Kemarin, saya baru membaca tulisan dan Bung Akbar Mawlana. Tulisannya menyajikan judul yang cukup menyentak, yaitu Madura Tidak Butuh Kereta Api!. Karena ketegasan judulnya, maka saya coba baca untuk menelusuri alasan-alasannya. Selepas membaca, saya justru kecewa, ternyata alasannya penuh dengan kesimpulan-kesimpulan yang dangkal.
Intinya, ada tiga faktor mengapa Madura dirasa tidak butuh kereta api. Pertama, karena setiap orang Madura nggak mesti akan naik kereta api. Kedua, butuh dana super besar. Ketiga, kekhawatiran atas pedagang asongan. Tentu saja ini alasan yang cukup mengecewakan bagi saya.
Dalam kesempatan ini, selain menyanggah, saya akan tunjukkan bahwa adanya kereta api, justru lebih baik untuk Madura.
Daftar Isi
Belum tentu naik kereta api bukan berarti tidak butuh
Anggapan tidak butuh kereta api dengan alasan karena orang-orangnya “nggak mesti” mau naik kereta adalah anggapan yang terburu-buru. Bukankah memang dalam hidup dan setiap kebijakan umum selalu terselip ketidakpastian. Awal kereta hadir sebagai moda transportasi umum juga tidak serta merta orang mau menaikinya. Selalu ada proses pengenalan dan penyesuaian, sehingga terjadi kebiasaan.
Dengan kata lain, orang Madura justru sangat mungkin akan terus menggunakan kereta api dalam proses mobilitasnya di internal pulau Madura.
Argumen lain dalam tulisan bung Akbar juga menjelaskan bahwa masyarakat Madura lebih nyaman menggunakan transportasi pribadi. Nah, justru itu malah perlu dibuat kereta agar muncul fasilitas yang mendorong budaya bepergian menggunakan transportasi umum.
Bukankah persoalan yang berusaha dipecahkan adalah tentang kemacetan yang diakibatkan banyaknya orang yang menggunakan transportasi pribadi? Salah satu solusi jelasnya adalah dengan beralih ke transportasi umum, salah satunya kereta api. Lalu, bagaimana mungkin bisa beralih ke transportasi umum, kalau alternatif transportasinya saja ditolak?
Bangkalan ke Surabaya deket, ke wilayah Madura yang lain?
Selain itu, di tulisan itu juga dijelaskan bahwa orang Madura lebih senang bepergian ke Surabaya. Bagi saya, sebagai orang Bangkalan yang memang wilayah kabupaten paling dekat Surabaya, argumen itu saya validasi benar. Tapi, belum lengkap dengan alasannya.
ika saya ditanya, kenapa saya lebih sering ke Surabaya daripada ke Pamekasan atau Sumenep. Jawabannya jelasnya adalah karena jarak tempuh ke Surabaya lebih dekat dengan waktu tempuh yang cenderung singkat. Saya dari Bangkalan ke Surabaya hanya membutuhkan waktu 30-60 menit. Sedangkan untuk ke belahan Kabupaten Madura lainnya perlu waktu paling tidak 2-5 jam. Lamanya waktu di jalan ini yang bikin males bepergian ke sesama Madura.
Alhasil, saya sebagai orang Bangkalan justru lebih akrab dengan Surabaya dan Jawa daripada dengan Maduranya sendiri. Indikasinya jelas, saya dan sebagian besar masyarakat Bangkalan sepertinya lebih akrab dengan bahasa Jawa Surabayaan daripada bahasa Madura dari Sumenep. Bukankah ini agak aneh?
Lalu, bagaimana agar keanehan itu bisa dihentikan. Jawabannya ya menghadirkan transporatasi yang nyaman dan memangkas waktu perjalanan. Apa? Ya kereta api. Maka dari sini, semakin tampak kerapuhan argumen yang menganggap bahwa Madura nggak butuh kereta api. Justru Madura paling butuh kereta api. Bukan sekadar untuk gaya-gayaan dan mengurai macet, tapi juga penting untuk menghasilkan keakraban sosial antarmasyarakat Madura.
Sejujurnya, sebagai orang Madura asli, saya ingin mengeksplor dan lebih akrab dengan masyarakat Madura, baik Madura ujung Timur sampai yang paling Barat. Tapi, akses jalan yang begitu jauh dan memakan waktu sering bikin saya mager. Maka, hadirnya kereta api saya pikir akan membantu keakraban antar masyarakat Madura bisa terjalin lebih baik, karena jarak tempuh yang bisa dipangkas dengan kecepatan kereta.
Persaingan, kadang jadi jawaban
Argumen lain yang diajukan oleh Bung Akbar dalam tulisannya adalah bahwa adanya kereta api di Madura akan merugikan transportasi umum darat lainnya seperti bus. Bus akan mendapatkan banyak kerugian. Lagi-lagi saya pikir cara pandang ini juga terlalu negatif dan terburu-buru. Bukankah tujuan dari banyaknya transportasi umum adalah mengurai kemacetan, sehingga jalanan lebih lenggang dan perjalanan masyarakat menjadi lancar?
Faktanya hari ini kan banyaknya kecelakaan bus terjadi karena bus harus kejar banyak setoran sedangkan jalanan padat. Tidak heran jika di jalanan banyak “bus ngawur” yang akhirnya memunculkan kecelakaan maut.
Dengan bertambahnya transportasi umum seperti kereta api, akan membuat bus bisa berbenah secara manajemen, pelayanan, dan kecepatan dalam menjalankan perannya. Sehingga, bus bisa sama-sama melayani mobilitas masyarakat. Perlu diingat, bahwa transporasi umum dibuat tidak hanya untuk akumulasi profit yang berlebih. Melainkan juga untuk kesejahteraan umum yang lebih besar. Saya harap Bung Akbar tidak mengerdilkan cita-cita besar itu.
Mending keluar dana gede buat kereta api ketimbang dikorupsi
Argumen terakhir dari Bung Akbar adalah argumen yang paling umum, yaitu masalah dana. Setiap ada rencana pembangunan baru, bantahannya pasi klise soal dana. Dalam kasus kereta api ini, saya merasa fine-fine saja jika dana rakyat dialokasikan untuk hasil yang jelas-jelas bisa bermanfaat untuk kelancaran mobilitas sosial.
Selain itu, kelancaran itu akan mampu menghasilkan keakraban sosial yang sifatnya positif. Artinya, bukan hanya menghasilkan bangunan fisik yang progresif, tapi juga akan menciptakan budaya dan keakraban sosial yang lebih baik antar masyarakat Maduranya.
Lalu, bagaimana jika nantinya proyek itu dijadikan ladang korupsi? Saya pikir itu urusan lain. Sudah tidak lagi menyangkut urgensi kereta api di Madura, tapi itu sudah urusan moral dari niat baik pejabat di awal. Tapi sesekali, dari niat baik yang hadir, saya pikir perlu memberi ruang pikiran optimis dan positif untuk tumbuh dengan harapan kemajuan peradaban bersama.
Penulis: Naufalul Ihya’ Ulumuddin
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Rahasia Orang Madura Sukses di Perantauan