Apakah ada yang salah dengan Tempo kalau tugasnya adalah mengkritik? Termasuk mengkritik pemerintah?
Saya penyuka sejumlah tulisan di Mojok. Terlebih saat tulisan Ravi Oktafian dimuat dengan judul tendensius pada 2 Desember 2019 kemarin. Judul tulisan tersebut berbunyi, “Berbicara Soal Tempo yang Remehkan Milenial”.
Sebagai seorang anak di pelosok NTT dan kebetulan pernah diajari secara langsung oleh tim Tempo. Saya tercenung dengan tulisan tersebut. Apakah Tempo yang memiliki perangkat jurnalistik yang mumpuni mau saja terseret dalam tuduhan-tuduhan seperti yang disebutkan Bung Ravi?
Walaupun kelas menulis Tempo maupun kelas daring menulis Tempo telah setahun yang lalu saya ikuti, rasanya tuduhan-tuduhan Bung Ravi terkesan dibuat-buat. Saya masih ingat sejumlah materi menulis di Kelas Tempo. Beberapa di antaranya tentang standar penulisan jurnalistik, pengumpulan data, cross check materi lapangan, dan lain sebagainya. Sementara itu, tulisan Bung Ravi terkesan tindakan suuzon pada Tempo.
Sesuatu yang menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Padahal budaya kritik dalam sebuah sistem demokrasi adalah sebuah keharusan. Ini pun salah satu materi yang saya dapat di kelas menulis Tempo waktu itu.
Setelah membaca tulisan itu saya langsung bertanya kepada diri sendiri. Apakah sejumlah milenial akan terprovokasi dengan tulisan ini? Sedetik setelah membaca artikel itu saya langsung punya kesan bahwa Bung Ravi telah suuzon terhadap Tempo. Sesuatu yang sebetulnya ia coba kritisi.
Tulisan Bung Ravi terkesan menambah rasa tidak suka pada kritik yang dialamatkan pada pemerintahan Jokowi. Jujur saja, saya salah seorang penggemar beliau. Saya ralat, bersama 80% penduduk NTT yang mendukung beliau, kami adalah fans beratnya. Namun, kritik ini justru memacu saya memikirkan sebuah hal. Seberapa kuat nafas pengetahuan kaum milenial dan daya tahannya terhadap kritik? Jika nafas pengetahuannya sependek lilin, tentu saja gampang terprovokasi tuduhan-tuduhan seperti ini.
Bung Ravi lewat tulisannya hendak mengompori Tempo dan Jokowi. Menghadap-hadapkan keduanya. Memangnya tak boleh? Ya, sah-sah saja. Bukankah sekarang ini era keterbukaan? Sejauh yang saya lihat jika meneliti gagasan Bung Ravi, menolak kritik sama halnya dengan menolak keterbukaan.
Bung Ravi dalam tulisannya memang sudah capek dengan kritik. Ia setuju dengan teriakan stop mengkritik tanpa solusi. Kerja, kerja, kerja. Sebuah pernyataan yang mengklaim kebosanan pada budaya kritik. Akan tetapi, setahu saya sebuah negara dengan iklim demokrasi tidak hanya memakai otot kerja tapi kerja otak. Artinya diskusi, kritik, dan juga dialog di ruang publik seperti yang dibuat Tempo sangat dibutuhkan.
Kritik dibutuhkan untuk mengukur sejauh mana kejernihan sebuah kebijakan. Apalagi kebijakan yang diambil menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dalam sejarah, Galileo Galilei sang penemu Teleskop pernah mengkritik sistem pengetahuan Plotinos yang diterima begitu saja sejak abad kedua. Bayangkan sekian abad tanpa kritik, masyarakat tentu saja menjadi tidak berkembang. Syukurlah lewat kritik yang terukur, akhirnya kepercayaan bahwa bumi adalah pusat tata surya dipatahkan Galileo dengan alat temuannya. Ia mendukung teori Heliosentris, yang dicetuskan Om Kopernikus.
Bukan bumi pusat tata surya melainkan matahari demikian kritiknya. Lantas, apa yang beliau-beliau ini dapat? Galileo bahkan dihukum para penguasa sampai ajal menjemputnya. Ia mati karena kritikannya. Berabad-abad setelahnya kita menikmati hasil kritikan Galileo dan Kopernikus .
Atau lebih ke belakang lagi Bapak Filsafat, Socrates malah mati mengenaskan karena dipaksa minum racun. Alasannya, lantaran penguasa saat itu menuduh Sokrates meracuni pikiran kaum muda. Mengajarkan mereka berpikir kritis. Sebuah sistem yang akhirnya dipakai hingga hari ini di universitas mana pun di dunia.
Dalam ranah Ilmu Filsafat, tidak ada sesuatu yang bebas nilai. Selalu ada gesekan kepentingan menyangkut putusan yang diambil. Apalagi dalam konteks kebijakan politik. Tugas masyarakat seperti saya ini adalah memastikan bahwa seluruh kebijakan dan juga kritik (Tempo maupun pemerintah) telah benar-benar menyentuh hajat hidup banyak orang dan bukan karena syahwat kekuasaan.
Masyarakat justru perlu dibekali sikap kritis yang baik. Media-media besar salah satunya seperti Tempo perlu tetap konsisten menjadi ruang kontrol kebijakan pemerintah. Apalagi mengingat kini oposisi pemerintah makin menyusut ke titik menghawatirkan.
Pemerintah dengan kehadiran media-media seperti ini harus bersyukur. Kehadiran mereka akan tetap menjaga pemerintah berada pada relnya. Menjaga marwah kepentingan masyarakat umum yang diserahkan ke pundak pemerintah.
Bukan saatnya lagi media-media kritis seperti Tempo dijadikan musuh.
Kekuatan oposisi memang perlahan kian redup. Partai oposisi sebagai penyeimbang plus pengontrol kerja pemerintah telah kehilangan kekuatannya karena koalisi gemuk. Hasil taktik jitu yang dimainkan Jokowi di panggung percaturan politik kita. Jika Tempo sebagai pihak oposisi lewat kerja jurnalistiknya justru dimusuhi, kita harus mulai was-was. Memangnya, mau dibawa ke mana demokrasi kita ini?
Banyak hal besar di negeri ini telah dipecahkan dengan bantuan media-media kritis seperti Tempo. Mereka punya perangkat dan standar dalam kerja-kerja jurnalistiknya, karena itu kerja media seperti Tempo terbukti tidak hanya diakui di negeri ini tapi telah mendapat pengakuan luas di mata dunia.
Bagi saya, Tempo sebagai alat kontrol tidak sedang meremehkan kaum milenial. Justru kritiknya lewat kerja jurnalistik Tempo adalah bantuan besar bagi pekerjaan Pemerintah. Keadilan sosial bagi seluruh rakyar Indonesia. Kaum milenial masa kini adalah para pemilik nafas panjang idealisme, bukan anti kritik. Berhentilah untuk merasa baper dengan kritik apalagi langsung alergi mendengar kata itu bergaung. Terimakasih, Bung Ravi. Salam sejahtera.
BACA JUGA Sulit Sekali Mengkritik Pemerintahan Jokowi atau tulisan Johanes Marno Nigha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.