UMK rendah berbanding lurus dengan biaya hidup. Begitulah alasan klise saat ditanya kenapa UMK Jogja tergolong rendah. Ketika membahas faktor ekonomi, tentunya tidak bisa lepas dari UMK (Upah Minimum Kabupaten/Kota). Bagi yang belum tahu, salah satu pertimbangan penentuan nominal UMK adalah biaya hidup satu orang lajang di suatu kota.
Hampir semua perantau akan selalu mempertimbangkan banyak hal ketika harus menempati suatu daerah. Mulai dari faktor ekonomi, sosial, agama, sampai keamanan. Faktor ekonomi tentunya menjadi pertimbangan yang sangat vital, karena perantau akan berpikir untuk bertahan hidup. Begitu juga saya.
Saya adalah perantau yang pernah tinggal di Malang dan Jogja. Keduanya sama-sama sebagai anak kos yang harus sering-sering berhemat di akhir bulan karena tidak ingin terlalu merepotkan orang tua.
Disclaimer dulu ya. Pada tulisan ini saya tidak ingin merusak sisi romantisme suatu kota yang sudah dibangun sedemikian rupa oleh berbagai media dan perorangan. Saya hannya ingin cerita saja.
Jogja selalu digambarkan dengan rindu, pulang dan angkringan. Kutip saja Joko Pinurbo, bakal banyak yang mengamini. Iya, tidak semua. Sebagian lagi merasa Jogja diromantisasi sekedar menghilangkan masalah yang ada. Saya benar-benar tidak peduli dengan unsur politik tiap kota. Bagi saya, kota yang biaya hidupnya terkenal murah adalah tujuan utama.
Sekedar informasi, kota Jogja memiliki UMK Rp2.004.000, sedangkan kota Malang adalah Rp2.895.502. Ada jarak yang lumayan.
Saat mencari artikel yang membahas UMK Jogja, saya menemukan banyak orang di kolom komentar yang membela. Narasinya hampir sama. Mereka mengatakan UMK Jogja rendah ya karena biaya hidupnya juga rendah.
Apakah benar begitu? Bagi saya biaya hidup di Jogja tidak terlalu murah bila dibandingkan dengan Malang, meskipun UMK kota Malang lebih tinggi.
Mari kita bandingkan mulai dari kos-kosan terlebih dahulu. Tentunya yang dibandingkan adalah harga kos-kosan murah. Bukan kos-kosan yang ada di apartemen. Apalagi kos-kosan bebas LV (baca: Las Vegas). Perlu diketahui, kos-kosan di Jogja identik dengan kamar saja (tanpa perabotan, kasur, dan lemari). Sedangkan di Malang hampir semuanya sudah berisi kasur dan lemari. Tentu saja harganya sama. Mulai dari 300-500 ribu (yang murah). Namun di Jogja tentu saja belum termasuk kasur dan lemari.
Jogja dikatakan sebagai kota pendidikan. Hal ini tercermin dengan banyaknya kampus yang tersebar di mana-mana. Jika di Malang Anda bisa mencari kos-kosan murah yang lokasinya agak jauh dari kampus, karena lokasi kampus berdekatan. Namun di Jogja tidak bisa. Karena ketika jauh dari kampus satu, maka dekat dengan kampus lainnya, akhirnya harga kos-kosan hampir merata.
Jadi untuk kos-kosan, saya pribadi lebih menyukai di Malang karena sudah berisikan kasur dan lemari. Kemudian juga bisa memilih harga dengan perbandingan jarak kampus.
Kemudian, mari bandingkan harga makanan.
Saya adalah pecinta kuliner dengan harga murah. Jika ditanya tentang makanan enak, saya sedikit kesulitan menyebutkan, namun jika ditanya makanan murah, saya akan fasyeh sekali menyebutkan. Apalagi di daerah UIN di dua kota tersebut.
