Selama kalian potong rambut di tempat cukur, pernahkan mencoba potong sesuai dengan katalog model rambut yang mereka sediakan?
Bagi masyarakat menengah seperti saya, mencukur rambut di barbershop tentu bukan pilihan yang bijak. Bagi kami masyarakat menengah, pilihan tempat cukur rambut terbaik yaitu tempat-tempat yang masih memakai nama daerah sebagai brand-nya. Seperti potong rambut Madura, Bandung, atau potong rambut yang memakai nama pemilik sebagai brand-nya. Alasannya jelas, biaya adalah faktor mengapa kami memilih tempat-tempat itu.
Jika di barbershop, terkadang biaya yang harus kita keluarkan setara 5 kali kami cukur di tempat biasa. Jelas dong, saya memilih tempat cukur biasa. Dalam setahun saya cukur paling 5 kali, ya mending cukur di tempat biasa.
Memang secara fasilitas dan kualitas, tempat cukur biasa nggak sebanding dengan barbershop. Dari peralatan yang digunakan, skill mencukurnya, sampai ketenangan ketika dicukur juga berbeda. Kalau kita cukur di tempat biasa, terkadang saya merasa takut dan parno. Gimana nggak takut, kalau setiap kita cukur rambut, terkadang ada risiko kulit rambut juga ikut tercukur. Bukannya gimana-gimana, kalau sebelum kita juga ada yang mengalami hal yang sama, dan pisau cukur yang digunakan juga sama, ini kan sangat berisiko jadi penularan penyakit.
Anyway, dalam artikel ini saya nggak akan membahas mengenai perbandingan antara barbershop dan tempat cukur biasa. Saya hanya akan fokus pada satu hal yang cukup mengganggu dan bikin penasaran selama ini, yaitu kegunaan katalog model rambut yang dipajang di dinding tempat cukur biasa.
Ketika kita cukur di tempat ini, salah satu ornamen yang pasti ada yaitu katalog model rambut. Akan tetapi, selama belasan tahun saya cukur rambut, saya sama sekali belum pernah memakai model rambut yang ada di katalog itu.
Saya mencoba menganalisis, kenapa katalog model rambut ini nggak pernah saya atau sebagian besar orang pakai. Alasan pertama, nggak ada satu pun model rambut yang dipajang dapat diterapkan dalam kultur orang Indonesia. Saya pernah melihat di suatu tempat cukur rambut dekat rumah saya, di sana ada yang memasang katalog model rambut pemain bola. Dalam katalog itu ada satu model rambut yang saya rasa nggak akan pernah kepakai karena nggak cocok sama kultur kita, yaitu model rambut Rio Ferdinand pas lagi gimbal.
Dalam kultur masyarakat Indonesia yang mengharuskan untuk selalu berpenampilan rapi, memakai model rambut Rio Ferdinand jelas nggak masok sama sekali. Selain aneh, gaya rambut model gimbal kalau dilihat sama Mbah Sukiyah tetangga saya, disangka gembel nantinya. Lagipula, sumber daya yang dimiliki sama si tukang cukur juga nggak memadai. Gimana mau buat rambut gimbal kalau cuma bermodal mesin cukur, pisau cukur, sama bedak bayi?
Alasan kedua, kalaupun kita memilih model rambut yang ada di katalog, emang tukang cukurnya bisa? Saya, sih, nggak yakin. Tukang cukur biasa, kalau disuruh buat nyukur kayak model rambut gimbal Rio Ferdinand, dia pasti bingung. Nggak perlu terlalu rumit kayak rambutnya Rio Ferdinand deh, saya dulu pernah minta dicukur kayak rambutnya Ronaldo Portugal, selesai cukur malah mirip Ronaldo Brazil. Eeealah.
Alasan ketiga, terkadang model rambut yang dipajang nggak masuk akal. Saya sering melihat model rambut yang ada di katalog, tapi isinya semua model rambut gondrong. Masalahnya adalah ketika kita memilih model rambut gondrong, pas tumbuh panjang hasilnya beda sama sekali, dan ujung-ujungnya balik lagi ke template dasar rambut kita. Jadi, ya, percuma.
Alasan keempat, datang ke tempat cukur biasa, harus rela dan siap merasakan kekecewaan. Terkadang ketika kita cukur rambut, hasil yang diinginkan nggak sesuai sama yang kita mau. Entah nyukurnya kependekan, sisi kanan sama kiri panjangnya beda. Kalau yang dasar aja sudah nggak terealisasikan, gimana mau minta yang aneh-aneh?
BACA JUGA Tukang Cukur Selalu Memotong Rambut Kependekan Itu Ada Alasannya dan tulisan Kuncoro Purnama Aji lainnya.