Malang Kota Bunga tak lepas dari julukan kota dingin nan sejuk. Selama merantau di Malang selama kurang lebih lima tahun dan jarang pulang, secara pribadi saya merasakan naik turunnya suhu kota ini. Tapi, ada hal menarik yang kalian tak sangka-sangka terkait kota ini.
Tahun pertama ketika saya memutuskan untuk merantau di kota ini sebagai mahasiswa baru (maba) tahun 2019, saya sempat mengalami eksim selama dua minggu. Eksim bisa disebabkan banyak faktor, dan saya yakin eksim saya karena faktor cuaca yang naik turun. Kota asal saya di Banyuwangi tentu tidak sedingin kota ini, dan mungkin itulah kenapa saya bisa kena eksim.
Insiden eksim gara-gara dingin
Karena perubahan suhu dan cuaca dari kota asal ke kota rantau yang sangat drastis, membuat dua minggu pertama saya di Malang tidak bisa tidur nyenyak dan beraktivitas karena gatal, ruam merah, kulit kering. Kata teman saya yang asli kota ini, kulit saya masih adaptasi, nanti sembuh sendiri sembari dikasih salep. Akhirnya saya nurut aja dan untungnya setelah dua minggu berlalu, kulit saya pulih.
Saat maba itu saya akui bahwa Kota Malang bener-bener dingin. Mau ke toilet buat buang air kecil aja membutuhkan nyali yang besar. Bukan karena horor, tapi karena airnya yang dingin pol. Memang sih, Kota Batu lebih dingin, tapi saya sebagai perantau dari desa yang panas jelas kaget.
Bahkan saya sering kuliah pagi tidak mandi, hanya gosok gigi dan cuci muka, itu pun sudah saya anggap prestasi. Saya masih ingat jelas pada Agustus 2019, suhu Kota Malang di pagi hari menyentuh 170-180C. Seiring berjalannya waktu, saya akhirnya mulai terbiasa dengan suhu cuaca di Malang.
Baca halaman selanjutnya