Saya lulus dari kuliah magister berkat jalur tirakat Bapak. Saya setuju-setuju saja.
Untuk ukuran orang desa, lulus sebagai magister itu sudah cukup mengagumkan. Di kampung saya, yang berhasil jadi magister kalau nggak anak kiai, ya, anak orang kaya yang pintar sekali. Saya bukan anak kiai, bukan juga anak orang kaya yang pintar sekali. Tapi, saya bisa lulus.
Saya bangga dan sekaligus tidak percaya kalau selama ini perjuangan yang dilalui rupanya membuahkan hasil. Saya ingat betapa susahnya menulis tesis saat pandemi. Dosen susah sekali untuk diajak bimbingan, perpustakaan juga membatasi diri dari kunjungan, belum lagi soal ruwetnya administrasi kampus yang selalu konsisten.
Kesulitan-kesulitan itu sudah lewat. Saya sekarang sudah merasakan hasilnya. Menyandang gelar magister yang tidak banyak orang miliki. Saya selalu percaya, kalau saja dulu tidak seberjuang itu, mungkin saya masih akan kesulitan sampai sekarang. Tirakat saya, bisa dibilang kenceng. Tirakat pribadi lho.
Tapi, saya salah. Renungan saya tentang usaha dan kerja keras tersebut rupanya harus sedikit “mengalah” dengan pernyataan bapak yang cukup mengejutkan. Ia sangat gemar berdoa. Dan salah satu doanya adalah supaya anaknya bisa menempuh pendidikan tinggi.
Dia tidak langsung bilang kalau keberhasilan saya menjadi magister adalah hasil dari doanya. Bapak hanya bercerita kalau pintarnya Gus Baha adalah berkat tirakat dari ayahnya: K.H. Nur Salim. Saya tersenyum.
Pembicaraan itu terjadi di atas motor. Katanya, setiap anak yang sukses tidak akan pernah luput dari usaha orang tua atau leluhurnya. Leluhur dan orang tua yang gemar melakukan tirakat dan berdoa kepada Tuhan, akan memiliki keturunan yang lebih baik. Saya ingin menyela, tapi dibalas begini,
“Semua orang yang anaknya sukses itu pasti ada peran orang tua atau mbah-mbahnya dulu yang melakukan tirakat.” ujarnya. “Kamu kalau jadi orang jangan biasa-biasa saja. Mulai sekarang mbok ya tirakat. Biar anakmu nanti juga bisa sukses.”.
Sekelebat saya teringat sebuah kalimat yang mendukung argumen bapak. Bunyi kalimatnya begini, “Orang tua yang senang karena kamu lulus, itu bukan hanya karena dia bangga sama kamu. Tapi, dia juga sedang bangga pada dirinya karena berhasil menyekolahkanmu.”
Saya pikir itu adalah kalimat yang tepat untuk menggambarkan situasi ini. Saya merasa bahwa usaha saya untuk lulus kuliah adalah besar. Akan tetapi, bapak berpikir bahwa keberhasilan saya sangat bergantung dengan doa dan tirakatnya.
Saya ingat, Nabi Ibrahim pernah berdoa kepada Tuhan supaya tanah Hijaz menjadi tanah yang makmur. Ia juga berdoa kepada Tuhan, meminta supaya anak turunnya menjadi anak yang saleh. Doanya itu dikabulkan oleh Tuhan dan Nabi Muhammad (anak turun Nabi Ibrahim) diangkat menjadi kekasih Tuhan.
Saya sedikit lega ketika bapak hanya menyebutkan satu contoh yaitu Gus Baha. Andai saja ia ingat dengan doanya Nabi Ibrahim itu, ia pasti akan semakin jumawa dengan tirakat, ibadah, dan doanya itu. Argumennya akan semakin menjadi-jadi dan perbincangan ini akan lebih panjang lagi.
Saya diam, tapi saya bukan tidak setuju. Saya setuju. Bukan perihal berhasilnya saya lulus berkat doa dan tirakat bapak, akan tetapi saya lebih setuju kalau saya bisa sekolah tinggi berkat usaha dan kerja keras bapak untuk bayar UKT saya tiap semester. Itu tidak murah, dan jelas tidak mudah.
Jika kembali saya mengingat pembicaraan itu, saya merasa lulus kuliah dengan jalur tirakat. Bukan karena tirakat yang saya lakukan sendiri, akan tetapi tirakat yang dilakukan oleh bapak saya. Saya tidak tahu pasti, apa tirakat yang ia lakukan selama ini untuk meluluskan kuliah saya. Saya tidak mau tahu, yang penting saya lulus.
Bapak memang berperan penting dalam hidup saya, entah itu di dalam pendidikan maupun di luar pendidikan. Semua hal yang berkaitan dengan saya, pasti berhubungan dengan dia. Termasuk perihal biaya kuliah.
Namun, apa pun alasannya, saya senang dengan pernyataan bapak yang sangat percaya diri dengan usahanya. Saya tidak mau menghakimi. Tapi yang pasti, lulus kuliah magister dengan jalur tirakat juga sama menyenangkannya dengan lulus jalur ujian. Saya sekarang berharap bapak sedang tirakat agar saya bisa jadi PNS.
Penulis: Muhammad Farih Fanani
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Lelah Miskin, Meniti Jalan Sufi, Malah Hidup Berkecukupan