Menjadi seorang mahasiswa rantau tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak kesulitan yang dihadapi bahkan sejak pertama kali menginjakkan kaki di daerah orang, entah soal makanan yang berbeda di rasa, susah mendapatkan teman, hingga homesick karena rindu keluarga.
Menurut saya sebagai mahasiswa rantau di Makassar, kesulitan yang paling berat dihadapi adalah dari segi bahasa. Saya yang merupakan keturunan Sunda dan lama belajar di Jawa terpatah-patah ketika harus menyesuaikan lidah yang kelu ini mencoba berbahasa Bugis-Makassar.
Bukan, bukan tanpa sebab saya ingin belajar bahasa daerah Makassar. Ada banyak alasan mengapa saya harus bisa berbahasa Makassar, meskipun hanya bisa memahami inti percakapan tanpa tahu satu per satu arti kata.
Alasan pertama pastinya agar saya bisa mendapatkan teman. Ya walaupun teman-teman kampus menggunakan bahasa Indonesia ketika berbicara dengan saya, mereka tetap berbahasa daerah dengan teman yang lain saat di tongkrongan. Yang tragis karena tidak mengerti bahasa mereka, saya beberapa kali diisengin untuk berbicara kata-kata yang kemudian hari saya tahu itu adalah kata kasar dan jorok. Hadeh.
Kemudian alasan kedua adalah supaya ada bahasa lain yang saya kuasai dan mungkin bisa dipamerkan di akun linkedin. Eh nggak deh, sebenernya biar bisa nawar penjual di pasar dan dapat harga murah hehehe.
Tapi kenyataannya setelah sekian tahun mencoba belajar dan mempraktikkannya, membuat saya menyadari mengapa mahasiswa rantau itu nggak perlu-perlu amat belajar bahasa daerah. Berikut beberapa alasannya:
Bahasa daerah sulit dipelajari
Jujur saja mempelajari bahasa baru itu susah-susah gampang. Indonesia sendiri terdiri dari berbagai suku, ras, dan sekitar tujuh ratus delapan belas bahasa daerah. Belajar satu bahasa saja sulit, apalagi ditambah dua, tiga, atau empat bahasa daerah baru.
Menurut Sensus Penduduk dari BPS tahun 2010, sebanyak 79,5 persen saja penduduk Indonesia berusia di atas 5 tahun yang fasih berbahasa daerah dalam kehidupan sehari-harinya. 20,5 persen sisanya? Ya mereka yang hanya mampu berbahasa Indonesia.
Secara teori, ada premis mengapa populasi 20,5 persen tersebut tidak bisa berbahasa daerah. Salah satunya karena terjadinya amalgamasi atau pernikahan campuran antaretnis, atau ras yang berbeda. Saya adalah bukti konkretnya. Bapak berasal dari suku Sunda yang menikah dengan Ibu saya yang orang Makassar. Sewaktu kecil, baik bapak maupun ibu tidak mengajarkan saya dengan bahasa daerahnya masing-masing. Sehingga ketika saya dewasa seperti saat ini mengalami kesulitan ketika belajar bahasa daerah yang baru didengar.
Selain itu faktor peraturan dalam bahasa itu sendiri yang membuat susah untuk dipelajari. Penggunaan kata tertentu untuk bahasa kasar dan halus, kata imbuhan, huruf yang diganti pada kata khusus, pelafalan kata yang sulit, belum lagi ada kata yang lain di mulut lain juga yang dimaksud. Ribet.
Logat pun, bikin belajar bahasa daerah makin sulit.
Logat jadi masalah besar
Logat yang berbeda
Nah alasan kedua kenapa anak rantau itu nggak perlu-perlu amat berbahasa daerah ya karena masalah logat yang berbeda dengan warga lokal. Kita bisa menebak seseorang berasal dari Jawa karena logatnya yang medok, begitu pula dengan logat orang Batak, Padang, dan lainnya.
Karena logat yang berbeda inilah yang membuat saya tetap mempertahankan bahasa Indonesia ketika berbicara. Sudah sering saya mencoba bicara dengan logat asli orang Makassar, yang ujung-ujungnya ditertawakan. Teman-teman justru bilang logat saya yang berasal dari Sunda ini nggak cocok dengan logat daerah mereka. Lho Jang Hansol yang orang Korea saja bisa medok bicaranya kenapa saya nggak bisa? Mungkin jawabannya memang lidah saya saja yang terlalu kaku.
Bahasa Indonesia bukan bahasa orang kota
Terakhir, alasan mahasiswa rantau itu nggak perlu-perlu amat belajar bahasa daerah ya karena bangsa kita mempunyai bahasa Indonesia. Bahasa pemersatu dari sekian bahasa daerah yang ada di Indonesia.
Ini bukan berarti nggak bangga dan nggak mau belajar bahasa daerah lho ya. Nggak gitu maksudnya malihhh. Saya menyadari dan meyakini dengan pengalaman tinggal di tanah rantauan bahwa belajar bahasa daerah itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar, lidahku dengan lidah warga lokal pun berbeda, jadi tidak bisa langsung bicara bahasa daerah sesuai logat aslinya. Butuh masa bahkan sekian tahun untuk melatih diri lancar berbahasa.
Lagian anggapan bahasa Indonesia itu bahasa orang kota sungguh tidak benar adanya. Wong zaman sekarang sekolah bukan lagi untuk bangsawan saja, kita sudah seharusnya belajar dan menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Kan sejak SD bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran wajib di sekolah.
Jadi setuju nggak sih mahasiswa rantau itu nggak perlu-perlu amat belajar bahasa daerah?
Penulis: Raden Fathria Dian Ahmad
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Kata Kotor dalam Bahasa Daerah: Berbeda Kosakata, Artinya Sama Jua