Musim ini, kita akan dikejutkan dengan kembalinya SS Lazio ke Liga Champions, setelah absen selama 13 tahun di ajang bergengsi ini. Tetapi tidak seperti klub-klub yang lain, yang belanja jor-joran guna memperdalam pasukannya, Elang ibu kota nyatanya adem ayem aja.
Sejak era kepemilikan diambil alih oleh Claudio Lotito, praktis klub ibukota berwarna biru ini tidak selalu meledak dalam hal transfer. Direktur olahraga, Igli Tare, pun tidak menuntut lebih. Kedua petinggi ini bagai Snapdragon 625 dengan Android Stock Rom milik Google, iritnya minta ampun.
Bayangkan saja, pemain yang datang hingga saat ini, jika tidak pemain uzur, ya pemain free transfer maupun pemain antah berantah. Hal ini membuat Laziale di seluruh dunia, sedikit geram.
Mereka mendatangkan Pepe Reina, yang sudah 38 tahun dan sudah mendekati habis masa keemasannya. Mereka juga mendatangkan Gonzalo Escalante dari Eibar. Lazio juga membeli penyerang Salernitana, Jean-Daniel Akpa Akpro, Nama terakhir bisa dibilang, ya mubazir banget, membeli pemain dari klub presiden dan pemilik yang sama, yang benar aja.
Kegagalan mengangkut Kumbulla, David Silva, dan kemudian Muriqi, membuktikan bahwa klub ini masih setengah-setengah dalam mengarungi kompetisi domestik dan Eropa.
Seperti yang kita tahu, sebelum corona merebak ke seluruh dunia, Lazio menguntit di belakang Juventus, terpaut satu poin. Bisa dibilang, Lazio berpotensi untuk menjadi juara baru di Serie A yang didominasi Juventus.
Nyatanya, setelah liga dimulai lagi pasca corona, mereka seolah-olah kehilangan momen yang dulu mereka sering banggakan, yakni kemenangan. Padahal saat itu, Juventus juga sedang tidak bagus-bagus amat dilatih Maurizio Sarri. Ujungnya, yang juara ya Juventus lagi.
Bosen? Pasti lah, yakali dia mulu yang juara. Tapi nggak bisa disalahkan juga ya. Ketika Juve lagi limpung, eh bisa-bisanya, Inter, Lazio, dan Atalanta sering banget kehilangan poin.
Lagian kalau mau ngarepin Lazio boros di bursa transfer sepertinya hanya lelucon. Mereka sering banget nggak menuruti permintaan pelatih perkara pemain, contohnya kayak waktu Bielsa melatih Lazio.
Sebagai Laziale yang nggak keras-keras amat, saya kadang berpikir, sepelit itukah Lotito sampai beli pemain aja susahnya pake banget? Memang ada poin positifnya sih. Keuangan Lazio bisa menjadi sangat sehat karena pengeluaran terkontrol. Langkah selanjutnya kemudian mencari bibit muda dan gratis, lalu dijual mahal menjadi jalan ninja era Lotito dan Tare.
Nggak salah memang, toh buktinya Coppa Italia dan Super Copa menjadi bukti sahih bahwa pembelian cermat pu bisa memberi hasil. Apalagi rivalnya, AS Roma, yang menghamburkan banyak uang demi membeli pemain label bintang, sampe sekarang masih nihil gelar.
Tapi perlu diingat, AS Roma langganan Liga Champions dalam beberapa musim terakhir, sementara Lazio? Ajang Europa League aja masih bisa dibantai sama perwakilan Rumania CFR Cluj. Sekarang mau tampil di ajang Liga Champions, tapi masih pake formula yang sama, saya rasa cukup deh.
Apa salahnya coba keluar uang lebih demi membeli pemain yang diinginkan pelatih demi membentuk kedalaman skuat yang kokoh? Selain mempertegas kesiapan tim, hal itu juga bisa menjadi magnet bagi para pemain untuk bermain di Lazio. Padahal dengan bermain di banyak liga berarti kemungkinan cedera bakal naik. Kalau sampe nggak punya pemain yang rata kemampuannya, ya sama aja datang untuk jadi bulan-bulanan.
Jadi mau sampai kapan Lotito dan Tare ngirit terus?
BACA JUGA Pengangguran Terjadi Bukan karena Keadaan, tapi Faktor Gengsi dan artikel Terminal Mojok lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.