Saat tulisan ini ditulis, sedang terjadi demonstrasi mahasiswa di depan salah satu kampus negeri di Surabaya. Sebetulnya sangat disayangkan, mengingat perkembangan kasus Covid-19 khususnya di Surabaya masih terus meningkat.
Terhitung sampai tulisan ini ditulis, sebaran kasus positif Covid-19 di Surabaya mencapai angka 6.573 kasus. Dari 6.573 kasus itu terbagi menjadi 2962 orang dalam perawatan, 3071 sembuh, dan 540 pasien meninggal dunia.
Selain itu, beberapa waktu yang lalu Kepala BNPB Doni Monardo mengungkapkan bahwa aksi unjuk rasa di tengah pandemi virus Corona itu melanggar undang-undang.
Bahkan sebelum demonstrasi berlangsung, beberapa mahasiswa sempat berkumpul di depan kampus. Ditambah lagi tersiar kabar bahwa demonstrasi yang dilakukan oleh segelintir Mahasiswa itu sampai menutup akses jalan raya di depan kampus.
Hal itu tentu saja justru malah meresahkan masyarakat, ditambah lagi juga rentan terpapar Covid-19. Selain itu, apa yang mereka lakukan bisa dikatakan tidak peka terhadap penderitaan bangsa yang saat ini fokus menangani pandemi.
Aksi yang dilakukan mahasiswa di depan kampus itu mengajukan beberapa tuntutan di antaranya kampus wajib menerima pengajuan mahasiswa yang meminta pemotongan UKT, transparansi dana kampus, dan menetapkan SOP perkuliahan semester gasal yang efektif dan efisien.
Bisa jadi benar kampus telah gagal menyejahterakan seluruh mahasiswa. Namun, menurut saya turun ke jalan adalah jalur terakhir yang ditempuh, setelah jalur-jalur lain seperti negosiasi gagal menemui titik terang.
Saya mengapresiasi kepedulian mereka atas teman-temannya yang kesulitan bayar uang kuliah di masa pandemi ini. Namun, di sisi lain saya menyayangkan adanya demonstrasi yang semestinya belum perlu dilakukan di masa pandemi.
Di masa pandemi ini alangkah baiknya para mahasiswa itu melakukan aksi bantuan sosial kepada masyarakat yang membutuhkan, mengedukasi masyarakat yang hanya menggantungkan masker di lehernya, dan memberikan pemahaman kepada masyarakat yang nekat berkumpul tanpa mengindahkan protokol kesehatan.
Padahal, di masa pandemi saat ini banyak sekali alternatif lain untuk membantu teman-teman mahasiswa yang kesulitan bayar uang kuliah. Misalnya membangun usaha kolektif atau membuat produk lokal yang nanti hasilnya disumbangkan kepada mahasiswa yang membutuhkan.
Menjadi agen perubahan dan kontrol sosial masyarakat, tidak harus selalu turun ke jalan. Pasti ada banyak alternatif lain yang bisa dilakukan. Apalagi yang dihadapi adalah birokrasi perguruan tinggi.
Mahasiswa dan pihak birokrat kampus dengan kemampuan akademis yang baik, sudah semestinya menampilkan cara-cara bijaksana dalam menyelesaikan persoalan. Bukan malah menimbulkan kemacetan dan menghambat aktivitas masyarakat.
Memang benar, aksi massa seperti demonstrasi turun ke jalan yang dilakukan oleh mahasiswa untuk menyampaikan aspirasi sudah diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Namun, demonstrasi dengan turun ke jalan saat ini tentu tidak tepat. Selain rentan terpapar virus Corona, aksi turun ke jalan juga rentan terjadi gesekan fisik, ancaman keamanan, dan bahkan kekerasan yang berakibat fatal.
Sehingga alangkah baiknya para mahasiswa itu menahan diri untuk tidak demonstrasi yang melibatkan banyak orang. Di era digital seperti sekarang ini mereka tentu saja bisa memanfaatkan media sosial.
Seperti aksi yang dilakukan oleh mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung dengan tagar #GunungDjatiMenggugat dan oleh mahasiswa UIN Walisongo Semarang dengan tagar #uinwalisongomelawan.
Menurut saya, aksi massa yang dilakukan secara virtual oleh mahasiswa di kedua kampus tersebut akan lebih mudah sampai di telinga para pemangku kebijakan kampus. Dan bahkan bukan tidak mungkin kementrian dan lembaga terkait juga ikut mengawal tuntutan para mahasiswa.
Dengan seruan melalui virtual tentu para mahasiswa akan sedikit aman dari tindakan represif aparat dan juga meminimalisir dampak yang merugikan aktivitas masyarakat. Selain itu, waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan pun tidak banyak.
Demonstrasi dengan turun ke jalan itu sebenarnya sah-sah saja, dan bahkan dilindungi oleh undang-undang. Namun, pada saat kondisi pandemi seperti sekarang ini rasanya kurang etis untuk mengumpulkan massa dan berkerumun.
Karena itu, sebagai insan berpendidikan sudah selayaknya kalian menjadi kritis. Namun, kalian juga perlu mempertimbangkan situasi, kondisi, dan dampak yang disebabkan oleh tindakan sosial itu. Meluapkan kekecewaan itu boleh, tapi jangan sampai anarkis dan meresahkan masyarakat.
BACA JUGA Surat Terbuka Untuk Dosen Pembimbing dan tulisan A. Fikri Amiruddin Ihsani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.