Selain terkenal sebagai kota terpanas di Indonesia, Surabaya juga sering disebut kota terbesar kedua setelah Jakarta. Meskipun pernyataan tersebut sebenarnya kurang tepat lantaran Jakarta itu provinsi bukan kota. Tapi, sebagai orang Surabaya, kami nggak pernah mempermasalahkan hal itu. Mau kota kedua, ketiga, atau kesepuluh pun nggak apa-apa, yang penting tetap pertama dan utama di hati masnya. Hehehe.
Sebagai orang yang tinggal di Surabaya bertahun-tahun lamanya dan kebetulan sering ke Jakarta, ada beberapa anggapan keliru warga Jakarta soal Surabaya. Bukan, ini bukan soal perseteruan antara Persebaya dan Persija, ini soal remeh-temeh tapi wajib diluruskan juga. Untuk warga ibu kota, tolong luangkan waktu untuk menyimak, ya.
#1 Pakai “aku kamu” bukan berarti kami SKSD
Sebagai orang Surabaya, kami biasa menggunakan kata “kon” untuk “kamu” dan “aku” untuk menyebut diri sendiri. Namun karena berada di Jakarta, kami biasanya menggunakan bahasa Indonesia “aku kamu”. Pertanyaan saya, kenapa setiap kali menggunakan “aku kamu”, warga Jakarta selalu bilang, “Jangan pakai aku kamu, kita kan nggak dekat!” Lha, yang pengin dekat itu siapa?
Iyaaa, saya tahu orang Jakarta umumnya menggunakan “aku kamu” untuk orang yang menjalin kasih atau kedekatan, dan menggunakan “lo gue” untuk teman biasa. Masalahnya, kami yang orang Surabaya ini kalau harus ngomong pakai “lo gue” medoknya setengah mati. Lidah kami nggak terbiasa dan justru terdengar aneh saat harus mengucapkannya. Bukannya senang, saya yakin kalian justru akan tertawa terpingkal-pingkal mendengar kami ngomong “lo gue”.
Sama lucunya ketika orang Jakarta coba mengumpat dengan kalimat “jancok”, tapi spelling-nya jadi “jancuk”. Jadi, tolong dimaklumi saja saat orang Surabaya ngomong pakai “aku kamu”. Kami sungguh nggak ada niatan pengin mengajak pacaran atau sejenisnya, kok.
#2 Hidup di Surabaya murah
Jika kalian menganggap hidup di Surabaya lebih murah dari Jakarta, itu jelas keliru. Lha, wong harga kopi Starbucks di Surabaya sama saja dengan Jakarta. Harga restoran Padang Sederhana juga sama saja. Jika kalian tetap beranggapan biaya hidup di Surabaya lebih murah daripada Jakarta, mungkin selama ini kalian ke Surabaya sekadar liburan, bukan menetap.
Kalau ingin menetap di Surabaya, bahkan gaji standar UMK Jakarta (Rp4.416.186) pun nggak cukup untuk KPR rumah di Surabaya. FYI, rumah tipe terendah di Kota Pahlawan dihargai Rp1 miliar, itu saja lokasinya di pinggiran kota yang lebih dekat dengan Sidoarjo ketimbang pusat Kota Surabaya. Bayangkan, betapa mahalnya tinggal di Surabaya bahkan jika gajinya menggunakan standar UMK Jakarta sekalipun. Gimana? Apakah masih berpikiran Surabaya murah?
#3 Di Surabaya tidak ada outlet brand internasional
Surabaya adalah kota besar, bukan kota di pedalaman yang isinya hutan dan pegunungan, lho. Semua outlet baju atau beragam brand international yang ada di Jakarta hampir seluruhnya ada juga di Surabaya. Jadi, please, jangan bertanya, “Eh, Onitsuka ada ya di Surabaya?”. Nggak ada, orang Surabaya kalau mau beli Onitsuka langsung ke Jepang. Hmmm. Ya jelas ada lah kalau cuma brand sekelas Onitsuka.
