Saya santri. Alhamdulillah usia mondok saya sudah belasan tahun. Tapi bulan Syawal depan Insya Allah saya mau boyong, pulang ke rumah, tidak lagi tinggal di pesantren. Alasan saya mengajukan izin boyong adalah karena ibu saya minta ditemani karena selama ini beliau sendirian di rumah.
Bapak, Alhamdulillah masih sehat dan beringas untuk bolak-balik merantau ke Ibu Kota. Sedangkan adik saya satu-satunya juga masih mondok. Jadilah ibu saya di rumah hanya sendirian. Dan akhir-akhir ini beliau mulai sering mengirimkan sinyal bahwa beliau ingin ditemani oleh anak perempuan satu-satunya ini.
Tapi tahukah kamu bagaimana perasaan saya sekarang setelah mendapat izin dari Ibu Nyai untuk boyong? Gelisah!
Satu kata itu mungkin yang bisa menggambarkan betapa mumetnya kepala saya karena memikirkan nanti di rumah mau ngapain yah? Awalnya, ketika sowan ke Ibu Nyai dan beliau memberikan restu untuk boyong, jujur perasaan saya amat sangat lega. Akhirnya saya pulang juga setelah belasan tahun mondok di “penjara suci” ini.
Tapi rupanya perasaan lega itu hanya bertahan sebentar. Keluar dari ndalem Ibu Nyai, rasa gelisah mulai menghantui. Ditambah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan, “Kamu nanti di rumah mau ngapain? Masa mau nemenin Ibu tok? Gak kerja? Nggak ngajar? Masak nggak ngasih manfaat untuk masyarakat?” Maka jawaban yang paling memungkinkan adalah, kerja.
Saya harus kerja karena dengan kerja saya dapat menebarkan manfaat untuk banyak orang, sehingga akan mendatangkan barokah dan mendatangkan rezeki. Begitu pola pikir seorang santri. Manfaat dulu, baru deh dapat barokah dan rezeki!
Daftar Isi
Pesantren memberikan bekal soft skill yang lumayan
Selama di pesantren, alhamdulillah saya banyak dibekali dengan soft skill yang terbilang lumayan. Saya pernah jadi anggota divisi media pesantren, bikin konten digital mulai dari fotografi, desain grafis, videografis, hingga jurnalistik. Saya juga pernah ngurusin bagian administrasi dengan menjabat sebagai staf tata usaha di madrasah aliyah yang ada di dalam pesantren. Dua skil yang saya dapatkan melalui jalur barokah secara cuma-cuma itu menjadi kekuatan besar bagi saya ketika nanti sudah boyong.
Oh iya, ditambah lagi dengan sedikit skill mengajar saya yang sudah terlatih di hadapan para santri. Tapi lagi-lagi saya dibuat gemetaran oleh kenyataan sulitnya mencari pekerjaan. Beberapa kali saya membuka laman pencari kerja. Saya selalu terbunuh oleh kalimat “memiliki pengalaman kerja sekian tahun” dan “lulusan minimal S1 jurusan yang linier”. Persetan dengan pengalaman kerja dan pendidikan linier ini!
Masak pengabdian saya tidak terhitung pengalaman kerja?
Saya tidak tahu apakah pengabdian saya di pesantren bisa dihitung sebagai pengalaman kerja atau tidak karena saya pribadi lebih suka menyebutnya sebagai pengabdian, bukan pekerjaan. Alasannya karena pesantren bukanlah perusahaan atau lembaga profit. Pesantren adalah lembaga pendidikan akar rumput. Basisnya gerakan sosial. Kami yang berkhidmah di dalamnya tidak digaji. Para Kiai dan Ibu Nyai menjanjikan lebih dari sekedar gaji, yaitu barokah berupa bertambahnya kebaikan di setiap lini kehidupan.
Ada pun jika kami menerima sedikit bisyaroh atau gaji, itulah wujud dari barokah dan tentu saja tidak seharga dengan UMR yang berlaku. Kalau khidmah di pesantren tidak bisa dianggap sebagai pengalaman kerja rasanya tidak adil juga. Wong di pesantren kami juga bekerja untuk menghasilkan sesuatu yang bermanfaat kok.
Dan soal skill, tolong jangan diragukan lagi! Para santri di pesantren itu dididik agar punya etos kerja yang tinggi supaya bisa menebar manfaat sebanyak-banyaknya. Ketika santri punya skill tertentu, tenaganya pasti akan sangat dimanfaatkan di pesantren sehingga jam terbangnya juga tidak kaleng-kaleng.
Para santri itu berkhidmah setiap hari, setiap waktu. Itulah yang menunjukkan kesetiaannya pada almamaternya, pada kiai dan nyainya. Masa yang begitu itu tidak bisa disebut sebagai pengalaman kerja sih? Ya tidak adil!
Apa-apa kok harus linier
Soal linieritas dengan jurusan kuliah lagi. Jujur ini betul-betul membuat saya patah hati. Saya kuliah di jurusan Ahwal Asy-Syakhshiyyah atau hukum keluarga Islam yang notabene bisa bekerja di kantor-kantor urusan agama, baik KUA maupun pengadilan agama. Sedangkan saya punya keahlian di bidang konten media sosial, mengajar, dan administrasi yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan jurusan kuliah saya.
Dan tahukah kamu? Daftar kerja di kantor-kantor urusan agama itu susah! Belum lagi dengan persaingannya yang sangat ketat. Melalui jalur CASN, PPPK atau CPNS pun susah karena kalah sama orang-orang yang punya orang dalam. Mau daftar kerja jadi pengajar atau administrasi pendidikan, susah juga karena saya bukan lulusan Pendidikan. Mau daftar kerja jadi konten kreator juga susah karena saya bukan lulusan Desain Komunikasi Visual. Ah betapa hidup ini susah sekali!
Lagi-lagi saya merasa diperlakukan tidak adil oleh sistem kerja yang tidak memberikan kesempatan kepada orang-orang yang punya skill. Meskipun belum memiliki pengalaman kerja dan kuliahnya tidak linier.
Ah betapa kegelisahan ini mengganggu hari-hari saya. Namun, saya selalu percaya dengan apa yang diajarkan oleh Ibu Nyai saya di pesantren. Perbanyak doa dan perbanyak bekerja agar dapat memberi manfaat untuk orang-orang di sekitar. Bekerja disini tidak melulu soal menghasilkan uang. Tapi bekerja sebagai apapun selagi bermanfaat.
Dengan dua hal itu, Insya Allah, rezeki akan menghampiri dengan sendirinya. Lagi pula, bukankah rezeki sudah ditakar oleh Gusti Allah? Lah, ngapain juga takut tidak punya rezeki. Memelihara perasaan seperti itu hanya membuat iman kita semakin lemah.
Penulis: Hilyatul Aulia
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Keluh Kesah Orang Desa: Biaya Pesantren Mahal Bikin Orang-orang Kecil Mumet!