Ibu saya sampai sekarang selalu berkeyakinan bahwa salah satu syarat seseorang bisa kaya adalah tidak punya kebiasaan mabuk kendaraan. Entah itu kendaraan laut, darat, atau udara. Keyakinan itu tidak didapat dari membaca artikel yang membahas korelasi antara mabuk kendaraan dan kekayaan. Sependek yang saya tahu memang tidak ada artikel semacam itu.
Ibu saya selalu bercermin dari dirinya sendiri. Beliau adalah pengidap mabuk kendaraan akut. Jika tidak dalam kondisi mendesak, mobil, bus, angkot, kapal, dan pesawat adalah kendaraan yang akan dihindarinya sebagai alat bepergian. Menurutnya, tanda-tanda awal orang menjadi kaya pastilah punya mobil. Sedangkan dia, andaikan sanggup beli mobil sendiri, menaikinya yang tidak sanggup.
Celakanya, kebiasaan mabuk kendaraan ini ternyata diturunkan secara genetik oleh ibu saya kepada saya. Bahkan level saya lebih akut dibanding ibu saya. Baru mencium bau kendaraan saja mualnya langsung terasa. Seumur hidup, hanya dua kendaraan yang tidak membuat saya mabuk, yaitu motor dan kereta api.
Melihat kondisi saya yang 11-12 dengan dirinya, ibu saya sering berseloroh bahwa nasib saya tidak akan jauh beda dengan ibu saya. ‘’Kamu gak punya bakat jadi orang kaya, udah paling bener jadi guru kayak ibu. Kerjanya di sekolah tok, kalaupun ada upacara 17an di kantor camat gak perlu pakai mobil’’
Saya dengan sigap menepis saran itu dan dengan yakin membantah. Namanya jadi kaya ya nggak ada hubungannya sama mabuk kendaraan. Lha bagaimana mungkin mabuk kendaraan ada sangkut pautnya dengan kekayaan. Saya tidak terima lah. Lha wong cita-cita saya jadi pebisnis sukses atau minimal manajer di korporasi terkenal.
Tapi setelah bertahun-tahun kenyang dengan selorohan ibu saya. Lama-lama saya merasa bahwa persepsinya bukan selorohan belaka dan ada benarnya juga. Bahkan cukup rasional jika ditelisik lebih jauh. Sepertinya orang yang dilahirkan dengan gangguan mabuk kendaraan akan sulit jadi kaya. Jangankan jadi kaya, mau kemana-mana aja susah kalau nggak pakai motor.
Saya jadi membayangkan jika suatu saat saya menjadi manajer atau direktur di sebuah perusahaan terkemuka. Itu berarti, saya harus melakukan perjalanan dinas ke luar kota atau bahkan ke luar negeri. Minimal saya harus naik mobil dan pesawat yang mana keduanya saya takuti.
Sebenarnya masyarakat modern sudah punya solusinya, yaitu dengan minum obat anti mabuk. Tapi masalahnya, solusi itu menghilangkan satu masalah dengan menyelipkan satu masalah baru, yaitu rasa ngantuk. Kalau tidak mau ngantuk, berarti harus menahan rasa mual sepanjang perjalanan. Bayangkan saya yang seorang petinggi perusahaan harus mengalami masalah dilematis tentang kendaraan padahal masih ada masalah pekerjaan yang menunggu.
Jika kepepet saya harus memilih salah satu opsi, dampaknya mungkin akan luar biasa. Misalkan saya memilih untuk tetap menaiki pesawat tanpa meminum obat anti mabuk, badan saya bisa dengan mudah masuk angin dan mual. Alhasil saya yang seorang petinggi perusahaan harus menggosok pusar saya dengan balsem dan sekertaris saya membantu dengan mengerok punggung untuk meredakan masuk angin saya.
Andai kemudian cara tersebut berhasil menghilangkan mabuk saya. Saya masih harus menemui delegasi perusahaan lain dengan badan bau balsem yang semriwing itu. Hal ini pastinya akan mengganggu citra perusahaan saya. Bagaimana bisa sebuah perusahaan mengirim delegasi beraroma balsem ke pertemuan elit di saat delegasi lain pakai parfum bermerk dari Paris.
Misal saya memilih opsi untuk minum obat anti mabuk, saya harus siap menghadapi efek kantuknya yang luar biasa hebat itu. Dari pengalaman saya selama ini, saya selalu tidur pulas setelah mengkonsumsi obat itu. Kalaupun terpaksa menahan kantuk, wajah saya jadi  terlihat seperti orang yang seharian minum tuak dan begadang semalaman menonton dangdut. Ah saya tidak bisa membayangkan harus menghadiri pertemuan dengan kondisi seperti mayat hidup itu.
Itu semua memang baru skenario saja. Tapi entah kenapa rasanya bisa benar-benar terjadi di kemudian hari. Saya jadi sering meratapi kondisi ini. Apakah saya akan benar-benar gagal jadi orang kaya hanya karena mabuk kendaraan. Saya jadi sering mencari-cari apakah ada orang kaya yang juga penderita mabuk kendaraan seperti saya. Jika ada maka ia akan saya jadikan panutan melebihi Bill Gates atau Jeff Bezos sekalipun.
Apakah saya jualan nasi kuning saja biar tidak usah kemana-mana pakai mobil atau pesawat. Tapi kalau nanti bisnis nasi kuning saya jadi berkembang pesat dan harus buka cabang di berbagai kota kan saya perlu naik mobil atau pesawat. Kalau saya nggak pergi, bisnis saya jalan di tempat. Ahh bedebah.
BACA JUGA Mempertanyakan Prinsip Syariah RSUD: Memangnya Nungguin Orang Sakit Bikin Kamu Horny? dan tulisan Reno Ismadi lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.