Melihat tulisan Mas Yanuar soal revitalisasi Kota Lama Banyumas yang mirip Malioboro Jogja, saya jadi teringat percakapan dengan teman saya yang kebetulan dari Banyumas juga. Waktu itu, kami membahas soal fenomena kabupaten/kota yang fomo sama sesuatu. Buat generasi 90-an, mungkin dulu ingat pernah ada tren lampu air mancur yang dipasang di sudut kota. Sekarang, mulai banyak kabupaten/kota yang ingin punya tempat mirip Malioboro Jogja.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, nggak cuma Banyumas yang fomo “meniru” Malioboro. Ada Jalan Dhoho di Kediri, Tugu Malang dan Kayutangan Heritage di Malang, sampai Koridor Gatot Subroto di Solo. Tapi, bisa dikatakan pemerintah daerah (pemda) yang fomo ini nggak semuanya berhasil “memindahkan” Malioboro Jogja ke kotanya. Bahkan revitalisasi yang biayanya sampai miliaran ini beberapa justru dilaporkan sepi pengunjung.
Pemda yang melupakan sense of place
Teman saya yang lulusan jurusan Perencanaan Wilayah Kota (PWK) berkata, “Menurutku, Malioboro Jogja mau ditiru semirip apa pun, tapi kalau pemda nggak memerhatikan sense of place, kemungkinan besar bakal susah berhasil.” Saya yang lulusan Komunikasi cuma bisa nyengir dan mbatin, opo meneh iki sense of place.
Mudahnya, sense of place itu semacam vibes yang bikin kita ingat sama suatu lokasi, dengan ciri khasnya masing-masing. Teman saya bilang kalau Malioboro memang punya sense of place yang kuat dan bikin orang ketagihan buat selalu datang ke sana. Sayangnya, hal kecil ini justru luput dari pandangan. Akhirnya, pemda cuma kasih vibes Malioboro tanpa menghadirkan ciri khas dari daerah itu sendiri.
Baca halaman selanjutnya: Alasan sense of place Malioboro Jogja…