Mahasiswa Pascasarjana: Kuliah Santai, tapi Otak Serasa Dibantai

Mahasiswa Pascasarjana: Kuliah Santai, tapi Otak Serasa Dibantai

Mahasiswa Pascasarjana: Kuliah Santai, tapi Otak Serasa Dibantai (Unsplash.com)

Entah apa yang ada di pikiran saya waktu itu ketika memutuskan untuk melanjutkan studi di program pascasarjana. Niat awalnya sih sekadar mencari suasana baru, menambah ilmu, memperluas wawasan, dan mendapatkan pengalaman baru. Saya pikir, dengan menyandang status mahasiswa pascasarjana, hidup akan menjadi lebih berwarna, menyenangkan, bisa hangout ke sana-sini, atau haha-hihi di kantin kampus sebagaimana halnya mahasiswa sarjana. Oh ternyata, buat mahasiswa program pascasarjana, kuliah tidak sesederhana itu.

Kesibukan mahasiswa pascasarjana ternyata di luar ekspektasi dan cukup membuat saya mengalami culture shock. Meski jadwal perkuliahan tidak sepadat mahasiswa program sarjana, ada begitu banyak perbedaan dalam berbagai hal. Perbedaannya meliputi metode perkuliahan, tugas, ujian semester, hingga penyusunan tugas akhir yang cukup menguras darah, keringat, dan air mata. Aih.

Mahasiswa pascasarjana harus terbiasa belajar mandiri

Mahasiswa pascasarjana harus terbiasa dengan belajar mandiri, tidak melulu disuapi oleh dosen sebagaimana halnya mahasiswa program sarjana. Makanya jangan heran kalau dosen itu hanya memberikan pengantar, mengarahkan, serta memberikan referensi terkait dengan materi perkuliahan.

Ada juga sih beberapa dosen yang mengajar dan menyampaikan materi perkuliahan di dalam kelas, namun hanya sebatas gambaran umum saja. Sisanya ya itu tadi, mahasiswa belajar mandiri melalui buku-buku, seminar, jurnal, dan referensi lainnya. Kalau kamu tipe-tipe mahasiswa yang malas untuk belajar, kayaknya bakal pontang-panting deh untuk mengikuti perkuliahan.

Tugas yang banyak dengan effort yang besar

Selain harus terbiasa dengan belajar mandiri, mahasiswa pascasarjana juga punya tugas yang seabrek-abrek. Contoh tugas yang biasa diberikan dosen adalah membuat review beberapa jurnal internasional berbahasa Inggris, menyusun resume dari suatu kegiatan seminar dengan topik tertentu, melakukan mini research terhadap suatu fenomena dan menuliskannya ke dalam bentuk artikel ilmiah.

Tugas-tugas seperti itu kan tidak bisa diselesaikan dalam waktu sehari dua hari, tapi bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Jelas, butuh effort yang besar untuk bisa menyelesaikan tugas-tugas tadi.

Baca halaman selanjutnya: Diskusi dan presentasi jadi makanan sehari-hari…

Mahasiswa pascasarjana harus terbiasa dengan diskusi dan presentasi

Diskusi dan presentasi sudah menjadi makanan sehari-hari buat mahasiswa pascasarjana. Bahkan boleh dibilang, perkuliahan di dalam kelas itu lebih banyak diskusi dan presentasinya ketimbang dosen menyampaikan materi perkuliahan. Mau kuliahnya daring atau luring, tetap saja selalu ada sesi diskusi dan presentasi.

Satu hal yang cukup menguras mental biasanya sesi tanya jawab ketika presentasi selesai. Mahasiswa yang presentasi tadi harus siap diberondong pertanyaan kritis dari sesama rekan mahasiswa yang lain dan juga dosennya terkait dengan topik yang dipresentasikan. Ngeriii.

Ujian semester dalam bentuk paper, makalah, atau artikel ilmiah

Ujian semester yang diberikan kepada mahasiswa program pascasarjana—baik itu Ujian Tengah Semester (UTS) atau ujian Akhir Semester (UAS)—biasanya berbentuk tulisan paper, makalah, atau artikel ilmiah. Nantinya, paper atau makalah itulah yang dipresentasikan oleh setiap mahasiswa di depan kelas. Sedangkan kalau artikel ilmiah itu wajib disubmit di jurnal tertentu.

Makanya rentang waktu pengerjaan UTS atau UAS itu cukup lama, yaitu antara dua minggu sampai satu bulan. Pokoknya sangat jarang dosen yang memberikan soal ujian tertulis untuk penilaian UTS atau UAS tersebut, apalagi kalau tipe soalnya multiple choice.

Riset tugas akhir yang harus lebih kompleks

Karena menyandang status mahasiswa program pascasarjana, maka riset tugas akhir pun tidak boleh yang biasa-biasa saja. Risetnya harus lebih dalam, detail, dan kompleks. Kalau kamu melakukan riset yang receh, riset dengan metode deskriptif misalnya, siap-siap saja dikomentari ini-itu oleh dosen dan dibanding-bandingkan dengan mahasiswa program sarjana. Pokoknya mahasiswa pascasarjana mikirnya harus lebih keras dan analisisnya harus lebih dalam.

Nah, itulah kesan pertama saya ketika menjadi mahasiswa program pascasarjana. Hal ini makin menguatkan keyakinan saya bahwa menjadi mahasiswa itu—khususnya mahasiswa pascasarjana—tidaklah mudah. Udah masuknya susah, keluarnya susah, bayarnya mahal pula. Hadeh.

Penulis: Andri Saleh
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA 5 Alasan IPK Mahasiswa Pascasarjana Itu Seringnya Tinggi Banget.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version