Sejauh yang saya ketahui, uang lima ribu di Jogja itu bisa untuk membeli beberapa makanan, seperti soto dan angkringan (nasi kucing dan gorengan), serta beberapa makanan pengganti nasi seperti mie ayam, bubur kacang ijo, olahan mie instan tanpa nasi dan telur. Tentu saja untuk porsi jangan dibandingkan dengan makanan serupa yang harganya di atas 10 ribu rupiah.
Kalau di Malang, uang lima ribu bisa mendapatkan makanan yang lebih variatif. Setidaknya saya menemukan 4 warung dengan pilihan menu yang berbeda (studi kasus di daerah Gasek, Karangbesuki). Kalian bisa beli tahu-tempe lalapan (kalau di Jogja namanya penyetan), nama warungnya adalah Podo Moro. Porsi nasinya pun bisa dibilang porsi kuli. Untuk sambalnya bisa nambah sesuka hati.
Tempat kedua adalah nasi jagung si Mbah (deket jalan turun Gasek). Seporsi harga 5 ribu, sudah berisikan nasi jagung plus sayur, tempe, bacem, ikan asing, dadar jagung, dan kadang dapet bonus lodeh kalau masih tersedia.
ketiga ada nasi pecel (selatan warung Podo Moro). Untuk yang satu ini porsinya kurang banyak, jadi tidak disarankan bagi anda yang punya porsi jumbo. Tapi, bumbu pecelnya bisa diadu, bener-bener nikmat. Apalagi harga juga merakyat.
Satu lagi adalah nasi campur + tongkol. Mirip seperti nasi sarden di burjo Jogja. Hanya saja harganya cuma lima ribu. Sedikit catatan, untuk cewek tidak boleh untuk makan di tempat, hanya boleh dibungkus saja. tentunya saya tidak paham alasannya, yang saya pahami porsinya cukup lumayan.
Perbandingan menu makanan lain: Nasi Pecel, di Jogja harga nasi pecel sekitar 6 ribu. Tapi ya hanya pecelnya saja. Belum lauknya. Kalau di Malang 6 ribu sudah dapat nasi pecel dan lauk (tahu-tempe atau telur). Nasi telur di Jogja sekitar 7-9 ribu. Sedangkan di Malang sekitar 6-8 ribu. Untuk nasi lele, di Jogja sekitar 9-11 ribu, di Malang 7-9 ribu. Porsi dan lauknya? Sama. Nasi tahu-tempe di Jogja sekitar 6 ribuan, di Malang 5 ribuan saja. Tentunya porsi dan lauknya juga sama.
Hanya saja, di Jogja ada tempat makan yang murah dan tidak ada di Malang, yaitu angkringan.
Selain angkringan, ada menu makanan murah lainnya yaitu Olive Fried Chicken. Tempat makan ini seperti Ka Ef Ci, hanya saja versi kearifan lokal. Di sana menu ayam paling murah dibanderol dengan harga 7 ribu saja (sayap). Dan kalau makan di tempat dapat bonus es teh. Rasa ayamnya pun sangat nikmat. Di Malang tentunya tidak ditemukan harga ayam ditepungin dengan harga segitu.
Oh iya, bicara Olive, tentunya tukang parkir adalah hambatan tersendiri. Sebagian besar Olive memiliki tukang parkir, jadi harus nambah dua ribu rupiah tiap makan di sana. Namun, saya ada tips bagi anda yang merasakan hal tersebut. Cobalah untuk makan di sana ketika menjelang maghrib, biasanya tukang parkirnya sedang istirahat. Wehehehe. Selain angkringan dan olive, harga menu makanan yang pake nasi di dua kota tersebut sama saja, sih.
Soto, mie ayam dengan harga 5 ribu di Jogja memang benar adanya. Namun di Malang juga demikian. Jika dikatakan di Jogja uang 15 ribu bisa makan ayam plus es teh, maka di Malang juga bisa.
Jadi, pertanyaannya, murahan mana?
BACA JUGA Nggak Usahlah Ndakik-Ndakik Bicarain Romantisasi Jogja atau tulisan M. Afiqul Adib lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.