Melarang Rokok Eceran dan Hobi Pemerintah Mempersulit Hidup Orang Miskin

Melarang Rokok Eceran dan Hobi Pemerintah Mempersulit Hidup Orang Miskin

Melarang Rokok Eceran dan Hobi Pemerintah Mempersulit Hidup Orang Miskin (Pixabay.com)

Sekali lagi rokok menjadi sasaran kerja embuh pemerintah. Belum genap setahun para ahli isap ditampar dengan cukai rokok yang meroket. Sekarang, sudah muncul agenda baru untuk menambah cuka di luka para perokok. Agenda ini adalah melarang penjualan rokok batangan alias eceran.

Teorinya, rokok eceran menjadi cara bagi anak-anak untuk mengonsumsi rokok. Tentu dengan alasan ekonomi, karena anak-anak belum mampu membeli rokok bungkusan. Dengan melarang penjualan rokok eceran, anak-anak tidak bisa mengonsumsi rokok. Paling tidak itulah teori yang dipaparkan pihak BPOM sebagai pengusul.

Pemerintah menyambut positif usulan ini. Meskipun belum resmi, namun pihak Kemenko PMK sudah melakukan uji publik. Nantinya, wacana ini akan masuk dalam revisi PP No. 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Sebenarnya banyak poin revisi termasuk masalah rokok elektrik. Tapi jelas yang disorot adalah larangan penjualan rokok eceran.

Saya akan menyingkir dari urusan “rokok membunuhmu” dan fokus di wacana ra mashok ini. Melarang penjualan rokok eceran mirip dengan larangan menjual pertalite eceran. Intinya adalah mendorong (baca: memaksa) rakyat untuk mengonsumsi atau tidak mengonsumsi apa yang diatur pemerintah. Yah maklum, kalau tidak ngatur-ngatur nanti tidak kelihatan kerja.

Dan siapa yang terdampak? Masyarakat ekonomi bawah. Memandang rokok eceran sebagai konsumsi eksklusif anak-anak jelas tidak realistis. Masyarakat miskin juga menjadi konsumen utama rokok ini. Pengecer sendiri juga masyarakat ekonomi bawah atau menengah. Tidak mungkin anda ke supermarket lalu bilang, “Mbak, Surya 3 biji.”

Pertama yang terdampak secara ekonomi adalah pedagang asongan. Ketika sumber pendapatan mereka dihapus, apa yang akan dijajakan mereka? Saya tidak akan rela melihat pedagang asongan diangkut Satpol PP karena jual rokok eceran.

Melarang rokok eceran tidak serta merta mengatasi masalah perokok di bawah umur. Ketika anak tadi dari ekonomi menengah ke atas, beli rokok satu pack itu gampang. Selain itu, anak-anak kan juga bisa patungan. Yang ada malah perokok di bawah umur akan lebih konsumtif dengan dipaksa membeli rokok dalam kuantitas banyak.

Pelarangan rokok eceran ini juga akan menambah alasan untuk beralih ke rokok ilegal. Sistem eceran membuat rokok legal yang (dipaksa) mahal tetap dikonsumsi ahli isap bergaji UMR. Kalau eceran hilang, maka mereka akan beralih ke rokok tanpa cukai yang lebih murah. Kalau sudah begini, pemerintah hanya akan menambah masalah yang diciptakan sendiri.

Terakhir, melarang rokok eceran akan meningkatkan gesekan antarrakyat. Para ahli isap bisa kehilangan jiwa tenggang rasa ketika rokok mereka habis. Jika dulu mereka bisa ngecer saat kepepet di tongkrongan, sekarang rokok teman yang masih utuh jadi sasaran. Dari rasan-rasan sampai adu mulut bisa terjadi akibat keputusan pemerintah.

Lagipula kenapa sih pemerintah masih doyan micromanaging? Urusan eceran ini tidak akan terjangkau tangan pemerintah. Kecuali mereka siap menambah aparat khusus pengawas jual beli rokok eceran, yang jelas membebani anggaran. Seolah pemerintah itu selevel CEO startup yang masih suka ngerecokin urusan paling sepele.

Di setiap sudut kampung pasti ada penjaja rokok eceran. Apa polisi dan Satpol PP akan melakukan razia untuk ini setiap hari? Urusan keamanan saja masih belum beres, malah ngurusi hal sepele seperti ini.

Jika wacana utama adalah mencegah perokok usia dini, melarang rokok eceran jelas offside. Padahal sudah ada hukum yang melarang jual beli rokok untuk anak di bawah umur. Ketika hukum ini saja selalu kecolongan, apa iya wacana yang lebih ruwet ini akan berhasil? Sepurane, pesimis saya tidak bisa ditutupi.

Mending pemerintah sibukkan diri untuk edukasi larangan rokok bagi anak di bawah umur. Meskipun sulit untuk berhasil, setidaknya pemerintah lebih terlihat bijak dan cerdas. Atau, beneran berupaya untuk menegakkan hukum jual beli rokok untuk anak di bawah umur, itu lebih mashok.

Daripada bikin atraksi yang ra mashok dan mengundang pagop, mbok pisan-pisan yang tepat sasaran gitu lho.

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Harga Rokok Naik: Ketika Rakyat Dianggap Beban oleh Negara

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version