Akhir-akhir ini, santer terdengar berita mengenai Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI tahun 2019—sosok yang memplesetkan istilah Dewan Perwakilan Rakyat menjadi Dewan “Pengkhianat” Rakyat—yang terjun ke dunia politik dengan bergabung ke Partai Perindo. Berita ini heboh di medsos. Ada yang mendukung, banyak juga yang mengecam, sampai-sampai blio dibilang menelan ludah sendiri.
Banyak orang yang kaget dengan keputusan blio. Kalau saya sih pura-pura kaget aja, edan po. Pola semacam ini sudah bisa saya prediksi. Melihat pendahulu-pendahulu blio, yang juga sering mengecam politisi dan pemerintah, sekarang ada yang menjadi staf khusus, staf ahli, anggota legislatif, komisaris BUMN, dan sebagainya.
Bahkan, sudah dari era angkatan ‘66, ‘74, ‘98, dan lainnya, kelompok mahasiswa Indonesia yang menentang penguasa yang sistemnya sering dicap buruk dan bobrok, pada akhirnya banyak di antara mereka yang juga terjun ke sistem dan mencoba mengubahnya dari dalam.
Ibarat lingkaran setan, pola semacam ini selalu berulang: mahasiswa mendemo, lalu masuk ke dalam sistem, dan akhirnya mereka didemo oleh generasi berikutnya. Pola semacam ini sudah menjadi budaya, yang terus dilestarikan dan dilanggengkan, demi satu tujuan: mengubah sistem dari dalam demi kepentingan rakyat (katanya).
Daftar Isi
Kampus sebagai miniatur negara
Banyak orang yang bilang kalau kampus merupakan miniatur negara. Struktur yang ada di kampus juga hampir sama dengan struktur yang ada di pemerintahan Indonesia. Kita mengenal yang namanya trias politika ala Montesquieu, yakni pemisahan kekuasaan yang terdiri dari legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Di Indonesia kita tahu ada ketiga lembaga tersebut. Secara umum, lembaga-lembaga tersebut juga ada dan melekat dalam organisasi kemahasiswaan. Di lembaga legislatif ada Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), di lembaga eksekutif ada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), dan di beberapa kampus ada lembaga yudikatif bernama Mahkamah Mahasiswa (MM).
Kemudian, di sejumlah kampus di Indonesia juga terdapat partai kampus, yang merupakan kendaraan politik mahasiswa untuk meraih jabatan kekuasaan pada organisasi kemahasiswaan. Adanya partai kampus semacam ini tentu sama halnya dengan partai politik di Indonesia. Tujuan utamanya sama-sama ingin meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Selain itu, dinamika yang terjadi pada politik kampus juga merupakan cerminan dari politik nasional, meskipun skalanya berbeda. Misalnya, ada black campaign, buzzer, dan sebagainya, ketika menjelang pemilihan umum raya (pemira). Hal semacam ini juga terjadi ketika menjelang pemilihan umum (pemilu).
Banyak di kalangan mahasiswa yang doyan main negara-negaraan, suatu istilah kegiatan mahasiswa yang merujuk pada politik kampus yang merupakan miniatur politik Indonesia. Tak heran jika kita melihat tingkah laku sejumlah mahasiswa yang tidak jauh berbeda dengan politisi atau pejabat negara: gila jabatan, sikut-menyikut, tindakan amoral, dan sebagainya.
Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa
Mahasiswa sering dicap sebagai katalis perubahan, agen penerus bangsa. Bahkan, setiap nafas yang diembuskan mahasiswa dianggap membawa angin segar bagi kemajuan peradaban bangsa dan negara.
Kita juga mengetahui adanya peran mahasiswa, yakni agent of change, guardian of value, iron stock, moral force, dan social control. Implementasi peran ini yang diharapkan mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Sebagai kaum muda, idealisme merupakan senjata yang dimiliki mahasiswa untuk berperang melawan perkembangan dan perubahan zaman. Dengan terjun ke dunia politik, mahasiswa yang sudah lulus dari bangku kuliah, diharapkan mampu mengimplementasikan ilmu-ilmu yang sudah didapatkan selama pembelajaran.
Mahasiswa yang mencoba menyelam ke dalam sistem perlu didukung. Jika mereka salah bisa dikritisi sebagaimana mereka mengkritisi politisi dan pejabat negara kala itu. Perlu diapresiasi memang pemuda yang berani terjun menerjang gelombang besar untuk berusaha memperbaiki dari dalam.
