Kalau kuliah punya fungsi meningkatkan kualitas hidup seseorang, saya setuju. Secara intelektual, saya merasa sedikit lebih cerdas daripada sebelumnya. Saya bisa diskusi dengan banyak dosen yang sudah doktor bahkan profesor, juga mampu menulis dengan baik dan diterbitkan di Terminal Mojok.
Tapi, secara material, walau saya mengambil program studi S-1 yang nanti kalau lulus kuliah mendapat gelar sarjana, saya masih dihantui ketakutan pertanyaan “Besok mau jadi apa?”. Sering kali saya berusaha mengusir jauh-jauh perasaan itu, namun tetap saja, ia seperti teman sekaligus lawan yang selalui menemani dan menakuti.
Sebagai manusia biasa, apalagi pemuda tanggung yang katanya sedang menginjak masa quarter life crisis, saya kira wajar sekali kalau saya khawatir akan masa depan. Saya terus berpikir besok mau jadi apa, mau ngapain? Kebutuhan primer manusia memang tentang sandang, pangan, papan, kan? Wong kata Maslow aja gitu, kok, kebutuhan tingkat pertama manusia itu tentang fisiologis.
Saya sempat beberapa kali menceritakan kekhawatiran saya kepada teman-teman saya yang anak psikologi. Walau mungkin mereka merasakan kekhawatiran yang sama, mereka sedikit banyak bisa memberikan jawaban yang menenangkan. Mereka biasanya menjawab, “Wajar, kok. Pikirin dulu yang sekarang, coba untuk mindful.” Hmm, iya deh iya, kata saya.
Pernyataan bahwa apa yang saya rasakan adalah suatu kewajaran memang bisa membuat tenang beberapa saat, tapi tidak terus-menerus. Besoknya, ketika sedang merenung, lagi-lagi terpikirkan. Jadinya bingung dan pusing sendiri. Bukannya mempersiapkan diri, malah menghakimi diri sendiri dan terus berpikir tentang nasib di masa depan. Hahaha, dasar saya.
Saya sekarang masih semester empat, akan menginjak semester lima. Ketika melihat kakak tingkat di semester lima yang hendak naik ke semester enam, atau bahkan satu tingkat di atasnya, saya berpikir, “Kok mereka kayak santai-santai aja, ya?” Mereka seperti air yang tenang mengikuti aliran selokan: tenang, selow.
Setelah mengenali diri, saya tahu bahwa cara untuk mengatasi kekhawatiran saya adalah dengan mengobrol dengan orang. Saya akhirnya sering mengajak mereka kakak-kakak tingkat saya untuk membahas obrolan yang paling serius. Iya, ngobrol tentang masa depan. Rek jadi naon maneh engke? Gitu kalau versi bahasa Sunda.
Dari pengalaman mengobrol dengan mereka, sangat sedikit yang punya rencana pasti life-plan pasca-kampus. Kebanyakan mereka justru merasakan apa yang saya rasakan, yang mungkin dengan intensitas yang lebih tinggi. Jawaban mereka yang paling sering saya dengar adalah, “Sebenernya urang juga belum tahu mau ngapain sih, hahaha.”
Di satu sisi saya merasa tidak puas sih dengan jawaban itu. Tapi di sisi lain, saya juga memaklumi, bahwa ada juga yang berperasaan seperti saya menyikapi masa depan. Setidaknya saya punya teman. Dan kabar yang lebih menyenangkan adalah mereka kakak-kakak tingkat saya, hahaha.
Di saat masa pandemi seperti sekarang yang kuliah dilaksanakan secara online, saya lebih banyak waktu untuk sendiri dan merenung. Di waktu-waktu itulah kekhawatiran biasanya datang. Untungnya, saya menyiasatinya dengan chatting dengan teman atau kakak tingkat, membagikan keresahan yang saya punya. Akhirnya saya malah terhibur dan kami tertawa bersama menertawakan nasib diri sendiri dan segala kemungkinan di masa depan.
Salah satu cara menikmati masa kuliah adalah dengan cara mengkhawatirkan nasib di masa depan. Mau jadi apa; mau kerja atau lanjut studi; mau nikah atau pending dulu; kalau nikah, mau ngehidupin anak dan istri dari cara kayak gimana. Semua itu bergelayut menggantung di kepala para pemuda tanggung yang sedang menjalani masa-masa kuliah menjelang tingkat akhir dan menyambut kelulusan.
Saya jadi ingat perkataan teman saya ketika melihat kakak-kakak tingkat kami yang sedang wisudaan, “Hari ini, mereka senang sekaligus bingung. Senang karena udah lulus kuliah, bingung besok mau ngapain.” Saya mesem-mesem saja merespons perkataannya karena ikut mengamininya dalam hati. Lebih dari itu saya berpikir, besok saya pas wisuda bingung juga nggak ya, hmm.
Semoga saja kebingungan makin deket lulus kuliah makin bingung mau jadi apa benar-benar wajar. Mungkin, seorang Pak Anies Baswedan saja dulu bingung mau ngapain selepas lulus kuliah dari UGM. Seorang Mbak Najwa Shihab saja bingung mau jadi apa selepas lulus dari UI. Terlepas nasib yang berbeda dengan mereka sehingga sebenarnya tidak epel tu epel, tidak apa-apalah, mencoba menghibur diri saja.
BACA JUGA Kehidupan Setelah Lulus Kuliah yang Super Duper Mega Menyebalkan dan tulisan Akbar Malik Adi Nugraha lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.