Jam tangan mahal macam Rolex saja store-nya juga ada kok di Surabaya. Tempat hiburan seperti Holywings juga ada, tempat spa oke dengan fasilitas selangit juga tersedia. Mau apa lagi? Hotel? Semua hotel bintang lima yang biasa kalian lihat di Jakarta juga ada di Surabaya.
Ketimbang tanya soal outlet brand internasional, sebaiknya pertanyaannya diganti soal sambelan saja. Sambel di Surabaya terkenal enak, lho, meskipun kalian beli sembarang di pinggir jalan. Rasanya nggak bakal mengecewakan, deh, sebab Surabaya terbuat dari panas, pisuhan, dan sambelan. Hehehe.
#4 Mengatakan Surabaya sebagai Jawa
Sebagai orang Surabaya, saya sering sekali mendengar pernyataan seperti ini, “Oh, mau pulang kampung ke Jawa, ya?” ketika berada di Jakarta dan hendak pulang ke Surabaya. Sebenarnya nggak masalah mengatakan Surabaya itu Jawa. Posisi Surabaya kan memang ada di Pulau Jawa bagian timur, dan mayoritas penduduknya memang bersuku Jawa. Masalahnya, jadi lucu saat orang Jakarta berkata kepada orang Surabaya pergi ke Jawa karena posisi Jakarta itu berada di Pulau Jawa juga.
Mulai sekarang, sebaiknya segera hentikan pernyataan “pergi ke Jawa” sebagai “pergi ke Surabaya” agar kekeliruan tersebut nggak diteruskan sampai anak cucu. Kalau ibu kota sudah pindah ke Kalimantan, barulah pernyataan itu tepat lantaran Surabaya memang di Jawa, bukan di Kalimantan.
#5 Eksklusif karena selalu berbahasa Jawa
Beberapa minggu lalu sempat trending di Twitter soal orang Jawa yang selalu bicara menggunakan bahasa Jawa ketika bertemu sesama orang Jawa meskipun ketemunya di Jakarta. Mereka menganggap kami aneh dan cenderung eksklusif karena suku lain nggak bersikap demikian saat sedang berkumpul dengan banyak orang.
Masalahnya, dialog sehari-hari orang Surabaya memang menggunakan bahasa Jawa. Jadi, kalau bertemu dengan sesama orang Surabaya, lidah kami otomatis berubah jadi Java language. Namun, kami melakukan hal itu bukan biar kelihatan eksklusif, kok. Ini hanya soal kebiasaan. Lagi pula, kami sungkan kalau harus berbahasa Indonesia jika sedang ngobrol dengan sesama orang Surabaya. Kadang, kami malah jadi saling meledek satu sama lain, “Hala, arek Suroboyo ae kok ngomong e Indonesiaan.” (Halah, orang Surabaya saja kok bicaranya pakai bahasa Indonesia).
Jadiii, tolong jangan salah paham, kami sama sekali tidak ada niatan jawanisasi. Kalau kebetulan kalian mendengar banyak sekali orang berdialek Jawa di ibu kota, ya itu semata-mata karena suku kami memang secara persentase jumlanya terbanyak, yaitu 40% dari jumlah total penduduk di Indonesia, itu saja, sih. Nggak ada niatan tersembunyi atau teori konspirasi lainnya soal dialek jawa kami yang mengakar ini.
Itulah beberapa anggapan keliru yang sering saya dengar dari warga Jakarta. Semoga setelah ini nggak perlu ada lagi kesalahpahaman di antara kita. Eh, ada satu lagi, sih. Belakangan ini ramai sekali sikap Menteri Sosial yang notabene orang Surabaya, marah-marah kepada bawahannya. Tolong hal itu jangan dijadikan acuan kalau karakter orang Surabaya itu pemarah, ya?
Sekali lagi, orang Surabaya itu nada bicaranya saja yang ngegas, hatinya selembut kapas. Catat itu! Hehehe.