Akhirnya akan bertemu dengan politisi yang mereka pernah kecam
Mau tidak mau, suka tidak suka, nantinya jika mahasiswa sudah terjun ke dalam politik praktis, ada kemungkinan atau peluang terjadi kerja sama politik. Dengan orang-orang yang dulu didemo, dikritik, dan dicap sebagai pengkhianat, perusak sistem, koruptor, dan sebagainya.
Hal ini menjadi dilema memang. Seperti apa yang dibilang Pandji Pragiwaksono, blio mengibaratkan politik sebagai tangki septik yang isinya (maaf) tahi semua, sehingga para politisi diibaratkan kayak tahi. Orang yang ingin membersihkan tangki septik dari tahi itu nggak bisa, dan malah terkontaminasi tahi.
Begitulah analogi yang dipakai untuk menggambarkan betapa buruknya sistem politik di Indonesia. Bahkan, Mahfud MD, dalam konteks pilkada saat itu, pernah bilang kalau malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia bisa jadi iblis. Itulah saking geramnya Mahfud MD dengan sistem di Indonesia yang dipenuhi tindakan amoral.
Dari situ, kita bisa melihat sistem politik di Indonesia yang bobrok. Pada faktanya banyak elite dan pejabat politik yang melakukan perilaku tercela. Sehingga ini jadi tantangan bagi mahasiswa yang ingin terjun ke dunia politik untuk memperjuangkan idealismenya dan mengubah sistem dari dalam. Agaknya cuma ada dua pilihan: berhasil mengubah sistem atau diubah oleh sistem. Biar waktu yang menjawabnya.
Mahasiswa merupakan politisi yang tertunda
Manusia punya dua kaki, saya menganggap bahwa sebelah kaki para mahasiswa sudah menapak terlebih dulu di dunia politik. Persoalan mengenai kaki yang sebelahnya mau mereka taruh atau tidak, itu urusan belakangan.
Pada hakikatnya, hak berpolitik untuk memilih dan dipilih dipunyai oleh semua warga negara (syarat dan ketentuan berlaku), termasuk mahasiswa. Karena sudah dijamin oleh konstitusi, undang-undang, bahkan kovenan internasional. Sehingga, sah-sah saja mengatakan mahasiswa sebagai calon nakhoda negeri ini.
Suka tidak suka, dianggap atau tidak dianggap, mahasiswa merupakan politisi yang tertunda. Entah nantinya mau jadi politisi sungguhan entah tidak, yang penting mereka pernah menyandang titel calon politisi.
Menjadi politisi dengan tujuan ingin mengubah sistem dari dalam adalah pilihan. Cuma kalau nantinya ketika terjun ke dalam sistem, dan malah menikmati kebobrokan sistem atau bahkan merusak sistem, maka mereka harus menanggung konsekuensi dari apa yang diperbuat. Dentuman kritikan dan pemberontakan bisa terjadi sebagaimana yang dulu mereka lakukan dengan idealismenya.
Adanya fenomena semacam ini, lagi dan lagi yang terkena dampaknya adalah rakyat. Rakyat sering kali dijadikan sebagai objek penderitaan oleh kepentingan mereka, baik para mahasiswa maupun pejabat negara. Miris sekali apabila penderitaan rakyat hanya dijadikan sebagai portofolio karier para (aktivis) mahasiswa.
Something good? Something bad?
Perlu dicatat, pada hakikatnya, politik adalah suci, dan sang nakhoda (politis) yang menggerakan ke arah mana politik akan berlabuh, entah di pelabuhan baik entah di pelabuhan buruk, kita juga patut sadari bahwa para pendiri bangsa ini sebagian besarnya adalah politisi: Sukarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, dan yang lainnya.
Para mahasiswa yang nantinya akan terjun ke dunia politik mesti berkiblat kepada para pendiri bangsa kita yang memperjuangkan persatuan dan kejayaan demi kemerdekaan. Betapa hebatnya Indonesia suatu negeri yang didirikan oleh para pencinta buku yang melawan: melawan kebodohan, ketidakadilan, dan kemunafikan.
Setidaknya para (aktivis) mahasiswa pernah punya ideologi dan idealisme. Kalaupun nantinya ideologi dan idealisme mereka runtuh karena terbentur urusan perut, sejarah akan mencatat tindakan mereka, dan sudah banyak tercatat dalam sejarah makhluk yang demikian. Selamat beridealis-idealis dahulu, beroportunis dan pragmatis kemudian, Bung dan Nona, Tuan dan Puan.
Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pemira Online: Kontestasi Politik Mahasiswa yang Ngauzubillah Ribet