UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta atau UIN Jogja itu unik. Sebagai salah satu alumninya, saya tahu betul lika-liku kuliah di perguruan tinggi negeri Islam yang satu ini. Walau ada embel-embel kampus berbasis agama yang sering dikaitkan dengan citra konservatif, alim, hingga culun, dinamika kuliah di UIN Jogja begitu berbeda. Bahkan, tidak sedikit yang menjuluki kampus yang berada di Jalan Laksda Adisucipto itu liberal.
Sejujurnya kenyataan ini cukup bikin kaget mereka yang tidak pernah bersinggungan dengan UIN Jogja. Termasuk mahasiswa baru (maba) dari luar daerah. Mungkin, di dalam benak mereka, mahasiswa UIN Jogja seperti kebanyakan perguruan tinggi berbasis agama lain yang cenderung kalem dan alim. Bayangan itu tidak salah, memang ada mahasiswa yang sesuai ekspektasi kebanyakan orang. Namun, tidak sedikit juga yang justru berkebalikan 180 derajat dengan ekspektasi tersebut.
Nah, buat yang penasaran seberapa berbeda dan unik mahasiswa UIN Jogja dibanding kampus lain, di bawah ini saya rangkum dalam beberapa poin. Namun, saya ingin tekankan, cerita di bawah ini berdasar pengalaman pribadi saya saat kuliah di sana ya. Bisa jadi orang lain mengalami yang sebaliknya atau berbeda.
#1 Mahasiswa UIN Jogja tidak mempermasalahkan syariat orang lain
Mahasiswa UIN Jogja hidup di antara berbagai aliran pemikiran Islam. Ada yang spesialis ngaji kitab kuning tiap malam, ada juga yang lebih khusyuk memikirkan eksistensi Tuhan ala Sartre. Dan keduanya hidup rukun.
Selain itu, saking seringnya melihat orang salat dengan cara berbeda, bahkan wudhu pun beda gaya, mahasiswa UIN jadi nggak gampang kagok. Mau yang salatnya di akhir waktu, yang pakai qunut atau nggak, semua dianggap wajar.
Saya jadi ingat percakapan dengan beberapa teman di warung kopi. Ketika ada yang bertanya soal hukum salat dalam kondisi tertentu. Tanpa fafifu, teman saya mengatakan, “Boleh” seakan tanpa berpikir. Lalu ia dilanjutkan dengan kalimat pamungkas, “Lha nggak salat saja boleh kok, itu urusanmu.” Duarrr.
Bagi orang awam atau asing yang nggak kenal mahasiswa UIN Jogja, pernyataan itu mungkin terdengar aneh dan menyepelekan syariat. Tapi, sebenarnya kami tidak seperti itu. Pernyataan tersebut merupakan bentuk kesadaran bahwa urusan ibadah adalah ruang privat antara individu dan Tuhan. Pun kami selalu percaya bahwa yang menyebabkan masuk surga juga bukan perkara ibadah, tapi rahmat Gusti Allah.
Baca halaman selanjutnya: #2 Sudah terbiasa …
#2 Sudah terbiasa dengan mendengar pemikiran “nyeleneh”
Coba sekali-kali kalian mampir ke Masjid UIN Jogja. Kalian akan menemukan kegiatan yang berbeda dengan masjid-masjid pada umumnya. Kegiatan rutin di sana bukan pengajian dari ustaz ternama, tapi berbagai diskusi yang kebanyakan orang pandang “nyeleneh”. Kalian bisa mengikuti diskusi filsafat Islam, kajian pemikiran feminisme, hingga bedah buku kontemporer. Di sinilah tempat kalian bisa mendengar ajaran-ajaran yang banyak orang anggap “nyeleneh” tanpa takut dihakimi.
Ruang untuk berpikir “nyeleneh” sebenarnya terbuka lebar di UIN Jogja, tidak hanya di masjidnya. Di ruang-ruang akademi pun hal ini juga diterima. Kalian ingat nggak disertasi kontroversial pada 2019 yang membahas konsep milk al-yamin dari Muhammad Syahrur? Iya, yang bikin geger itu. Nah, disertasi tersebut diloloskan di UIN Jogja.
Jangan buru-buru menghakimi. Bagi anak UIN, diskusi soal pemikiran semacam itu adalah hal biasa. Bahkan, ketika Rektor UIN Jogja, Pak Al Makin, pernah bilang agar pelaku penendang sesajen di Gunung Semeru dimaafkan saja, mahasiswa UIN Jogja tidak kaget. Bukan karena setuju atau tidak, tapi karena paham bahwa setiap pemikiran, selama argumentatif, layak untuk didengar.
#3 Singa podium saat aksi
Kalau Jogja ada demo, besar kemungkinan komando lapangan datang dari mahasiswa UIN Jogja. Nggak heran, sejak muda mereka sudah terbiasa latihan orasi, debat terbuka hingga bakar ban di tengah jalan hehehe.
Dari dalam kampus sendiri, suara mereka sering menggema lebih lantang dari toa musala. Nggak cuma jago ngaji, mereka juga andal dalam menggalang massa, menyusun strategi aksi, dan jadi orator utama yang bikin semangat peserta demo meledak-ledak. Bukan perkara cari panggung, tapi karena memang punya kemampuan. Di forum-forum diskusi, mereka lihai menyampaikan gagasan. Di jalanan, mereka tetap fasih bicara kebenaran—meski harus berhadapan dengan aparat. Kalau mau cari singa podium Jogja, ya cari saja anak UIN.
Tulisan ini bukan bermaksud mengotak-ngotakkan mahasiswa. Kuliah di UIN Jogja bukan soal jadi paling alim atau paling liberal, tapi soal belajar jadi manusia yang berpikir, bertanya, dan berani berbeda. Di kampus ini, kami diajarkan bahwa agama bukan sekadar hafalan, tapi laku hidup yang terus bergumul dengan realitas.
Kami terbiasa saling berbeda tanpa saling mencela. Terbiasa berdiskusi tanpa saling menggurui. Dan yang paling penting, terbiasa berpikir tanpa takut dibilang sesat. Karena bagi kami, iman yang sehat justru lahir dari pikiran yang bebas. Saya yakin, dinamika semacam ini sulit ditemukan di perguruan tinggi Islam lain.
Penulis: M. Afiqul Adib
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Jogja Makin Bebas, Mahasiswa Baru Muslim Lebih Baik Tinggal di Pondok daripada Ngekos
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
