Kemarin setelah membaca sebuah artikel yang berjudul ‘Hey Kalian yang Suka Minta Like, Komen, dan Subcribe saat Ikut Lomba, Itu Curang Lho!’, saya merasa gatal pengen meluruskan peryataan. Jujur, saya sendiri yang bisa dibilang maniak giveaway dan paling hobi mengikuti berbagai macam lomba di media sosial ini, paling nggak suka dengan yang namanya lomba tapi pemenangnya ditentukan dari jumlah like-nya. Seumur-umur saya baru sekali doang ikut lomba kayak gitu, itu pun murni karena saya ngincer hadiahnya yang lumayan besar buat biaya operasi kucing liar yang sakit, sehingga saya mengerahkan warga di grup-grup WA saya untuk bantu like. Dan akhirnya saya juara lima dong, lumayanlah hadiahnya masih terbilang besar soalnya brandnya cukup besar juga sih.
Saya nggak tahu, meminta like dan komen kayak gini tuh letak curangnya itu di mana. Bukan kenapa-napa, tapi kok seolah orang yang minta like dan komen ke orang itu kok kayaknya berperilaku jahat hingga menghalalkan sebuah cara buat menang sih. Belum lagi mereka itu seolah menjegal juara yang sesungguhnya, yang mungkin lebih pantas untuk menjadi pemenangnya.
Gini yah, Mbak. Pertama kita harus simak dulu syarat dan ketentuan lomba tersebut. Biasanya orang yang suka minta like dan komen kayak gitu memang murni mengikuti sebuah lomba yang mana pemenangnya itu ditentukan oleh jumlah like dan komen, bukan karena bagus tidaknya karyanya. Karena syarat untuk lomba ini bermacam-macam sih. Ada yang pemenangnya mutlak merupakan keputusan juri yang tak bisa diganggu gugat. Ada yang pemenangnya ditentukan dari karyanya. Ada yang pemenangnya itu bisa dipertimbangkan dari banyaknya like dan komennya juga. Dan ada juga yang mutlak pemenang ditentukan dari banyaknya jumlah like dan komen.
Lalu curangnya di mana sih? Bukannya dari awal lomba tersebut memang fokus banyak-banyakan like dan bukan bagus-bagusan karya? Definisi curang itu menurut saya cenderung pada tindakan licik atau menghalalkan semua cara untuk menang seperti yang saya katakan di atas tadi. Lah, di sini si peserta ini minta tolong ke orang-orang dengan baik-baik dan tanpa paksaan. Kecuali kalau ada yang maksa beda lagi urusannya yah. Toh, mereka yang bantu like dan komen juga biasa saja dan tak merasa ditekan atau terbebani. Lagi pula kalau gak mau bantu, juga gak perlu dibantu mah bereskan sebenarnya. Orang itu media sosial kita ini kan, bebas dong mau like atau tidak. Tapi nyatanya orang-orang terdekat memilih untuk membantu.
Curang itu mungkin kalau si peserta ini berkonspirasi menjegal tim lawan dan mengompori orang-orang agar tidak meng-like postingan lawannya. Atau mereka melakukan gerakan bawah tangan dengan mengumpulkan masa agar me-report akun lawan agar tidak jadi menang. Bisa juga si peserta ini mungkin menyogok juri agar bisa menang. Atau mungkin lomba tersbeut bagus-bagusan karya, tapi si peserta minta tolong orang lain buat membuatkan karya tersebut. Nah, hal-hal semacam ini dikatakan curang saya setuju.
Kalau sistem banyakan like semacam ini dirasa kurang fair, maka yang harusnya yang disalahkan itu yah pihak panitia atau penyelenggaranya. Kenapa mereka membuat perlombaan atau kompetisi kayak gini? Tapi kan mereka nggak bodoh juga, semua pasti ada timbal baliknya. Mereka rela mengeluarkan uang untuk hadiah, yah sudah pasti mereka juga harus dapat benefit yang sama juga dong. Dengan orang lain membantu like dan komen ini, secara tidak langsung mereka tengah membantu mempromosikan brand, perusahaan, atau apa pun itu dari pihak panitia lomba. Jadi ini mah sebenarnya permainan marketing aja sih kalau menurut saya.
Masalah karya teman yang jelek itu, saya setuju sih, kalau yang menang harusnya yang memang karyanya bagus. Tapi apa salahnya sih kita mendukung teman atau kerabat dekat kita yang tengah berusaha. Saya sendiri sangat rajin, membantu like atau komen teman yang suka meminta bantua. Lagi pula berapa lama sih buat like dan komen ini. Seneng aja gitu kalau ada teman saya yang bisa menang.
Mungkin kinerja kayak gini tuh kalau diibaratkan semacam teman yang tengah merintis usaha. Mungkin di luar sana banyak usaha atau karya orang lain yang lebih bagus dan mumpuni, sehingga kita jarang memakai jasa teman atau orang terdekat. Alasannya yah itu tadi. Ada yang lebih bagus. Tapi kalau bukan kita, orang terdekat, yang membantu melarisi dan mendukung usaha mereka, lantas siapa lagi?
Kalau dilogika yah, buat apa sih para pejabat itu pada kampanye dan menghabiskan banyak uang? Yah, tentu saja buat minta dukungan warga biar dicoblos saat pemilu kan ya. Nah, sebenarnya sistem pemilihan pemenang ala pejabat kita kan juga ditentukan dari banyaknya suara yang ada. Apa lantas yang menang dalam pemilihan  itu lebih bagus kinerjanya dari yang kalah? Gak, juga kan?
Di sebagian lomba kadang juga nggak ada ketentuan atau aturan yang menyebutkan kalau peserta itu nggak boleh beli like. Jadi yah mereka nggak salah juga sih, mereka hanya kreatif aja. Memanfaatkan fasilitas yang ada. Toh, mereka juga modal uang untuk membeli like tersebut to? Lalu, tolong jelaskan letak curangnya itu di mana jika memang ketentuan dan aturan lombanya itu memang banyak-banyakan like?
BACA JUGA Kok Bisa yah Orang Ngerekam Diri Sendiri pas Nangis buat Bikin TikTok? dan tulisan Reni Soengkunie lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.