Mahasiswa magang kerja ke luar negeri mengejar gengsi, bukan pengalamannya.
Beberapa waktu lalu saya mendapat kiriman lewat WhatsApp (WA) dari salah seorang kawan. Teman saya ini memang senang berdiskusi perihal dunia pendidikan dengan saya. Sebagai seorang mahasiswa PGSD yang kelak bergelut di dunia pendidikan, kami memang kerap saling bertukar informasi.
Dia mengirimkan berita tentang indikasi perdagangan orang berkedok magang di Jerman. Modus yang digunakan oleh pelaku, program magang di Jerman itu merupakan bagian dari MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka). Mahasiswa yang mengikuti program ini diiming-imingi mendapat pengakuan sejumlah 20 SKS. Selain itu, mahasiswa juga diiming-imingi gaji puluhan juta.
Kenyataannya jauh dari apa yang dijanjikan. Di Jerman tenaga mereka justru dieksploitasi. Gaji yang mahasiswa dapatkan tidak seperti apa yang disosialisasikan. Kasus ini membuat saya heran tingkat akut. Apalagi terdapat 33 kampus yang kebobolan program magang bodong ini.
Membaca tulisan itu saya hanya bisa terheran-heran. Bagaimana mungkin modus seperti ini bisa menimbulkan begitu banyak korban. Apakah magang di luar negeri memang sebegitu menyilaukan sehingga orang-orang tergiur?
Daftar Isi
Magang luar negeri hanya “memberi makan” gengsi
Menurut saya, kasus ini mahasiswa magang di Jerman ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita. Jangan-jangan kita memiliki gengsi yang tinggi. Kita terlalu mendewa-dewakan bahwa kalau sudah ke luar negeri itu sudah pasti wah. Kita memiliki pandangan bahwa luar negeri itu sudah pasti lebih bagus.
Bobolnya 33 kampus yang memberi ruang untuk program ini adalah salah satu tanda bahwa gengsi luar negeri ini memang ada. Biar kiprahnya terlihat go internasional, program magang seperti ini diberi ruang begitu saja tanpa ditinjau secara mendalam. Padahal, seharusnya, magang lintas negara seperti ini ada regulasi yang jelas dan sangat ketat.
Pihak kementerian saya rasa juga perlu meninjau ulang kebijakannya mengenai MBKM terlebih mengenai regulasinya. Harus lebih jelas untuk program magang itu kriterianya yang bagaimana. Paling penting, perketat dalam melakukan verifikasi pihak ketiga. Hal ini untuk mencegah oknum-oknum program magang bodong seperti ini yang menyalahgunakan program MBKM
Mahasiswa magang kerja itu bagus, tapi…
Magang kerja memang bagus untuk mahasiswa. Melalui magang, mahasiswa berkesempatan menerapkan pengetahuan yang didapatkannya di kampus. Selain itu, magang bisa menjadi sarana menambah relasi di kampus.
Itu semua idealnya ya. Kenyataannya masih jauh dari kata ideal. Hal ini terutama ketika tidak ada monitoring yang ketat. Misalnya tentang besaran uang saku atau pekerjaan yang dilakukan. Bayangkan saja ekspektasinya tambah skill dan pengalaman eh ternyata pas magang cuma nganggur, membuat kopi, dan nggak tahu mau ngerjain apa. Kalau sudah begitu, menambah pengalaman apanya?
Mahasiswa magang perlu lebih selektif
Selain itu, permasalahan magang juga ada pada mahasiswanya sendiri. Orientasi mahasiswa kadang salah arah. Hal ini terjadi pada mereka yang ikut magang cuma agar bisa nambah slot pengalaman di CV. Kalau nggak untuk memenuhi CV, banyak mahasiswa ikut magang hanya demi mendapat sertifikat. Mahasiswa yang semacam ini pada akhirnya nggak benar-benar peduli pelaksanaan magang benar-benar bisa menambah keahlian atau tidak.
Pemilihan program magang untuk mahasiswa ini memang harus selektif. Diperlukan pemahaman mendalam mengenai kebutuhan mahasiswa, dunia industri, perencanaan yang relevan, juga regulasi dan monitoring yang ketat pada pelaksanaannya. Hal ini supaya program magang benar-benar menjadi sarana mendapatkan keahlian tambahan bagi mahasiswa.
Mau dibawa ke mana arah pendidikan kita?
Masifnya magang kerja bagi mahasiswa terlebih setelah ada kasus perdagangan orang ini seharusnya bisa menjadi bahan refleksi bersama. Mau dibawa ke mana sih arah pendidikan kita sebenarnya? Apa pendidikan kita cuma mengikuti mekanisme pasar untuk mencetak tenaga siap pakai? Atau pendidikan kita memiliki tujuan mulia untuk menjadikan manusia seutuhnya?
Sudah semestinya kita selalu kritis terhadap hal apa pun apalagi menyangkut dunia pendidikan. Jangan sampai pendidikan itu justru dikelola dengan mekanisme pasar atau bisnis. Kalau pendidikan dijadikan bisnis, ya alamat sudah kehancuran sebuah bangsa itu dimulai.
Oleh karena itu, mari kita kembalikan makna pendidikan yang seutuhnya. Pendidikan jangan hanya dimaknai sebagai persiapan masuk dunia kerja. Pendidikan haruslah memerdekakan dan memenuhi hak asasi manusia, bukan malah menjadi sebuah komoditas yang diperjualbelikan.
Penulis: Femas Anggit Wahyu Nugroho
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Ironi Fresh Graduate Saat Lebaran: Gaji Masih di Bawah UMR, tapi Sudah Tidak Kebagian THR
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.