selatan, suatu hal yang mungkin tidak akan terjadi. Tanpa kita sadari, ada semacam rivalitas samar antara Jepang dan Korea Selatan. Hal ini disebabkan oleh invasi Jepang ke Korea di masa lalu (1592-1598) dan perang dagang antar kedua negara baru-baru ini.
Kedua, usulan tersebut melanggar salah satu budaya yang dipegang oleh warga Jepang: uchi-soto. Uchi artinya “orang dalam” sedangkan soto “orang luar”. Warga Jepang membedakan perlakuan mereka terhadap apa yang dianggap sebagai “milik orang dalam” dan “milik orang luar”. Salah satunya ya … musisi Jepang itu. Dalam banyak wawancara yang ditayangkan di televisi Jepang disebutkan bahwa jika musisi Jepang sudah laris di dalam negeri ya tidak perlu repot-repot ekspansi lagi ke luar negeri.
Budaya uchi-soto ini pulalah yang menyebabkan jarangnya disediakan teks terjemahan untuk lagu-lagu berbahasa Jepang. Kalau mau tahu artinya ya, belajarlah bahasa Jepang. Ngerti kalian, para soto? Mirip-mirip lah dengan jika kita ingin kuliah di Jepang, jangan harap kampus akan menyediakan kuliah dalam bahasa Inggris.
Ketiga, alasan musisi Jepang mampu mencapai penjualan yang lebih tinggi dibandingkan Korea Selatan meskipun hanya berkiprah di dalam negeri adalah jumlah penduduk Jepang yang lebih besar dibandingkan Korea Selatan. Pada tahun 2019, tercatat sejumlah 124.763.464 penduduk Jepang. Berbeda dengan Korea Selatan yang jumlah penduduknya jauh lebih kecil yaitu 51.778.544 di tahun yang sama. Dengan penduduk hampir 2,5 kali lipat Korea Selatan, musisi Jepang tidak perlu bersusah-payah ekspansi ke luar negeri hanya untuk memasarkan produknya.
Terakhir, kita perlu melihat ide dasar mengapa Jepang menahan produknya di dalam negeri sedangkan Korea Selatan berusaha ekspansi seluas-luasnya. Selain budaya uchi-soto yang dimiliki oleh Jepang, Korea Selatan memiliki misi “terselubung” di balik hallyu atau Korean wave. Misi ini adalah memperkenalkan budaya Korea seluas-luasnya ke seluruh dunia. Bukan hanya K-POP namun juga lewat K-drama.
Jika Anda adalah penonton K-drama, pasti sudah akrab dengan pulau Jeju sebagai tujuan wisata, kimchi sebagai teman makan, kue beras, adegan minum soju sambil makan babi panggang, dan sebagainya. Ini adalah pesan samar yang memang sengaja diselipkan dalam drama-drama asal Korea. Tanpa sadar, kita jadi menginginkan berlibur ke Jeju alih-alih Bali, mencicipi kimchi, dan membuat kue beras sendiri setelah menonton K-drama. Atau mungkin malah mencoba skincare Korea pasca mendendangkan lagu-lagu K-POP.
Intinya, pemerintah Korea Selatan memang memasarkan produknya secara masif melalui K-POP dan K-drama. Jepang sepertinya tidak berminat akan hal itu, sebab kebudayaan Jepang sudah memiliki tempatnya sendiri di hati masyarakat Jepang dan para wibu.
Daripada mengusulkan Jepang untuk mengikuti jejak Korea Selatan dalam ekspansi bisnis, mungkin lebih baik kita usulkan pada musisi Indonesia. Kan lumayan, siapa tahu bisa masuk ke peringkat 20 besar dunia~
BACA JUGA Repotnya Jadi Generasi Sandwich, Nggak Ngutangi Salah, Nagih Utang Juga Salah! dan tulisan Maria Kristi Widhi Handayani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.